Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apakah Erupsi Gunung dapat Diprediksi? Ini Penjelasannya!

Erupsi Marapi. IDN Times/Andri Nh

Beberapa waktu yang lalu Gunung Marapi di Sumatra Barat, meletus tanpa peringatan, menyebabkan banyak pendaki terjebak di sana. Berdasarkan catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), ada 75 orang yang melakukan pendakian.

Gunung Marapi telah berstatus Waspada atau level II sejak 2011. Kemudian pernah ditutup jalur pendakiannya pada 7 Januari 2023 karena aktivitasnya meningkat. Kemudian kembali dibuka pada 24 Juli 2023 dalam status Waspada.

Bisa terjadi letusan tanpa peringatan

potret indah Gunung Marapi dari area sawah (commons.wikimedia.org/Dody.bukittinggi)

Dikutip dari laman USGS, kebanyakan gunung berapi memberikan peringatan sebelum terjadi letusan. Letusan magmatik melibatkan naiknya magma ke permukaan, biasanya menimbulkan gempa bumi yang dapat dideteksi.

Hal ini juga dapat merusak permukaan tanah dan menyebabkan aliran panas yang tidak normal atau perubahan suhu dan kimia air tanah serta mata air. Namun, letusan semburan uap dapat terjadi tanpa peringatan apa pun karena air yang sangat panas berubah menjadi uap.

Prekursor penting terjadinya letusan termasuk:

  • Peningkatan frekuensi dan intensitas gempa terasa
  • Berdasarkan aktivitas uap atau fumarol dan area panas yang membesar
  • Pembengkakan halus pada permukaan tanah
  • Perubahan kecil dalam aliran panas
  • Perubahan komposisi atau kelimpahan gas fumarol

Prekursor ini tidak menunjukkan jenis atau skala letusan yang diperkirakan, namun dapat berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun sebelum aktivitas letusan dimulai. Ini juga dapat mereda kapan saja dan tidak selalu diikuti oleh letusan.

Memasang instrumen

Melansir dari situs NOVA, ahli vulkanologi dapat memprediksi letusan jika mereka memiliki pemahaman menyeluruh tentang sejarah letusan gunung berapi. Mereka juga harus bisa memasang instrumen yang tepat pada gunung berapi jauh sebelum terjadi letusan dengan terus memantau dan menafsirkan data yang berasal dari peralatan tersebut secara memadai.

Namun, ahli vulkanologi hanya dapat menawarkan probabilitas bahwa suatu peristiwa akan terjadi, mereka tidak pernah bisa memastikan seberapa parah letusan yang diperkirakan akan terjadi atau apakah letusan tersebut akan menghancurkan permukaan.

Mempelajari sebanyak mungkin tentang perilaku gunung berapi di masa lalu merupakan langkah pertama yang penting dalam mengantisipasi bencana di masa depan. Sejarah letusan gunung berapi adalah kunci utama prediksi jangka panjang.

Pemetaan aliran lava tua, endapan piroklastik, dan puing-puing vulkanik lainnya yang tersebar di sekitar kawah dapat mengungkap banyak hal tentang waktu, jenis, arah, dan besarnya hantaman sebelumnya.

Perangkat vulkanologi

Ilustrasi Seismogram (IDN Times/Arief Rahmat)

Para ahli vulkanologi sepakat bahwa hal yang paling berharga adalah memantau kegempaan gunung berapi melalui frekuensi dan distribusi gempa bumi yang mendasarinya. Semakin banyak seismograf yang ditempatkan di gunung berapi, semakin lengkap juga gambaran yang mereka peroleh tentang pipa-pipa gunung tersebut.

Jaringan seismik dapat mengirimkan data melalui radio 24 jam sehari ke stasiun pemantauan yang dilengkapi komputer. Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk dengan aman mengamati perubahan.

Sistem akuisisi dan analisis data seismik berbasis komputer, yang pada dasarnya merupakan observatorium portabel, memungkinkan tim tanggap krisis berhasil memprediksi letusan Gunung Pinatubo pada 1991.

Meskipun kegempaan adalah kuncinya, pemantauan deformasi tanah merupakan teknik baru lainnya yang memungkinkan pemetaan tiga dimensi tentang apa yang terjadi di bawah tanah. Magma yang naik dari kedalaman sering kali mendorong kulit gunung berapi ke atas dan ke luar, seperti balon yang terisi udara.

Pengukur kemiringan dan instrumen survei yang sensitif dapat mengukur dan mencatat perubahan sekecil apa pun, yang membantu ahli vulkanologi. Misalnya seberapa dalam sumber magma, seberapa cepat pergerakannya, dan di lokasi gunung berapi mana ia mungkin meletus.

Pemantauan semacam ini telah membantu para ilmuwan mengantisipasi letusan gunung berapi Kilauea dan Mauna Loa di Hawaii, yang mengalami perubahan bentuk dengan cara dan kecepatan yang dapat diprediksi.

Mengukur uap

Ilustrasi bencana erupsi gunung berapi. ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

Cara ini jadi harapan jangka panjang. Magma yang jauh di bawah tanah berada di bawah tekanan yang sangat besar, membuat uapnya tetap larut. Namun saat magma naik ke permukaan, tekanannya mereda dan gas seperti karbon dioksida dan sulfur dioksida mulai menggelembung keluar dari batuan cair untuk menuju udara.

Secara teoritis, perubahan konsentrasi CO2 dan SO2 yang dikeluarkan oleh gunung berapi dapat digunakan untuk memprediksi letusan, seperti halnya peningkatan keluaran gas secara umum.

Pemantauan gas vulkanik dimulai pada tahun 1950-an ketika para peneliti Jepang menempatkan gelas kimia berisi kalium hidroksida, suatu larutan basa yang kuat, di gunung berapi Asama di Honshu, yang mulai menunjukkan tanda-tanda akan meletus.

Ketika gas sangat asam yang dilepaskan oleh kawah merembes melalui lubang-lubang pada peti yang menutupi gelas kimia, gas-gas tersebut semakin mengubah komposisi larutan pada bulan-bulan sebelum letusan besar.

Meskipun ahli vulkanologi merasa yakin bahwa teknologi yang terus berkembang ini akan memungkinkan mereka memprediksi kapan letusan akan terjadi, mereka masih belum dapat memperkirakan secara pasti ukuran atau sifat pasti letusan yang akan terjadi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Mayang Ulfah Narimanda
Achmad Fatkhur Rozi
3+
Mayang Ulfah Narimanda
EditorMayang Ulfah Narimanda
Follow Us