Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Harimau sumatra jadi satu-satunya subspesies harimau yang masih tersisa di Indonesia. (commons.wikimedia.org/Monika Betley)

Dalam pembagian kelompok hewan di Indonesia, kita mengenal tiga wilayah berbeda yang terdiri atas zona Asiatis, Peralihan, dan Australis. Pembagian wilayah tersebut didasari pada karakteristik hewan yang hidup pada masing-masing zona yang mirip dengan hewan di dataran utama Asia, Australia, dan campuran antara keduanya. Maka dari itu, kalau berbicara soal hewan-hewan tipe Asiatis, kita bisa menemukan beberapa contoh spesies yang sama seperti yang berada di dataran Asia, salah satunya harimau (Panthera tigris).

Seperti yang kita ketahui, Indonesia pernah memiliki tiga subspesies berbeda, yakni harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) yang jadi satu-satunya subspesies tersisa, harimau jawa (Panthera tigris sondaica), dan harimau bali (Panthera tigris balica). Ketiga subspesies harimau itu sama-sama menghuni pulau-pulau zona Asiatis, tapi ada satu pulau yang tidak menjadi rumah bagi kucing besar ini, yaitu Kalimantan.

Ya, pulau Kalimantan sejatinya masih masuk dalam kawasan Asiatis. Bahkan, hewan-hewan di sana pada dasarnya juga bisa ditemukan di pulau zona Asiatis lain, semisal orangutan dan gajah kalimantan. Misteri keberadaan harimau di kalimantan semakin membingungkan mengingat belasan ribu tahun lalu, sebelum zaman es berakhir, pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan sempat bersatu lewat sebuah tempat bernama Paparan Sunda.

Benarkah harimau tidak pernah berada di Kalimantan? Apa jangan-jangan sebenarnya mereka pernah mengembara di pulau terbesar di Indonesia ini seperti harimau di tiga pulau lain? Pada kesempatan kali ini, yuk, kita ungkap misteri keberadaan harimau di pulau Kalimantan!

1. Hipotesis mengenai harimau yang tidak pernah sampai ke pulau Kalimantan

ilustrasi Paparan Sunda yang menghubungkan wilayah Asiatis dengan Asia daratan (commons.wikimedia.org/ש.מירון)

Mengingat pulau Kalimantan, Sumatra, Jawa dan wilayah sekitarnya pernah bersatu sekitar 2,6 juta hingga 12 ribu tahun lalu saat zaman es berakhir, sebenarnya agak membingungkan kalau harimau tidak pernah mengembara sama sekali ke pulau Kalimantan. Agar mendapat jawaban yang pasti, sejumlah peneliti dan ahli sudah lama mencoba meneliti masalah ini. Salah satunya ada Erik Meijaard dalam artikel ilmiahnya yang berjudul, "The Bornean Tiger; Speculation on its Existence" yang memiliki dua dugaan atau hipotesis utama dari empat hipotesis yang dituliskan terkait keberadaan harimau di pulau Kalimantan.

Hipotesis pertama, disebutkan kalau harimau sebenarnya tidak pernah menginjakkan kakinya di pulau Kalimantan. Alasannya karena di dataran rendah yang berada di antara pulau-pulau Paparan Sunda (sekarang sudah tenggelam dan menjadi laut) beriklim kering dengan sabana dan hutan yang sangat cocok dengan harimau. Maka dari itu, mereka tidak perlu pergi sampai pulau Kalimantan.

Ditambah lagi, di pulau Kalimantan sudah lebih dulu ada predator alami yang telah beradaptasi dengan baik atas kondisi geografis pulau tersebut bernama macan dahan (Neofelis nebulosa). Alasan lain soal hipotesis ini disebutkan karena ketika harimau di Asia sampai ke Paparan Sunda, wilayah Sumatra dan Jawa masih bersatu, tetapi wilayah Kalimantan sudah terpisah karena es yang mencair.

Ahli konservasi bernama Kalaweit Chanee dalam siniar Dengar Kalaweit Chanee yang bertajuk, "Kenapa Tidak Ada Harimau di Kalimantan?" membagikan jawabannya yang berkaitan dengan hipotesis ini. Secara garis besar, ia menyebut kalau habitat di Kalimantan sama sekali tidak cocok untuk harimau karena berupa rawa dan lahan basah. Maka dari itu, sekalipun harimau pernah masuk ke Kalimantan, mereka tidak bisa beradaptasi sehingga tak pernah menumbuhkan populasi yang besar.

Kalaweit Chanee memang tidak menutup kemungkinan kalau harimau pernah menginjakkan kaki di Kalimantan. Namun, jumlahnya sangat sedikit dan tak memungkinkan untuk menciptakan populasi yang layak untuk dikatakan kalau mereka menetap di pulau Kalimantan.

