Mengenal Third Place yang Krusial untuk Kesehatan Mental

Bisa juga dalam bentuk virtual third place

Third place belakangan ini menjadi perbincangan hangat di media sosial. Terma itu merujuk kepada tempat ketiga selain rumah (tempat pertama) dan kantor/sekolah (tempat kedua).

Third place diperkenalkan pertama kali oleh sosiolog Amerika Serikat, Ray Oldenburg, lewat buku berjudul The Great Good Place yang terbit pada 1989. Intinya adalah tempat netral saat seseorang bisa berinteraksi dan beraktivitas secara informal tanpa ada tekanan-tekanan tertentu.

Lantas, apa manfaat dari keberadaan third place? Adakah implikasinya buat kewarasan kita? Simak bahasan berikut, yuk!

1. Ada sedikitnya enam kriteria third place menurut Ray Oldenburg

Mengenal Third Place yang Krusial untuk Kesehatan Mentalilustrasi perpustakaan umum (Pexels.com/Kelly)

Sebelum manfaat, ada baiknya kita menyatukan dahulu definisi third place atau tempat ketiga ini. Melansir esai Karen Christensen di publikasi PBB, The UNESCO Courier, yang ditulisnya bareng Ray Oldenburg sendiri, ada beberapa kriteria utama dari third place. Berikut beberapa di antaranya:

  • Sebuah tempat harus terbuka untuk siapa saja, tidak perlu undangan dan syarat tertentu untuk berada di dalamnya. 
  • Orang bisa keluar masuk sesuka hati, tidak ada struktur dan aturan mengikat.
  • Lokasinya mudah diakses dan tidak mahal (terjangkau).
  • Suasananya menyenangkan dan santai.
  • Memungkinkan orang berinteraksi atau berbincang satu sama lain.
  • Punya pengunjung tetap.

Masih melansir sumber yang sama, third place berkembang di Inggris pada 1800-an dalam bentuk coffee house atau warung kopi. Banyak perusahaan dan bisnis yang bermula di warkop. Tempat itu menjadi arena diskusi politik.

Lain lagi di Austria. Banyak orang menjadikan bar sebagai third place karena kesukaan mereka kepada bir. Pada era modern, third place tak hanya berupa kafe dan bar. Ia bisa berbentuk taman kota, gym, atau arena olahraga, perpustakaan, dan lain sebagainya.

Baca Juga: 4 Pelajaran Pentingnya Mental Health yang Disorot dalam Doctor Slump

2. Memiliki peran dalam persoalan kesehatan mental

Mengenal Third Place yang Krusial untuk Kesehatan Mentalilustrasi kafe (Pexels.com/Huy Phan)

Selain definisi Ray Oldenburg, Mark Nevins dari Forbes berpendapat kalau third place sesederhana tempat yang bisa membuat seseorang lepas dari dua tempat utamanya (rumah dan kantor). Dengan berada di tempat netral itu, kita akan lebih mudah rileks dan melakukan refleksi. Inilah yang kemudian membuat banyak asumsi kalau third place krusial untuk menjaga kewarasan atau kesehatan mental

Apakah asumsi itu benar? Ini tercantum dalam studi yang dilakukan Narae Lee pada 2022 berjudul "Third place and Psychological Well-Being: The Psychological Benefits of Eating and Drinking Places for University Students in Southern California, USA" terhadap 772 mahasiswa University of California Irvine. Hasilnya menunjukkan korelasi positif dari keberadaan third place, seperti kafe dan taman kota, terhadap kondisi psikis mereka.

Lebih lanjut, Finlay dkk dalam jurnal berjudul "Closure of Third Places? Exploring Potential Consequences for Collective Health and Wellbeing" menjelaskan, dampak psikis yang diciptakan third place, antara lain: rasa kebersamaan, persepsi akan keamanan, kepercayaan diri, dan keamanan. Tempat ketiga juga mendorong orang untuk aktif secara fisik dan mental, yakni dengan pergi ke luar rumah dan menjalin koneksi. 

Oldenburg selaku pencetus terma ini juga percaya kalau tempat ketiga adalah embrio dari demokrasi. Orang bisa mengekspresikan opini mereka serta bertukar ide dan pikiran secara sehat. Dengan segala peran tadi, tak berlebihan bila third place disebut punya kontribusi besar dalam hidup manusia.

3. Third place muncul dalam bentuk virtual third place di tengah disrupsi teknologi

Mengenal Third Place yang Krusial untuk Kesehatan Mentalilustrasi taman kota (Pexels.com/ Narmin Aliyeva)

Ketika disrupsi teknologi terjadi, muncul pula virtual third place, yakni tempat ketiga yang terbentuk lewat forum-forum internet. Tujuan dan proses pembentukannya sama, yakni mewadahi orang-orang dengan gaya hidup dan minat yang sama tanpa kodependensi. Meski tak memberikan efek yang sama selayaknya pertemuan atau interaksi tatap muka, banyak orang menemukan keuntungan dari virtual third place. 

Merujuk tulisan Ema Warkiewicz berjudul "Third Places in the Era of Virtual Communities" di jurnal Studia Periegetica, tempat ketiga virtual adalah respons dari makin meluasnya ide-ide individualisme serta disintegrasi komunitas tradisional. Ini ditandai dengan menurunnya jumlah peserta kegiatan keagamaan, festival atau upacara adat, dan acara sosial lainnya. Itu terjadi terutama saat pandemik. Orang sempat terkurung di dalam rumah untuk karantina mandiri. 

Dengan berakhirnya pandemik, third place nonvirtual seolah jadi tempat yang sedang dicari. Sayangnya, tempat ketiga ini tidak lepas dari bias-bias tertentu, apalagi bila dikelola swasta. Contoh mudahnya, harga yang tidak terjangkau untuk semua kalangan. Peran sektor publik tentu amat didambakan untuk menyediakan third place yang gratis atau berharga murah dan mudah diakses.

Baca Juga: 5 Langkah Terapkan Slow Living demi Kesehatan Mental

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Gagah N. Putra

Berita Terkini Lainnya