Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh Kontroversi

Aktivis perempuan dipermalukan dan dihukum tak manusiawi

Dalam sebagian besar sejarah umat manusia, menjadi seorang perempuan bisa dibilang cukup menyebalkan, terutama untuk masalah keadilan. Selain itu, di masa lalu, perempuan tidak diberikan hak memilih atau tidak diperbolehkan mengambil keputusan apa pun. Perempuan juga tidak diizinkan untuk menyuarakan pendapatnya dalam politik.

Pada abad ke-19, para perempuan di Amerika khususnya, sangat muak karena status mereka sebagai warga negara kelas dua yang harus menuruti apa kata suami. Para perempuan sadar bahwa mereka tidak harus bersikap sopan mengenai hal itu.

Untuk mencapai perubahan membutuhkan perjuangan dan sering kali menarik perhatian. Bahkan, beberapa kaum perempuan harus kehilangan nyawanya. Dengan mengingat hal tersebut, inilah fakta memilukan tentang sejarah gerakan hak pilih perempuan di Amerika.

Baca Juga: 8 Tokoh Muslim Kulit Hitam yang Berpengaruh di Amerika Serikat

1. Sebelum ada hak pilih bagi perempuan, memilih dianggap sebagai kejahatan, terutama untuk perempuan dan orang kulit hitam

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh Kontroversipotret Susan B Anthony di ruang kerjanya (commons.wikimedia.org/Library of Congress)

Pada masa-masa awal terbentuknya Amerika Serikat, perempuan akan ditertawakan jika pergi ke tempat pemungutan suara. Lebih parahnya lagi, ia bisa ditangkap. Perempuan yang memakai hak suaranya untuk memilih dianggap sebagai sebuah kejahatan.

Selama gerakan hak pilih perempuan, beberapa perempuan ditangkap dan dihukum karena hal tersebut. Salah satunya adalah Susan B Anthony. Dilansir laman Biography, Susan B Anthony adalah seorang abolisionis yang mengedepankan gagasan bahwa perempuan harus mempunyai hak untuk memiliki properti dan hak memilih. Dia juga mendukung gagasan bahwa semua orang memiliki hak yang sama tanpa memandang ras atau jenis kelamin.

Antara 1868 sampai 1872, ratusan orang kulit hitam dan perempuan mendaftar untuk memilih. Pada 1872, Susan B Anthony menjadi salah satu dari 15 perempuan yang memberikan suara dalam pemilu di Rochester, New York. Dia ditangkap, diadili atas biaya pembayar pajak, dinyatakan bersalah, dan diharuskan membayar denda. Namun, tidak ada seorang pun yang menyadari betapa tidak adilnya itu. Butuh waktu hampir setengah abad sebelum segalanya berubah.

2. Gagasan hak pilih bagi perempuan ditulis dengan persepsi yang salah dalam sebuah buku dan menjadi buku pengantar tidur

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh Kontroversibuku 10 Little Suffergets yang diterbitkan tahun 1910 (archive.org)

Sebagian besar laki-laki sangat membenci jika perempuan memiliki andil dalam pemilihan umum. Hal itu menjelaskan betapa rasis dan seksisnya kaum laki-laki pada masa itu. Saturday Evening Post melansir kabar bahwa pada 1910-an, seorang misogini, orang yang membenci perempuan, yang tidak disebutkan namanya menulis buku anak-anak berjudul 10 Little Suffergets. Buku ini didasarkan pada sajak anak-anak rasis yang disebut 10 Little Indians.

Pada saat itu, khususnya di Inggris, kata "hak pilih" dalam buku itu diciptakan sebagai sebuah penghinaan. Dalam cerita pengantar tidur yang dibacakan oleh para orangtua, tanpa disadari menghancurkan harapan dan impian gadis-gadis kecil. Inilah yang membuat para gadis kecil mendapatkan informasi yang salah. Gadis-gadis ini tidak boleh memiliki harapan dan impian, karena dianggap konyol dan tidak ada artinya.