2. Hipotesis yang menyebut kalau sebenarnya harimau pernah ada di Kalimantan, tapi...

seekor harimau sumatra yang dipelihara di Kebun Binatang Tierpark Berlin (commons.wikimedia.org/Captain Herbert)

Hipotesis kedua dari Erik Meijaard mendukung keberadaan harimau di pulau Kalimantan, tetapi sudah punah lebih dulu ketimbang tiga subspesies harimau lain di Indonesia. Alasannya diduga karena populasi harimau di pulau Kalimantan tidak pernah mencapai angka yang besar. Sebab, kontur pulau Kalimantan yang minim gunung berapi membuat tanah di sana menjadi kurang subur bagi tanaman jika dibandingkan dengan pulau Jawa atau Sumatra. Selain itu, keberadaan rawa atau lahan basah di sana pasca berakhirnya zaman es pastinya menyulitkan kucing besar ini untuk beraktivitas.

Alhasil, kepadatan hewan yang dapat menjadi mangsa harimau di sana turut menyusut yang menjadikan populasi mereka tidak pernah besar. Hipotesis kedua dari Erik Meijaard ini dapat dikatakan lebih bisa dibuktikan karena di pulau Kalimantan sendiri kita pernah menemukan beberapa fosil dari kucing besar yang satu ini. Mengutip akun X @troodonvet, setidaknya ada tiga fosil harimau yang ditemukan di Gua Niah (Sarawak, Malaysia), Sungai Kahayan (Kalimantan Tengah), dan Pulau Palawan (Filipina). 

Masing-masing temuan fosil itu dilakukan dalam penelitian berbeda-beda. Spesimen yang ditemukan di Gua Niah teridentifikasi dalam jurnal "Confirmation of the presence of the tiger Panthera tigris (L.) in Late Pleistocene and Holocene Borneo" karya Philip Piper dan R. J. Rabett. Spesimen di Sungai Kahayan teridentifikasi dalam jurnal "Short notes on a second tiger (Panthera tigris) from Late Pleistocene Borneo" karya Shaheer Sherani. Terakhir, spesimen di Pulau Palawan teridentifikasi dalam jurnal "The first evidence for the past presence of the tiger Panthera tigris (L.) on the island of Palawan, Philippines: Extinction in an island population" karya Philip J. Piper, dkk..

Ada dua kemungkinan kenapa sangat sedikit fosil atau sisa-sisa harimau di sekitar pulau Kalimantan sangat sulit ditemukan. Pertama, bisa saja memang populasi mereka tidak pernah besar sejak awal sehingga sulit meninggalkan jejak yang bisa diidentifikasi pada zaman sekarang. Kedua, kondisi tanah di pulau Kalimantan tidak memungkinkan tulang belulang menjadi fosil karena tanah gambut yang cepat menguraikan tulang.

3. Harimau dalam kacamata masyarakat adat di Kalimantan

potret tengkorak dari harimau jawa yang sudah punah (commons.wikimedia.org/Klaus Rassinger und Gerhard Cammerer)

Sementara itu, kalau kita melihat kacamata masyarakat Kalimantan, khususnya masyarakat adat yang dekat dengan alam, keberadaan harimau di sana cukup diyakini secara turun temurun. Dilansir Mongabay, masyarakat Dayak Ngaju percaya kalau nenek moyang mereka pernah memburu harimau di Kalimantan. Bukti yang diajukan berupa sebuah taring besar yang dianggap sebagai jimat keberanian pagi pemiliknya.

Hal ini jelas masih perlu diteliti lebih lanjut. Lebih-lebih lagi, bisa saja tulang yang dimiliki masyarakat Dayak Ngaju itu merupakan milik macan dahan yang merupakan kucing liar dengan rasio ukuran taring dengan tubuh terbesar di dunia, walaupun sebenarnya kepala suku Dayak Ngaju membantah hal tersebut.

Sekalipun demikian, adanya kisah pertemuan nenek moyang suku Dayak Ngaju dengan harimau jelas tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, sebagai masyarakat yang tinggal dekat dengan alam, potensi mereka bertemu dengan hewan-hewan yang tidak pernah kita duga sebelumnya jelas lebih tinggi.

Misteri tentang keberadaan harimau di pulau Kalimantan ini jelas masih memerlukan proses panjang sebelum kita bisa sampai pada satu kesimpulan yang pasti. Akan tetapi, lewat temuan sedikit fosil tulang belulang dan cerita masyarakat setempat tentang keberadaan harimau di sana jelas jadi pertanda soal keberadaan kucing besar ini di sana. Kalau menurutmu, harimau benar-benar pernah ada di pulau Kalimantan atau tidak, nih?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team