Kita sering melihat di film kalau suku pedalaman Amerika Selatan suka menggunakan damak atau panah beracun untuk berburu atau membunuh. Dari sekian banyak racun yang dipakai, yang paling terkenal adalah batrachotoxin (dari bahasa Yunani, βάτραχος atau batrachos yang berarti "katak"). Selain neurotoxin, batrachotoxin juga merusak jantung (cardiotoxin).
Suku Choco dari Kolombia Barat menggunakan "keringat" katak panah emas (Phyllobates terribilis) dan katak panah hitam (Phyllobates bicolor) pada ujung sumpit atau panah mereka sebagai senjata. Dilansir dari Science Alert, LD50 dari batrachotoxin sendiri adalah 2 mikorgram/kg, setara dengan dua butir kecil garam!
Cara kerjanya adalah dengan merusak kanal ion sodium (Na+) dalam sel otot dan saraf, dan menghambatnya proses regenerasinya agar tetap menganga. Migrasi ion Na+ yang terus-menerus mengakibatkan kematian yang menyakitkan dengan kelumpuhan dan gagal jantung. Hingga saat ini, batrachotoxin belum memiliki penawar.
Tidak harus kedua katak tersebut, ditemukan di Papua Nugini, burung Pitohui pun juga dikatakan memiliki batrachotoxin. Sekitar tiga dekade lalu, seorang ahli ornitologi asal AS, Jack Dumbacher, terluka karena burung Pitohui di Papua Nugini dan ia segera merasakan mati rasa di sekujur mulutnya. Untungnya, ia segera diobati sebelum terlambat.
Meskipun tidak seberbahaya batrachotoxin pada dua katak panah, penemuan molekul batrachotoxin pada burung Pitohui yang tidak hidup di Amerika Selatan menguatkan hipotesis para peneliti bahwa terciptanya batrachotoxin pada katak dan burung tersebut ada pada faktor konsumsi.