Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi eksploitasi tambang (unsplash.com/Team Kiesel)

Intinya sih...

  • Penambangan merusak struktur tanah dan menghasilkan gas rumah kaca

  • Pembakaran hasil tambang menyumbang emisi gas rumah kaca

  • Limbah tambang memicu degradasi ekosistem dan memperparah polusi iklim

Eksploitasi tambang telah menjadi bagian dari aktivitas manusia sejak ribuan tahun lalu. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, laju dan skala eksploitasi meningkat drastis seiring dengan permintaan energi dan bahan baku industri yang semakin tinggi. Dari tambang batu bara hingga logam berat, seluruh proses penambangan membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan. Salah satu isu yang kini makin mendapat perhatian adalah hubungan antara eksploitasi tambang dan perubahan iklim global.

Aktivitas ini tidak hanya meninggalkan jejak ekologis di lokasi tambang, tetapi juga mendorong peningkatan emisi gas rumah kaca dalam skala besar. Ketika proses penambangan digabungkan dengan pembakaran hasil tambangnya, terjadi kontribusi signifikan terhadap pemanasan global. Berikut penjabaran dari berbagai sisi sains yang menjelaskan bagaimana eksploitasi tambang bisa mengubah iklim dunia.

1. Penambangan mengganggu struktur tanah dan siklus karbon

ilustrasi penambangan (unsplash.com/Ivan Bandura)

Saat sebuah wilayah dibuka untuk tambang, vegetasi yang ada akan dibabat habis dan tanah akan dikupas hingga ke lapisan dalam. Aktivitas ini merusak kemampuan tanah dalam menyerap karbon karena lapisan tanah atas yang biasanya mengandung bahan organik justru dibuang atau tercemar. Akibatnya, karbon yang seharusnya tersimpan aman di dalam tanah malah jadi terlepas ke atmosfer dalam wujud karbon dioksida.

Selain itu, material yang tergali dari bawah permukaan bumi sering mengandung senyawa-senyawa yang bisa bereaksi saat terpapar udara atau air. Reaksi kimia ini, seperti oksidasi mineral sulfida, bisa menghasilkan gas rumah kaca seperti CO₂ dan metana dalam jumlah besar. Dengan kata lain, proses fisik dan kimia saat menambang bisa mempercepat pelepasan karbon yang selama ini terkunci secara alami di dalam bumi.

2. Pembakaran hasil tambang menyumbang emisi gas rumah kaca

ilustrasi tambang (unsplash.com/Evangelos Mpikakis)

Batu bara, minyak bumi, dan gas alam merupakan hasil tambang yang menjadi sumber energi utama di dunia. Namun, ketiga hasil tambang tersebut dikenal sebagai kontributor utama emisi karbon dioksida. Ketika bahan-bahan ini dibakar dalam skala industri, jutaan ton CO₂ dilepaskan ke atmosfer setiap tahun. Inilah salah satu penyebab utama meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi.

Satu hal yang perlu dipahami bahwa emisi dari pembakaran ini tidak hanya berasal dari negara industri besar. Banyak negara berkembang yang juga menggantungkan perekonomian dan energinya dari bahan tambang. Maka, meskipun negara-negara maju berusaha mengurangi emisi, selama tambang masih dieksploitasi besar-besaran untuk energi, upaya mitigasi perubahan iklim jadi tidak seimbang.

3. Limbah tambang memicu degradasi ekosistem dan mempercepat pelepasan karbon

ilustrasi limbah tambang (unsplash.com/Evgeny Moskvin)

Dalam proses ekstraksi logam, digunakan bahan kimia seperti sianida atau merkuri yang sangat beracun. Limbah hasil proses ini sering kali mencemari sungai, danau, bahkan laut. Ketika ekosistem perairan tercemar, gangguan terjadi pada organisme penghasil oksigen seperti fitoplankton dan ganggang. Ini berujung pada penurunan kemampuan ekosistem untuk menyerap CO₂ dari atmosfer.

Selain itu, hutan yang ditebang demi membuka lahan tambang jelas akan menyumbang dua dampak yaitu berkurangnya penyerapan karbon dan terlepasnya cadangan karbon dalam vegetasi. Kerusakan hutan ini tak hanya memengaruhi iklim secara lokal, tetapi juga mengganggu keseimbangan iklim global karena peran hutan hujan tropis sebagai paru-paru bumi.

4. Transportasi dan pengolahan hasil tambang memperparah polusi iklim

ilustrasi tambang (unsplash.com/Shane McLendon)

Hasil tambang tidak langsung dipakai di tempat yang sama, tetapi harus diangkut dan diolah terlebih dahulu. Proses transportasi, terutama yang menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil, menyumbang emisi tambahan. Begitu pula dengan pabrik pengolahan yang menggunakan energi dalam jumlah besar, seringkali berasal dari sumber tidak terbarukan.

Misalnya, smelter atau tungku peleburan logam bisa mengeluarkan gas SO₂ dan NOx yang bukan hanya mencemari udara, tetapi juga berkontribusi pada pemanasan global secara tidak langsung. Polusi ini juga memperburuk kualitas udara dan meningkatkan suhu di sekitar area tambang, fenomena yang dikenal sebagai efek pulau panas industri.

5. Perubahan iklim akibat tambang berdampak kembali pada sistem geologis

ilustrasi perubahan iklim (unsplash.com/Matt Palmer)

Efek dari eksploitasi tambang terhadap iklim bersifat timbal balik. Pemanasan global menyebabkan perubahan pola curah hujan, mencairnya permafrost, dan meningkatnya frekuensi bencana alam seperti longsor atau banjir. Semua ini kembali memengaruhi kestabilan wilayah tambang yang sedang aktif maupun yang sudah ditinggalkan.

Sebagai contoh, tambang terbuka di daerah bersalju kini mengalami kerusakan struktur karena tanah beku yang mulai mencair. Akibatnya, risiko kebocoran limbah tambang atau bahkan runtuhnya dinding tambang semakin besar. Ini menciptakan siklus bahaya baru yakni kerusakan iklim memperparah dampak tambang, dan tambang mempercepat kerusakan iklim.

Eksploitasi tambang memang memberikan manfaat ekonomi dalam jangka pendek, tapi konsekuensi jangka panjangnya terhadap iklim tidak bisa diabaikan. Ketika eksploitasi tambang terus berlangsung tanpa pengawasan dan inovasi ramah lingkungan, maka sistem iklim global akan makin terganggu. Kesadaran ilmiah dan kebijakan berkelanjutan harus berjalan bersama agar bumi tetap layak huni untuk generasi selanjutnya dan tidak rusak semata karena tambang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team