Max Havelaar: Karya Sastra Multatuli Menguak Kejamnya Kolonialisme
Sebuah protes dalam karya sastra yang melegenda
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Multatuli atau yang memiliki nama lengkap Eduard Douwes Dekker merupakan seorang berkebangsaan Belanda. Pertama kali karya ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul asli "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" (Max Havelaar, atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda).
Lahir di Amsterdam pada 2 Maret 1820, ia merupakan seorang penulis yang dulunya pernah bekerja untuk pemerintahan Hindia Belanda. Sebagai seorang penulis ia sangat tajam dalam menuliskan ide-ide dan pemikirannya.
Selain itu, ia juga dikenal memiliki kritik yang ditujukan kepada pemerintah Belanda atas kekejaman dan kolonialisme yang dilakukan.
Karyanya yang berjudul Max Havelaar (1860) sangat fenomenal dan tercatat dalam sejarah hingga kini. Buku karangannya tersebut dianggap menjadi salah satu bagian dari upaya protes terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dan Bupati Lebak pada masa itu.
Buku ini banyak menceritakan kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat menderita dan kekuasaan yang sangat menindas rakyat. Selain itu juga digambarkan tindakan korupsi dan kesewenang-wenangan pemimpin saat itu. Berikut ini merupakan beberapa hal yang menjadikan buku ini fenomenal dan sangat bagus untuk dibaca.
Baca Juga: 6 Fakta Menarik Sistem Pendidikan Indonesia di Masa Kolonial Belanda
1. Saijah dan Adinda sepasang kekasih yang kisahnya membuka mata karena berbagai penindasan yang dilakukan pada mereka
Saijah adalah tokoh yang digambarkan di dalam tulisan ini dengan segala kesusahan dan kepedihan yang dirasakannya. Sama seperti Saijah, keluarga Adinda tak jauh berbeda nasibnya dengan tekanan dan segala bentuk penindasan yang dirasakan.
Ayah Saijah hanya memiliki seekor kerbau untuk membajak sawah, tetapi harus merelakan kerbaunya dirampas oleh kepala distrik Prangkujang. Ayahnya berusaha melarikan diri karena belum membayar pajak tanahnya sementara mereka tidak memiliki apa-apa lagi untuk dijual. Kehidupan mereka sekeluarga menjadi memprihatinkan, hingga ibunya meninggal dalam segala tekanan yang dimilikinya.
Ketika istrinya tersebut meninggal, ayah Saijah pun meninggalkan Lebak menuju Bogor untuk mencari pekerjaan. Tetapi kemudian ia dihukum dera dengan rotan karena meninggalkan Lebak tanpa izin dan dijebloskan ke penjara dan tak lama ia pun meninggal dalam ruang selnya.
Saijah pun kemudian mengadu nasib dan meninggalkan Adinda dan berjanji akan kembali untuk menikahinya. Namun tanpa ia ketahui, Adinda sekeluarga tak lagi ada disana, mereka melarikan diri dan bersembunyi.
Sekembalinya Saijah ke kampung halamannya tak ditemukannya Adinda, dengan segala keputusasaannya ia kemudian mencari Adinda hingga ke Lampung. Di sana ia ikut bertempur bersama segerombolan orang Banten demi mencari Adinda.
Satu persatu ia temukan baik ayahnya Adinda, adik-adiknya dan terakhir Adinda. Namun, kesemuanya sudah dalam keadaan tak bernyawa dan keadaan tubuh mereka yang sangat mengenaskan.
“Ada sepotong kecil kain biru masuk ke dalam luka yang terbuka di dadanya, yang rupanya mengakhiri pergulatan yang lama… Lalu Saijah mengongsong beberapa orang soldadu yang dengan bedil terkokang mengahalu sisa-sisa pemberontak yang masih hidup ke dalam api rumah-rumah yang sedang terbakar..” (Max Havelaar 1860)
Baca Juga: Mengenal Museum Multatuli, Rekomendasi Liburan Seru Berfaedah
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.