http://rickyadrianphotography.blogspot.com
Hingga saat ini belum diketahui jumlah korban pasti dalam praktik perbudakan terkait asusila ini, karena tidak adanya dokumen yang menyebutkan perkiraan jumlah wanita yang dijadikan perbudakan terkait asusila dari berbagai wilayah jajahan Jepang saat Perang Dunia II berlangsung. Jumlah wanita yang menjadi perbudakan terkait asusila, saat ini diperkirakan mencapai 50 hingga 200 ribu orang.
Dengan demikian, tuntutan permintaan maaf kepada Jepang pun datang dari berbagai wanita di belahan dunia yang sempat menjadi korban perbudakan itu. Mulai dari Korea hingga Indonesia, para wanita mantan jugun ianfu itu berteriak meminta keadilan dan permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Hal ini pun mendorong terselenggaranya pengadilan rakyat yang bertujuan mengumpulkan para korban agar bisa bersaksi soal praktik perbudakan terkait asusila tersebut.
Pengadilan rakyat oini adalah "Women's International War Crimes Tribunal on Japan's Military Sexual Slavery". Sebelumnya, pengadilan serupa juga pernah dilakukan oleh Jepang pada tahun 1946 terkait kejahatan perang yang dilakukan Jepang dan juga untuk menampung laporan kasus tindak kejahatan seksual oleh militer Jepang.
Tujuh dokumen yang dibawa oleh pemerintah Belanda, Prancis, dan China yang menyimpulkan bahwa militer Jepang secara langsung memaksa para perempuan untuk bekerja di ianjo, seperti di wilayah-wilayah Indonesia, China, Timor Leste, dan Vietnam. Namun, tujuh dokumen tersebut dianggap mempermalukan kabiet Shinzo Abe. Akibatnya, anggota kabinet menyatakan jika tidak adanya bukti bahwa militer Jepang terlibat langsung dalam pemaksaan tersebut.
Jepang selalu memposisikan dirinya sebagai "war victim" atau korban perang. Padahal, jelas jika mereka justru berada di posisi sebaliknya. Jepang bahkan pernah mencoba menghancurkan catatan perang ketika tahu negaranya akan kalah dalam Perang Dunia II.
Penghancuran catatan perang tersebut tak lain bertujuan agar Jepang bisa terhindar dari konsekuensi hukum di mata dunia. Penghancuran dokumen tersebut sangatlah efektif untuk bangsa Jepang karena dapat menutupi kebengisan pemerintahannya sendiri dari masyarakatnya. Mungkin itu juga jadi penyebab, mengapa tak ada dokumen atau catatan pasti jumlah korban wanita yang menjadi perbudakan terkait asusila.
Jepang pun menjadi sangat denial ketika menyangkut masalah comfort women, yang mereka anggap sebagai akal-akalan negara bekas jajahan Jepang untuk mendapatkan ganti rugi. Mereka juga berprasangka, jika negara bekas jajahannya itu sengaja melakukan hal tersebut agar bisa mempermalukan negara Jepang di hadapan publik atas apa yang telah mereka lakukan di masa lalu.