TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Muncul Tanpa Gejala, Ini 4 Fakta Letusan Freatik yang Perlu Kamu Tahu

Apa sih penyebabnya?

IDN Times/Cendrawasih Panji

Kamis (21/5) malam Gunung Merapi kembali mengalami peningkatan aktivitas vulkanik. Erupsi dan gempa kembali terjadi di sekitaran gunung yang dianggap sakral oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta tersebut. Akibat dari peningkatan aktivitas ini, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) pun akhirnya meningkatkan status Gunung Merapi menjadi Waspada Level II.

Diketahui letusan yang kembali muncul ini kabarnya masih berjenis freatik. Muncul tiba-tiba tanpa gejala, seberapa berbahayakah letusan freatik? Lalu apa penyebab terjadinya? Simak empat fakta di bawah ini yuk!

1. Tanda-tanda awal sulit terbaca seismograf

ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Sebelum Merapi, letusan freatik belum lama terjadi di Kawah Sileri Dieng pada Juli 2017. Proses terjadinya begitu cepat sehingga menyulitkan evakuasi. Sedikitnya 17 orang meninggal dunia karena posisi mereka cukup dekat dengan kawah.

Letusan Kawah Sileri masuk tipe freatik, di mana kemunculannya tidak diawali dengan tanda-tanda jelas. Bahkan aktivitas getarannya pun relatif lemah sehingga sulit terbaca oleh seismograf. Hal ini jugalah yang terjadi pada letusan Merapi Jumat (11/05) pagi.

2. Dipicu oleh terjadinya kontak air tanah dengan magma, hasilkan uap bertekanan tinggi

Pixabay/skeeze

Berdasarkan aktivitas pergerakan magma, jenis letusan gunung berapi terbagi menjadi 3 yaitu freatik, freatomagmatik, dan magmatik. Freatik bisa disebut sebagai fase awal, di mana terjadi kontak antara air tanah atau air hujan yang terakumulasi di kawah, dengan magma segar yang masih berada jauh di kedalaman.

Seperti yang kita tahu, Merapi berstatus sebagai gunung aktif. Aktivitas magma di dalamnya terus terjadi meski dari luar nampak tenang. Kontak dengan air tanah mengakibatkan perbedaan temperatur yang mencolok. Pemanasan oleh magma segar mengubah air menjadi uap panas bertekanan tinggi.

Uap ini kemudian mendesak lapisan yang sudah memadat di atasnya. Lapisan ini terbentuk sebagai sisa dari letusan sebelumnya, yang sudah membeku karena pendinginan. Desakan kuat ini mengakibatkan letusan baru, suara gemuruh, hingga keluarnya asap tebal.

3. Sering terjadi di Indonesia sejak letusan dahsyat Krakatau pada abad ke-18

Pixabay/Pexels

Di Indonesia, letusan freatik sudah terjadi beberapa kali. Seperti pada awal erupsi Sinabung, letusan Gunung Agung pada 2013, dan tragedi Kawah Sileri Dieng pada pertengahan 2017. Di abad ke-18, letusan freatik juga mengawali dahsyatnya erupsi Krakatau yang menggemparkan dunia.

Dilihat dari potensi kerusakannya, letusan freatik memiliki radius bahaya yang relatif pendek. Volume semburan material padat terbilang kecil, dan hanya terjadi jika gunung tersebut memiliki banyak timbunan material dari sisa letusan sebelumnya.

Seperti yang terjadi pada Jumat (11/05) siang, dikabarkan mulai terjadi hujan abu di sekitar kawasan Merapi. Ini disebabkan oleh debu vulkanik yang terbawa angin, sebagai dampak dari letusan freatik.

Verified Writer

Dian Arthasalina

bukan orang penting, kecuali anda mementingkan saya. kadang-kadang ngoceh di instagram @arthasalina

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya