Bagaimana Negara Israel Terbentuk? PBB Terlibat!

Negara Israel modern berdiri sejak 1948, tetapi kekuatan agama, budaya, dan politik yang melahirkannya sebenarnya sudah bersatu padu pada abad ke-19. Pada abad tersebut, dunia dihebohkan dengan lonjakan antisemitisme, yang menggagalkan upaya asimilasi sebagian orang Yahudi. Pada abad itu pula, nasionalisme, ideologi kebanggaan, dan kesetiaan kepada negara-bangsa Yahudi berkembang menjadi sebuah aliran pemikiran yang terorganisasi. Perkembangan inilah yang mendorong emigrasi penduduk Yahudi Eropa ke Palestina, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.
Sebagai tanah asal orang Yahudi dan pusat kerajaan-kerajaan yang digambarkan dalam Alkitab, tanah Palestina menjadi bagian penting dalam identitas Yahudi sejak pengusiran massal orang Yahudi dari Yudea oleh bangsa Romawi pada abad pertama Masehi. Namun, ketika gerakan nasional Yahudi yang dikenal sebagai Zionisme berakar pada 1890-an, yang sebagian besar dipengaruhi oleh tulisan Theodor Herzl, sebuah negara Yahudi mulai dipandang penting bagi kelangsungan hidup mereka.
Pada saat itu, hanya ada sekitar 20 ribu orang Yahudi yang tinggal di Palestina. Dukungan internasional untuk mendirikan negara Yahudi pun minim. Ditambah lagi, Kekaisaran Ottoman memiliki kendali atas permukiman imigran Yahudi di wilayah tersebut. Namun, selama Perang Dunia I, Inggris Raya berkomitmen untuk mendirikan tanah air Yahudi di wilayah tersebut, yang kemudian diambil alih administrasinya pada akhir Perang Dunia. Bagaimana sejarah lengkapnya?
1. Ketegangan antara orang Arab dan Yahudi sudah ada sejak awal di tanah Palestina

Komitmen Inggris untuk mendirikan negara bagi orang Yahudi di Palestina dimotivasi oleh banyak faktor, mulai dari komitmen Inggris untuk memberikan hak moral hingga upayanya untuk memberikan pengaruh di rute perdagangan penting antara Mesir dan India yang dikuasai Inggris (sekarang Terusan Zues). Namun, upaya untuk mencapai tujuan tersebut terhambat oleh penduduk Arab setempat, yang telah menerima jaminan dari Prancis selama Perang Dunia I. Dalam hal ini, Prancis berpihak pada penduduk Arab di tanah Palestina. Meski begitu, pemerintahan Inggris di Palestina menolak hak-hak penduduk Arab untuk memerintah sendiri dan masuknya para pemukim Arab ini dianggap sebagai proyek kolonial Prancis.
Sementara itu, jumlah imigran Yahudi ke Palestina meningkat drastis. Dikutip Vox, populasi Yahudi di wilayah tersebut meningkat delapan kali lipat pada akhir 1800-an ketika Nazi berkuasa di Jerman. Bahkan, ini sebelum Adolf Hitler dan Perang Dunia I dimulai. Sebab, pogrom di Kekaisaran Rusia telah mengusir banyak orang Yahudi dari Eropa Timur ke Palestina.
Sayangnya, orang Yahudi berkonflik dengan penduduk Arab di Palestina. Pemerintahan Inggris lalu menyerah untuk mendamaikan kedua kelompok tersebut. Musyawarah akhir tentang masa depan Palestina lantas tertunda.
Serangkaian kekerasan memuncak dalam Pemberontakan Arab pada 1936. Pertikaian ini berlangsung selama 3 tahun dan memicu lahirnya beberapa milisi pertahanan Yahudi. Inggris terkejut dengan intensitas pertempuran tersebut dan menyimpulkan bahwa kedua kelompok itu tidak main-main untuk menguasai Palestina. Nah, akhirnya, satu-satunya jalan ialah membagi tanah tersebut.
2. Perang Dunia II semakin mempersulit orang Yahudi membentuk negara di tanah Palestina

Sebelum terjadinya Pemberontakan Arab, Inggris yang awalnya berkomitmen untuk mendirikan negara bagi orang Yahudi menyimpulkan bahwa pemisahan merupakan satu-satunya pemecahan masalah. Seruan itu akhirnya dibuat secara terbuka.
Para pegiat zionis optimis tentang pemisahan tersebut. Namun, ide untuk membagi Palestina dan relokasi orang Arab di dalam wilayah Yahudi justru semakin mengobarkan Pemberontakan Arab. Solusi sementara yang diusulkan oleh Inggris ini rupanya tidak memuaskan kedua belah pihak, terutama bagi orang Arab.
Saat Perang Dunia II pecah, masalah ini semakin rumit. Inggris justru mencari dukungan Arab untuk melawan Blok Poros. Inggris lantas membatalkan dukungan sebelumnya untuk imigrasi Yahudi ke Palestina pada 1939.
Inggris juga sepakat bahwa setiap orang Yahudi harus ada di dalam negara Arab Palestina yang merdeka, yang akan dipertimbangkan dalam waktu 10 tahun ke depan. Selain itu, imigrasi dan pembagian tanah ke orang Yahudi akan dibatasi lebih lanjut setelah periode 5 tahun. Kebijakan baru tersebut membuat marah orang Yahudi dan Arab.
Akhirnya, banyak orang Yahudi terjebak di wilayah yang dikuasai Nazi tanpa perlindungan. Dua kapal pengungsi yang membawa penumpang Yahudi ditenggelamkan selama perang. Hal ini memicu serangan balasan terhadap Inggris.
Meski ada kebijakan baru, komunitas Yahudi di Palestina sebagian besar mendukung Inggris selama perang. Dengan beberapa pengecualian, populasi Arab juga memberikan dukungan kepada Inggris. Populasi orang Yahudi dan Arab lalu meningkat. Pada akhir perang, terdapat sekitar 600 ribu orang Yahudi dan 1 juta orang Arab di Palestina.
3. PBB mendirikan Israel pada 1947

Kampanye untuk pembentukan negara Yahudi di Palestina kembali digalakkan dengan sungguh-sungguh setelah Perang Dunia II. Nah, pengungkapan tentang Holokaus membantu meningkatkan dukungan internasional kepada orang Yahudi. Menurut Anti-Defamation League, Inggris berusaha mempertahankan pembatasan imigrasinya terhadap pengungsi Yahudi dari Eropa, yang masih menghadapi penolakan keras ketika memasuki Palestina.
Dilemahkan oleh perang dan tidak mampu menawarkan solusi yang dapat diterima baik oleh orang Yahudi maupun Arab, pemerintahan pascaperang Inggris di bawah Clement Atlee meminta bantuan kepada Amerika Serikat (AS). AS lalu menekan Inggris untuk menerima sekitar 100 ribu pengungsi Yahudi. Amerika pun memanfaatkan pengaruh besarnya di wilayah tersebut untuk kepentingan orang Yahudi.
Masalah ini akhirnya dirujuk ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB mengusulkan rencananya sendiri untuk membagi wilayah Palestina pada 1947. Rencana tersebut menyerukan dua negara dalam persatuan ekonomi dengan mayoritas wilayah diberikan kepada penduduk Yahudi. Selain itu, Yerusalem menjadi kota internasional. Proposal tersebut diterima oleh mayoritas negara dan penduduk Yahudi di Palestina, tetapi mendapat perlawanan dari negara-negara Arab. Beberapa kebijakan pemerintahan Presiden AS, Harry S Truman, justru menentang pengakuan negara Yahudi meski Presiden Harry Truman akhirnya berkomitmen membantu pembentukan negara tersebut.
Negara Israel modern lalu lahir pada 14 Maret 1948. Namun, negara baru itu diserang oleh negara-negara tetangga Arabnya dan pasukan di Palestina, yang menganggap Israel sebagai penjajah lewat tangan-tangan Barat. Nah, setelah terjadinya serangkaian perang dan perjanjian damai, Israel mengamankan perbatasannya dan memperluas wilayahnya sedikit demi sedikit, yang membuat negara-negara di Timur Tengah semakin geram. Meski begitu, adanya resolusi diplomatik untuk mengatasi ketegangan dengan penduduk Arab Palestina (yang dibiarkan tanpa negara) terbukti sulit dicapai, bahkan hingga hari ini.
Referensi
"Creation of the State of Israel". Anti-Defamation League (ADL). Diakses Juli 2025.
"History of Israel". Britannica. Diakses Juli 2025.
"Israel History: Recognition of Israel". Harry S. Truman Library & Museum. Diakses Juli 2025.
"Map of the Roman Exile, 70 CE". Jewish Virtual Library. Diakses Juli 2025.
"The Balfour Declaration". History.com. Diakses Juli 2025.
"The Origins of the Israeli-Palestinian Conflict". Vox. Diakses Juli 2025.
"Zionism and Israel: A Short History". Vox. Diakses Juli 2025.