Ketika elektron-elektron dalam atom yang tersinkronisasi secara vibrasi mencapai keadaan energi tertingginya, mereka tiba-tiba turun kembali ke energi rendah secara serempak dan memancarkan bentuk cahaya khusus dalam proses tersebut.
Perangkat laser kemudian memurnikan cahaya ini dengan memantulkannya bolak-balik di antara dua cermin sebelum menggunakannya.
Fisika dasar di balik teknologi laser telah dikenal selama lebih dari satu abad; teori ini pertama kali dikemukakan oleh Albert Einstein pada 1917. Namun para peneliti membutuhkan waktu hampir empat dekade untuk mewujudkan ide teoretis ini.
Sebelum laser, ada maser–teknologi serupa yang menggunakan gelombang mikro sebagai pengganti cahaya tampak. Maser fungsional pertama dibangun pada tahun 1954 oleh sekelompok ilmuwan di Universitas Columbia.
Perangkat ini menggunakan berkas molekul amonia berenergi tinggi dan wadah berongga yang disebut rongga resonansi untuk memaksa gelombang mikro berosilasi bersama. Namun, keluaran dayanya kecil–hanya sekitar 10 nanowatt.
Jumlah tersebut satu miliar kali lebih sedikit dibandingkan jumlah yang dibutuhkan untuk menyalakan bola lampu pada umumnya. Sebaliknya, laser paling kuat di dunia dapat menghasilkan hingga 10 petawatt–sekitar sepersepuluh kekuatan Matahari.
Untuk membuat maser lebih kuat, para ilmuwan mulai mengamati frekuensi berbeda dalam spektrum elektromagnetik. Pada tahun 1960, “maser optik”–lebih dikenal sebagai laser– lahir. Tidak semua laser beroperasi pada spektrum cahaya tampak, tetapi semuanya menggunakan frekuensi di atas radiasi gelombang mikro.