3. Para pengunjuk rasa hak pilih perempuan diserang masyarakat yang tidak menyukai aksi tersebut

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh KontroversiUnjuk rasa yang dilakukan kelompok National American Woman Suffrage Association untuk gerakan hak pilih perempuan pada 3 Maret 1913 di Washington DC. (commons.wikimedia.org/Harris and Ewing)

Saat ini, demonstrasi jarang sekali menimbulkan kericuhan, meskipun bukan berarti tidak pernah, ya. Namun, demonstrasi itu sangat penting, terutama untuk menyampaikan pesan dan menyadarkan orang-orang yang berkuasa. Akan tetapi, 100 tahun yang lalu, unjuk rasa seringkali menimbulkan marabahaya, terutama jika unjuk rasa tersebut dilakukan untuk tujuan yang dianggap membahayakan kedaulatan negara.

Pada bulan Maret 1913, National Woman Suffrage Association (NWSA) mengadakan demonstrasi  besar-besaran di Washington DC, sehari sebelum pelantikan Woodrow Wilson. Lebih dari 5.000 pengunjuk rasa hadir dan didominasi oleh kaum perempuan. Demonstrasi ini pun menjadi demonstrasi terbesar dalam sejarah Amerika. Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak menyukai aksi unjuk rasa ini.

Unjuk rasa dimulai dengan cukup kondusif, tetapi berubah menjadi ricuh. Puluhan ribu masyarakat yang menonton unjuk rasa turun ke jalan untuk mencemooh, masyarakat ini didominasi kaum laki-laki. Beberapa dari penonton ini mendorong dan menyerang para pengunjuk rasa.

Di sisi lain, masyarakat yang tidak setuju dengan unjuk rasa ini justru didukung oleh para polisi yang seharusnya menjamin keselamatan para perempuan. Seratus peserta harus dilarikan ke rumah sakit karena tindak kekerasan yang terjadi. Selain itu, beberapa masyarakat bahkan menghalangi ambulans yang ingin menjemput mereka yang membutuhkan perawatan medis.

“Dokter dan pengemudi benar-benar harus berjuang keras untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang terluka,” tulis seorang saksi di The Washington Post. Sisi positifnya, aksi kekerasan terhadap para pengunjuk rasa tersebut justru menarik perhatian nasional terhadap gerakan ini.

4. Hampir semua aktivis di konvensi pertama hak perempuan AS meninggal sebelum mereka dapat menggunakan hak pilihnya

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh Kontroversipotret Charlotte Woodward Pierce pada 10 Februari 1921 (commons.wikimedia.org/National Photo Company Collection)

Perubahan nyata membutuhkan waktu yang lama. Begitu pula dengan gerakan hak pilih perempuan yang bisa dibilang memakan waktu yang cukup lama sebelum akhirnya terwujud. Banyak perempuan yang mengabdikan hidup mereka dalam gerakan hak pilih perempuan. Meskipun para pejuang perempuan ini tidak cukup umur untuk melihat hasil dari pengorbanan mereka.

Faktanya, hanya ada satu perempuan yang menghadiri konvensi resmi hak-hak perempuan Amerika yang pertama dan masih hidup hingga Amandemen ke-19 diratifikasi. Menurut National Park Service, Charlotte Woodward yang baru berusia 18 atau 19 tahun menghadiri konvensi hak-hak perempuan pada 1848 di Seneca Falls. Dia adalah salah satu dari 68 perempuan yang menandatangani Declaration of Sentiments/Deklarasi Sentimen, dan satu-satunya yang hidup sampai tahun 1920.

Namun, Charlotte Woodward tidak menggunakan hak pilihnya lantaran usianya yang sudah tua, yakni 92 tahun. Di samping itu, Woodward menderita berbagai masalah kesehatan, salah satunya gangguan penglihatan. Meskipun ia bertahan hidup untuk melihat ratifikasi Amandemen ke-19, sayangnya Charlotte Woodward tidak bisa menggunakan hak pilihnya.

5. Walau sama-sama memperjuangkan hak-hak perempuan, justru ada rasisme di antara para perempuan itu sendiri

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh Kontroversipotret Ida B Wells Barnett pada 1893 (commons.wikimedia.org/Adam Cuerden/Mary Garrity)

Pada awal 1900-an, rasisme berdampak buruk dalam segala hal, termasuk demonstrasi hak pilih perempuan. Parade Hak Pilih Perempuan pada 1913, misalnya, seharusnya dilakukan secara terpisah. Penyelenggara menginginkan agar perempuan kulit hitam berada di barisan belakang. Perempuan kulit hitam tidak boleh berbaris bersama perempuan berkulit putih.

Ida B Wells, seorang jurnalis kulit hitam dan aktivis hak-hak perempuan mengajukan petisi kepada penyelenggara terkait masalah tersebut dalam delegasi utama Illinois. Akan tetapi, penyelenggara menolaknya. Rupanya, ada kekhawatiran di antara penyelenggara bahwa perempuan kulit putih tidak ingin berdemonstrasi bersama perempuan kulit hitam. Jadi, penyelenggara harus menetapkan aturan rasis tersebut.

Namun, Wells tidak menerima keputusan tersebut. Dia menunggu di pinggir lapangan dan dengan berani berbaris menuju delegasi Illinois, sehingga menentang rasisme dan kebencian terhadap perempuan dalam gerakan tersebut. Anehnya lagi, Wells seharusnya terpilih sebagai presiden Gerakan Hak-Hak Perempuan berkat aksinya, tetapi justru sebaliknya.

Baca Juga: Perjuangan Rosa Parks demi Menegakkan Keadilan bagi Orang Kulit Hitam

6. Kematian aktivis emansipasi perempuan bernama Emily Davison masih menjadi misteri

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh KontroversiAktivis Hak pilih Inggris Emily Davison setelah ditabrak kuda di Epsom Derby pada 4 Juni 1913. (commons.wikimedia.org/Topical and Farringdon Photo Co.)

Pada 1913, aktivis Emily Davison membeli tiket kereta untuk pulang-pergi ke Epsom Derby, lomba pacuan kuda, di Inggris. Dia berencana menghadiri Epsom Derby bukan karena dia penggemar pacuan kuda, tetapi karena ingin melakukan protes di depan raja Inggris.

Saat balapan dimulai, Davison berjalan ke lintasan pacuan kuda yang sedang melaju. Dia memilih Anmer, kuda pacuan raja. Namun hal ini masih diperdebatkan, apakah Davison sedang mencoba menghentikan kuda itu atau apakah dia berniat bunuh diri. 

Dilansir laman The Guardian, seorang ahli menganalisis rekaman peristiwa tersebut dan menunjukkan bahwa Davison mencoba mengikatkan bendera hak pilih ke tali kekang kuda. Akan tetapi, hal ini dianggap janggal dan tidak masuk akal. Pasalnya, kuda pacuan itu sedang berlari kencang. Namun, Davison diyakini tidak mungkin bunuh diri, karena sebelumnya dia sudah membeli tiket pulang-pergi.

Apa pun niatnya, nyawa Emily Davison tidak tertolong. Kuda Anmer bertabrakan dengannya dan membuat kepala Davison cedera parah. Davison dibawa ke rumah sakit terdekat. Sayangnya, ia meninggal 4 hari kemudian.

7. Penyiksaan para aktivis gerakan hak pilih perempuan

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh KontroversiKate Heffelfinger sesaat setelah dibebaskan dari Penjara Occoquan, pada 1917. (commons.wikimedia.org/Doris Stevens)

Sebagaimana laporan The Washington Post, 33 pengunjuk rasa dari National Woman's Party/Partai Wanita Nasional ditangkap pada 10 November 1917, karena melakukan aksi demonstrasi di luar Gedung Putih. Para perempuan tersebut dibawa ke fasilitas yang disebut Occoquan Workhouse (Penjara Occoquan). Salah satu dari mereka dipaksa berdiri sepanjang malam. Ada yang dilempar ke ranjang besi hingga kepalanya terbentur dan kehilangan kesadaran. Teman satu selnya yang panik akhirnya mengalami serangan jantung. Tidak ada dokter yang dipanggil sampai keesokan paginya.

Penjara itu penuh dengan tikus dan makanannya penuh dengan belatung. Itu mungkin sebabnya mereka melakukan aksi mogok makan. Petugas medis mencekoki mereka makanan dengan semacam tabung agar mau makan, tapi mereka justru muntah-muntah parah. Para pejabat mencoba pendekatan lain dengan mewawancarai para aktivis hak pilih terkait komitmen mereka.

Hal ini berlangsung selama dua minggu, hingga para tahanan akhirnya dibebaskan dengan jaminan. Tahun berikutnya, Pengadilan Banding Washington DC menganggap unjuk rasa itu sebagai inkonstitusional. Namun, penyiksaan itu membuat masyarakat bersimpati dan mulai sadar dengan tujuan tersebut. Selang 2 tahun kemudian, amandemen ke-19 diratifikasi dan para aktivis yang pernah disiksa ini cukup beruntung karena semua yang mereka perjuangkan itu tidak sia-sia.

8. Ketidakadilan terhadap aktivis hak pilih perempuan kelas bawah

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh KontroversiPotret Sophia Duleep Singh saat sedang menjual langganan surat kabar gerakan hak pilih perempuan di Hampton Court di London, pada April 1913. (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Salah satu aktivis hak-hak perempuan yang paling vokal di Inggris adalah seorang putri Kerajaan India bernama Sophia Duleep Singh. Sebelumnya, dia terkenal karena selera fashion dan banyaknya anjing yang dimilikinya. Namun seiring bertambahnya usia, ia menjadi seorang aktivis hak pilih perempuan. Ia pun terlibat dalam aksi yang berisiko, seperti mogok makan dan melemparkan dirinya ke mobil Perdana Menteri Winston Churchill. Namun, ia tidak pernah ditangkap karena aksinya itu.

Hal berbeda justru terjadi pada aktivis perempuan kelas bawah. Pada 1909, seorang perempuan bernama Selina Martin melemparkan botol kosong ke mobil Perdana Menteri Winston Churchill dan ditangkap. Dia dan sesama aktivis pejuang hak pilih perempuan, Leslie Hall, ditangkap, dibelenggu, dan dicekoki makanan karena aksi mogok makan mereka dan dipaksa mengenakan pakaian basah selama 6 hari. Kisah mereka masuk berita.

“Mereka adalah perempuan yang tidak dikenal,” kata aktivis pejuang hak pilih perempuan terkemuka bernama Mary Gawthorpe. “Tidak ada yang tahu atau peduli tentang mereka kecuali teman-teman mereka sendiri. Mereka dipenjara lagi dan lagi untuk diperlakukan seperti ini, sampai mereka dibunuh!”

9. Para aktivis hak pilih perempuan belajar ilmu bela diri

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh KontroversiPotret Edith Margaret Garrud saat sedang mengajarkan jujitsu pada tahun 1908 sampai 1911. (commons.wikimedia.org/British Press)

Aktivis Edith Garrud mengajarkan semua anggota Women's Social and Political Union (WSPU) untuk melawan penindasan, baik secara fisik maupun politik. Ia menguasai jujitsu, seni bela diri dari Jepang. Ia menyarankan bahwa setiap aktivis hak pilih perempuan juga harus menguasai seni bela diri.

Aktivis perempuan yang mempelajari jujitsu diolok-olok tanpa ampun oleh media. Tak lama kemudian muncullah istilah cemoohan baru, suffrajitsu. Perempuan-perempuan terampil ini membungkam semua orang ketika mereka membentuk pasukan pengawal untuk pemimpin WSPU, Emmeline Pankhurst. Hebatnya, 30 pengawal ini berhasil mengalahkan sekitar 50 polisi dengan tangan kosong.

10. Aktivis Theresa Garnett menyerang Winston Churchill

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh Kontroversipotret Theresa Garnett pada 1909 (commons.wikimedia.org/Kolonel Linley Blathwayt)

Anggota parlemen Winston Churchill yang saat itu berusia 34 tahun berada di Bristol untuk berpidato di Anchor Society. Sayangnya, aktivis Theresa Garnett menerobos kerumunan sambil mengacungkan cambuk. "Ambillah itu atas nama perempuan-perempuan Inggris yang terhina," serunya sambil memukul wajah Churchill dengan cambuk tersebut.

