TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

'Pria Kok Cengeng!', Curhat Kaum Adam tentang Gangguan Psikologis

Dituntut menjadi kuat, tidak semua lelaki sekuat itu...

multiversitycomics.com

"Aku bukanlah Superman. Aku masih bisa nangis!"

Itulah kata Al, El, dan Dul 11 tahun lalu lewat lagu "Superman". Terdengar lucu, apalagi waktu itu mereka masih imut-imut! Namun, sekarang, jika mendengarnya, liriknya terasa... berbeda dan relatable.

Laki-laki identik dengan konsep maskulinitas dan kekuatan, tidak menyisakan ruang untuk kelemahan dan air mata. Padahal, di setiap sanubari terdalam kaum Adam, terdapat kelemahan tersendiri yang mereka tutupi dan tidak berani umbar demi mencapai konsep "lelaki sejati". Apakah laki-laki sejati memang dituntut jadi seorang Superman?

1. Mengetahui masalah adalah kunci untuk menyelesaikannya

Ilustrasi Bunuh Diri (IDN Times/Arief Rahmat)

AKUILAH! Pria tidak terlahir dengan hati baja. Pria pun juga memiliki sisi rapuhnya sendiri yang ia tutupi demi mendapat pengakuan dari sekitarnya. Hal tersebut berakibat fatal bagi beberapa orang di penjuru dunia.

Pada 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan bahwa di negara-negara maju, jumlah kaum Adam yang meninggal karena bunuh diri tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan kaum Hawa. WHO juga menyatakan bunuh diri sebagai "pembunuh" tertinggi kedua pada kaum pria dewasa muda di negara berkembang.

Dengan statistik setinggi itu, seharusnya lumrah bagi pria untuk mencari pertolongan psikologis, kan? Salah! Dilansir dari National Institute of Mental Health (NIMH), pria dengan gangguan psikologis justru memiliki kemungkinan kecil mendapatkan pertolongan psikologis dibandingkan wanita. Mengapa demikian?

Baca Juga: 8 Efek Psikologis yang Kamu Rasakan Sehari-hari tapi Tak Kamu Sadari

2. "Cowok kok cengeng?", stigma maskulinitas yang mencekik kaum Adam di seluruh dunia

unsplash.com/tompumford

WHO melanjutkan penemuannya dengan mengatakan bahwa "stigma budaya" yang beredar di dunia terhadap pria membuat mereka merasa malu untuk meminta pertolongan psikologis.

"Laki-laki enggak boleh nangis"? "Pria harus kuat menghadapi segala hal"? Stigmatisasi itulah yang menjadi penghalang para pria untuk bebas dari beban psikologis mereka.

Menurut sebuah penelitian gabungan di Kanada pada 2016 berjudul "Stigma in Male Depression and Suicide: A Canadian Sex Comparison Study", dari 541 responden yang tidak memiliki gangguan psikologis, mayoritas pria mengatakan bahwa gangguan psikologis adalah "tanda kelemahan, kejahatan, hingga kecacatan rohani".

Lebih mengerikannya lagi, dari 360 responden pria dan wanita dengan gangguan psikologis, mayoritas pria merasa malu untuk berkonsultasi mengenai masalah mereka.

3. Kaum komunitas orang "kulit berwarna" memiliki beban yang lebih berat

pinterest.com

Apa lagi yang bisa memberatkan gangguan psikologis selain tekanan rasisme dari lingkungan sekitar.

Dilansir dari Dr. Octavio Martinez Jr., Direktur Eksekutif Hogg Foundation for Mental Health, mengatakan bahwa efek rasisme dan tekanan lingkungan terhadap gangguan psikologis adalah ibarat "sudah jatuh, tertimpa tangga pula".

"Ditambah lagi stigmatisasi saat pria mencari bantuan psikologis dari semua ras dengan tekanan yang dihadapi oleh pria dan anak laki-laki kulit berwarna. Tidak heran pria dan anak laki-laki kulit berwarna memiliki risiko lebih tinggi terhadap masalah isolasi dan gangguan mental," papar dr. Martinez.

4. Kaum Adam memiliki potensi gejala gangguan psikologis yang "sedikit" berbeda

Pixabay/geralt

Selain rasisme dan stigmatisasi, ternyata letak permasalahannya juga ada pada sisi pria. Seperti yang ditekankan pada poin sebelumnya, dikarenakan ingin mencapai konsep maskulinitas, maka pria harus terlihat kuat dan tangguh meskipun menanggung depresi dan gangguan psikologis lainnya.

Hal tersebut juga dikarenakan pandangan yang bertolak belakang pada pria dan wanita. NIMH memberi contoh, pria menutupi depresinya dengan bersikap defensif dan agresif, sementara wanita lebih bisa mengutarakan depresinya dalam bentuk air mata.

Selain itu, pria juga lebih khawatir pada gejala fisik dari gangguan psikologis seperti pusing, mual, jantung berdebar, dan gejala lainnya. Dengan kata lain, mereka lebih memilih menyelesaikan gejala fisik, bukan mental. Jadi, dengan cara apakah kaum Adam dapat lebih terbuka mengenai kondisi psikologisnya? 

Baca Juga: Jangan Takut, Ini 7 Fakta dan Solusi Trauma Psikologis

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya