TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sejarah Angklung, Alat Musik Tradisional Indonesia yang Mendunia

Punya filosofi yang bermakna

ilustrasi bermain angklung (instagram.com/angklungudjo)

Hari ini (16/11) Google Doodle menampilkan ilustrasi alat musik angklung untuk memperingati Hari Angklung Sedunia. Pada tanggal ini pula, tepatnya pada 2010, angklung tercatat sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia asal Indonesia oleh UNESCO. 

Bukan tanpa alasan mengapa alat musik khas Jawa Barat ini diakui secara internasional. Selain karena keunikan suaranya, sejarah angklung melekat sebagai tradisi, budaya, hingga identitas masyarakat. Berikut uraian lengkapnya. 

Baca Juga: Sejarah Gas Air Mata: Pembuatan Hingga Penggunaannya

Sejarah angklung

Ilustrasi Pembuatan Alat Musik Tradisional asal Jawa Barat, Angklung (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Saat ini, angklung sering ditampilkan pada acara tertentu. Di beberapa daerah, bahkan ditampilkan sebagai seni kaki lima yang indah untuk didengarkan. Namun, tahukah kamu kalau pada awalnya fungsi angklung bukan sebagai sarana hiburan? 

Dilansir House of Angklung, alat musik dari bambu ini dulunya digunakan pada ritual keagamaan. Angklung akan dimainkan masyarakat sebagai media untuk mengundang Dewi Sri (Dewi Padi atau Dewi Kemakmuran) agar turun ke bumi. Selanjutnya, Dewi Sri akan mengedarkan berkah dan menyuburkan tanaman.

Pada upacara ini, masyarakat menggunakan angklung tri tonik (tiga nada), tetra tonik (empat nada), dan pentatonik (lima nada). Angklung jenis ini biasa disebut angklung buhun yang berarti 'angklung tua'.

Saat ini, beberapa desa tradisional masih menggunakan angklung buhun dalam banyak upacara adat. Termasuk saat merayakan panen raya, ngaseuk pare, nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren taun, nadran, helaran, turun bumi, sedekah bumi, dan lain sebagainya. 

Dalam video dokumentasi UNESCO, disebutkan bahwa angklung dengan bentuknya yang khas sudah ada sejak zaman kuno. Bahkan keberadaannya lebih dulu daripada orkestra gamelan yang diperkenalkan ke Indonesia saat masuknya budaya Hindu.

Meski demikian, tidak ada sejarah jelas kapan angklung mulai digunakan. Catatan tertua yang memuat angklung berasal dari Kerajaan Sunda, sekitar abad 12-16 Masehi.

Angklung tertua dalam sejarah yang masih ada bernama Angklung Gubrag. Peninggalan budaya ini dibuat di Jasinga, Bogor. Kini usianya telah mencapai 400 tahun. Kalau kamu penasaran, Angklung Gubrag tersimpan rapi di Museum Sri Baduga, Bandung. 

Dahulu, angklung tradisional menggunakan tangga nada pentatonik. Namun, pada 1938, musisi Daeng Soetigna memperkenalkan angklung dengan tangga nada diatonis. Selanjutnya, angklung jenis ini dikenal sebagai angklung padaeng.

Pada 1966, Udjo Ngalagena, murid dari Bapak Daeng Soetigna mengembangkan angklung berdasarkan tangga nada tradisional Sunda Salendro, Pelog, dan Madenda. Hingga saat ini, kamu bisa melihat penampilan angklung yang memikat dari Saung Angklung Udjo, Jawa Barat. 

Karakteristik angklung

ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Angklung merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Intangible Cultural Heritage UNESCO mendeskripsikan angklung sebagai alat musik yang terdiri dari dua sampai empat tabung bambu.

Bambu-bambu tersebut digantung dalam bingkai bambu, lalu diikat dengan tali rotan. Bukan sembarang tabung, potongan bambu dipangkas dan dipotong dengan hati-hati oleh pengrajin ahli. Tujuannya agar nantinya bisa menghasilkan nada tertentu ketika bingkai bambu digerakkan.

Bambu yang digunakan untuk angklung juga tidak sembarangan, lho! Masih dari sumber yang sama, angklung dibuat dari bambu hitam khusus. Bambu tersebut dipanen selama 2 minggu dalam 1 tahun saat jangkrik berkicau. Saat memanennya, dipotong minimal tiga ruas di atas tanah demi memastikan akarnya terus merambat.

Pembuatan sebuah angklung membutuhkan waktu sekitar 6 bulan. Setelah dipotong dengan hati-hati, bambu harus direndam air, dibersihkan, kemudian dijemur sebelum dibentuk. Tingginya pun diatur sedemikian rupa untuk mendapatkan suara yang diinginkan. 

Baca Juga: Sejarah Itaewon, Kawasan Multikultural di Korea Selatan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya