TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Peraturan Dagang VOC dan Dampaknya Bagi Bangsa Indonesia

Sudah tahu, belum?

id.wikipedia.org

Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC adalah sebuah kongsi dagang Belanda yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. VOC memiliki tugas untuk memonopoli aktivitas perdagangan di Asia, khususnya di wilayah Indonesia atau Nusantara.

 Di Nusantara, VOC mengincar hasil rempah-rempah yang bernilai tinggi dan sangat laku di pasar internasional. Persekutuan dagang ini bisa dikatakan sebagai negara di dalam negara karena hak istimewanya yang tak hanya di bidang ekonomi, tapi juga bidang politik.

Untuk melancarkan aksinya, VOC mengeluarkan beberapa peraturan dagang yang sangat menyengsarakan rakyat dan bangsa Indonesia yang semula hidup makmur di tanah kelahirannya. Peraturan dagang tadi juga memiliki dampak positif dan negatif yang tak hanya dirasakan oleh kaum pribumi tapi juga seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.

1. Verplichte Leverentie

luk.staff.ugm.ac.id

Verplichte Leverentie adalah penyerahan wajib yang mewajibkan rakyat Indonesia di tiap-tiap daerah untuk menyerahkan hasil bumi berupa lada, kayu, beras, kapas, nila, dan gula kepada VOC.

Penyerahan hasil bumi ini juga memiliki harga yang telah ditetapkan oleh VOC, tentu dengan harga yang murah, dan rakyat tidak diperbolehkan menjual hasil bumi tersebut selain kepada VOC.

Baca Juga: 5 Fakta Pendidikan Indonesia Saat di Bawah Penjajahan Kolonial Belanda

2. Contingenten

catawiki.com

Contingenten merupakan satu dari sekian hak atau peraturan dagang yang dimiliki VOC. Pajak ini biasa dikenal dengan Pajak In Natura atau yang sering disebut juga sebagai Pajak Hasil Bumi, yaitu pembayaran pajak sewa tanah oleh rakyat pribumi dalam bentuk hasil bumi, yang dibayarkan kepada VOC.

Hasil bumi tersebut diserahkan kepada pemerintah Belanda. Pajak ini berguna untuk menjaga uang kas pemerintah Hindia Belanda.

3. Ketentuan area dan jumlah tanaman yang boleh ditanam

rijksmuseum.nl

Ketentuan ini termasuk dalam Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830. Tanam Paksa ini mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya, yaitu sebesar 20 persen untuk ditanami komoditi ekspor yang telah ditentukan, seperti kopi, tebu, teh, dan tarum (nila), serta rempah-rempah lainnya yang bernilai jual tinggi jika di ekspor ke luar negeri.

Hasil tanaman ini selanjutnya dijual kepada kompeni (pemerintah kolonial Belanda) dengan harga yang juga sudah ditentukan sebelumnya. Hasil panen tanaman-tanaman tadi juga ikut diserahkan kepada pemerintah kolonial.

Akibat dari sistem tersebut, penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja selama 75 hari dalam setahun pada kebun-kebun pemerintah yang nantinya akan dihitung semacam pajak.

4. Hak Ekstirpasi

www.geschiedenisvandaag.nu

Hak dagang VOC yang satu ini adalah menebang, memusnakah, dan menggagalkan panen rempah-rempah yang terlalu berlebihan demi mengekalkan monopoli rempah-rempah di wilayah Maluku dan sekitarnya.

Pemusnahan pohon ini terdiri dari rempah-rempah, seperti pala dan cengkih. Hal ini menyebabkan menurunnya harga rempah-rempah. Ketika tanaman rempah-rempah tadi sudah menjadi langka atau jumlahnya sedikit, VOC bisa meraup keuntungan besar dan bisa tetap memonopoli perdagangan rempah-rempah tersebut.

Dalam sejarahnya, politik ekstirpasi di Maluku telah mengurangi sepertiga hingga separuh rakyat Maluku.

5. Pelayaran Hongi

youtube.com/Dutch Docu Channel

Hak dagang VOC yang sangat memberatkan pun membuat rakyat pribumi menolak monopoli dagang tersebut, sehingga dilakukanlah pelayaran hongi oleh VOC. Pelayaran Hongi atau Ekspedisi Hongi, dan atau Hongitochten adalah suatu bentuk pelayaran serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan zaman VOC Belanda yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah termasuk Hak Ekstirpasi.

Tak hanya itu, tujuan lain dari pelayaran ini adalah mengawasi jalannya perdagangan monopoli, dan mengawasi perdagangan rempah-rempah di Nusantara khususnya wilayah Maluku karena pada saat itu sempat terjadi perdagangan gelap.

Rempah-rempah di Maluku banyak yang diselundupkan oleh penduduk lokal dan dijual ke daerah lain. Hal ini dianggap sangat merugikan perdagangan rempah-rempah yang sudah di monopoli oleh VOC.

Pelayaran ini dilakukan dengan menggunakan perahu kora-kora (perahu perang berukuran besar) dengan membuat perjanjian kepada para pejabat kerajaan seperti raja, patih serta orang kaya di wilayah kerajaan guna mengontrol penuh peredaran rempah-rempah. Caranya adalah dengan memusnahkan tanaman cengkih dan pala atas izin dari pejabat kerajaan.

Namun, tetap saja VOC adalah pihak yang paling diuntungkan karena pejabat kerajaan dituntut untuk menyediakan kapal kora-kora beserta awak kapalnya guna berlayar menuju kerajaan-kerajaan atau pulau-pulai lain. Imbalan yang di dapat para pejabat kerajaan dan rakyatnya adalah ganti rugi yang setimpal dengan harga pemusnahan tanaman dan tenaga pendayung.

Akibat Pelayaran Hongi, kehidupan rakyat Maluku berubah 180 derajat dari yang semula hidup sangat makmur, berubah menjadi jatuh miskin bahkan melarat akibat monopoli dagang yang dilakukan VOC.

Laki-laki Maluku yang sebelumnya telah ditunjuk sebagai pendayung kapal kora-kora akan dikenakan denda dan dicambuk apabila menolak melakukan pekerjaan tersebut. 

Baca Juga: Inspiratif, 7 Film Bertema Kemerdekaan Ini Wajib Kamu Tonton

Verified Writer

Ines Melia

Dengan menulis saya 'bersuara'. Dengan menulis saya merasa bebas.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya