Ayatollah Ruhollah Khomeini, Penentang Syah Iran yang Kontroversial

Di antara para pemimpin politik dan agama yang paling terkenal pada 1980-an adalah Mantan Pemimpin Agung Iran (Islam Syiah) dan Pemimpin Republik Islam Iran, Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini. Ia lahir pada awal tahun 1902 di Khomeyn, Iran, sebagai putra seorang pemimpin agama Islam. Ayahnya dibunuh dalam suatu perselisihan ketika Khomeini masih kecil. Khomeini pun tumbuh dengan mempelajari Islam Syiah.
Pada 1962, Ruhollah Khomeini mempelajari ajaran agama dan hukumnya secara mendalam hingga menjadi Aayatollah (Ayatullah) Agung dalam 12 Imam Syiah. Ini merupakan sekte Syiah yang paling dominan dalam Islam. Ayatollah adalah istilah yang hanya diperuntukkan bagi ulama yang paling terpelajar dan dihormati. Ayatollah dengan ilmu tertinggi dikenal sebagai Ayatollah Agung atau 'pemimpin tertinggi'. Mereka merupakan wakil dari Imam Tersembunyi (pengganti Muhammad) dalam 12 Imam Syiah.
Setelah mengambil alih kekuasaan di Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini adalah salah satu pengkritik terbesar terkait kebijakan luar negeri Amerika. Ia menyebut Amerika Serikat sebagai "Setan Besar" dunia, sebagaimana yang ditulis Times. Khomeini memerintah selama hampir 10 tahun sebagai pemimpin tertinggi Iran hingga kematiannya pada bulan Juni 1989. Seorang tokoh yang terkenal tertutup dan ilusif, inilah fakta Ayatollah Ruhollah Khomeini.
1. Ayatollah Ruhollah Khomeini membangkang kebijakan politik Syah Iran
Sepanjang besar hidupnya, Ayatollah Ruhollah Khomeini terkenal sebagai seorang pembangkang, terutama dalam dunia politik. Seperti yang dijelaskan NPR, Presiden AS Dwight D Eisenhower kala itu membantu merencanakan penggulingan pemerintah Iran di bawah kepemimpinan Mohammad Mossadegh pada 1953.
Mossadegh pun menjadi simbol oposisi di Iran terhadap Syah yang korup. Pada awal 1960-an, ketidakpuasan masyarakat Iran terhadap Mohammad Mossadegh ini menyebabkan protes politik yang meluas di kalangan guru besar. Disisi lain, setelah kematian Ayatollah Muhammad Hussein Burujirdi, kelompok agama di Iran juga menjadi terpolitisasi.
Untuk mencoba mempertahankan kekuasaannya dan menenangkan massa di Iran, Syah Mohammad Reza Pahlavi melembagakan Revolusi Putih pada awal 1963. Hal ini dirancang untuk meredakan ketegangan dengan memberikan hak pilih bagi perempuan, meningkatkan kemampuan masyarakat agar melek huruf, dan memberikan kesejahteraan ekonomi bagi kelas pekerja. Namun, Revolusi Putih tidak terlalu populer di Iran, terutama bagi Khomeini saat muda.
Ruhollah Khomeini adalah penerus Ayatollah Muhammad Hussein Burujirdi setelah Burujirdi meninggal pada 1961. Khomeini sendiri berulang kali menentang Revolusi Putih. Usai berpidato mengkritik Syah Mohammad Reza Pahlavi pada peringatan suci Asyura Islam Syiah, Ruhollah Khomeini langsung dipenjara.
Namun, insiden ini justru mendongkrak popularitas Khomeini di kalangan oposisi Syah dan kalangan pemuka agama. Hal ini juga dengan tegas menjadikan Khomeini dan para ulama lainnya sebagai pemimpin oposisi anti Syah di Iran. Mengubah mereka dari pemimpin agama menjadi pemimpin politik.