Winston Churchill melawan dan mengambil cambuk yang dipegang Theresa Garnett. Kemudian, polisi datang dan menahan Garnett. Lalu Churchill memasukkan cambuk tersebut ke dalam sakunya.

Winston Churchill menyebut Theresa Garnett sebagai salah satu dari perempuan bodoh. Hal ini pun membakar semangat bagi pejuang-pejuang gerakan hak pilih perempuan. Meskipun Garnett ditangkap karena penyerangan, tetapi Churchill tidak mau pergi ke pengadilan dan menolak mengajukan tuntutan. Jadi, Garnett dihukum karena mengganggu perdamaian dan hanya dijatuhi hukuman satu bulan di Penjara Horfield.

11. Beberapa aktivis gerakan hak pilih perempuan dianggap teroris

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh KontroversiSrkelompok perempuan sedang merancang dan membuat spanduk Women's Social and Political Union (WSPU) untuk unjuk rasa pada 23 Juli 1910. (commons.wikimedia.org/LSE Library)

Awalnya, para pejuang gerakan hak pilih perempuan melakukan aksi protesnya dengan perdamaian, karena Gandhi dan Martin Luther King mengajari mereka seperti itu. Namun, banyak aktivis yang melakukan tindakan radikal karena mereka menganggap bahwa perubahan tidak akan terjadi kecuali ada yang membuat keributan.

Di Inggris, anggota Women's Social and Political Union (WSPU) mengadakan protes keras dan terlibat dalam aktivitas yang menurut standar modern dianggap sebagai terorisme. Dikutip History Today, WSPU dan kelompok terkait, menempatkan ratusan bom di kereta api, kantor pos, gereja, bank, dan teater. Namun, bom itu tidak pernah melukai atau membunuh siapa pun. Bom-bom itu hanya menyebabkan kerusakan, tapi tidak pernah dimaksudkan untuk melukai apalagi membunuh siapa pun.

12. Para pejuang gerakan hak pilih perempuan membakar rumah orang-orang terkemuka

Sejarah Gerakan Hak Pilih Perempuan di Amerika yang Penuh Kontroversiilustrasi kebakaran (pexels.com/Alexander Zvir)

Di penghujung gerakan hak pilih perempuan, para aktivis mulai putus asa. Puluhan tahun mereka lalui tanpa perubahan. Aksi unjuk rasa tidak berhasil. Aksi mogok makan tidak berhasil. Pencambukan terhadap calon perdana menteri juga tidak berhasil.

Women's Social and Political Union (WSPU) akhirnya melakukan pengeboman untuk menarik perhatian lebih kencang lagi. Akan tetapi, bom yang mereka buat memiliki kelemahan. Pada 1910-an, bom dibuat dari barang-barang yang tidak terlalu kuat apalagi efektif.

Jadi, para aktivis hak pilih di Inggris menyiasatinya dengan menargetkan rumah-rumah kosong milik orang-orang terkemuka untuk dibakar. Namun, tidak semua upaya pembakaran berhasil. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, seperti rumah David Lloyd George, Menteri Keuangan, para aktivis hak pilih berhasil membuat kerusakan serius. 

Sejarah harus ingat bahwa gerakan hak pilih perempuan mempunyai sejarah panjang yang ditutup secara brutal, diejek, dan diabaikan. Orang yang putus asa akan melakukan aksi yang putus asa pula. Begitulah yang terjadi dengan para aktivis gerakan hak pilih perempuan. Namun saat ini, perempuan lebih bebas dan merdeka. Perempuan pun mempunyai hak untuk memilih. Semua ini tak terlepas dari perjuangan para aktivis perempuan di masa lalu.

Baca Juga: 5 Tempat Bersejarah di Amerika Selatan, Ada Tengkorak Bekas Operasi 

Amelia Solekha Photo Verified Writer Amelia Solekha

Write to communicate

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya