Menurut laman Budaya Indonesia, pada 1987, Bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo yang melihat pesta rakyat ini, melahirkan gagasan untuk mewadahi kegiatan ini dengan mengarah pada pelestarian budaya.
Kala itu minat pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai luntur. Maka dari itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan unsur Reog didalamnya.
Secara etimologis, kata “grebeg” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti derap banyak kaki yang bergemuruh. Sedangkan “suro” berasal dari bahasa Arab, yakni “As-Syura”, merupakan sebutan untuk bulan Muharram atau bulan pertama dalam kalender Hijriah.
Jadi, Grebeg Suro dapat diartikan sebagai peristiwa keramaian yang dilaksanakan untuk memperingati tahun baru Islam.
Tradisi Grebeg Suro mempunyai beberapa jenis tindakan sosial, di antaranya:
- Kegiatan yang berlandaskan nilai-nilai agama, seperti tadarus (membaca Alquran), istighosah, berdoa bersama, hingga buceng porak.
- Tindakan tradisonal ritual bedhol Pusaka dan larungan risalah doa di Telaga Ngebel.
- Tindakan afektif yang ditandai dengan acara kenduri atau selamatan yang bertujuan untuk berbagi rezeki.