serbuk mika di kawasan Ontario, Kanada (instagram.com/ontariominingco)
Mika menjadi problematik karena proses penambangannya yang tidak etis, banyak mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Inilah yang kemudian mendorong beberapa produsen kosmetik menggunakan mika sintetik karena dianggap lebih ethical. Ini sejalan dengan logika bahwa mika sintetik dibuat di laboratorium, tidak ditambang oleh pekerja anak-anak yang tereksploitasi.
Berdasarkan tulisan Valkenburg dan Pike dalam Journal of Research of the National Bureau of Standards, sintesis mika pertama kali dikembangkan pada abad ke-19 di Eropa, tepatnya di Jerman dan Swedia. Program pengembangan tersebut dilakukan untuk membuat fluor phlogophite dengan menggunakan batuan granit, silika, dan beberapa mika natural.
Fluor phlogophite dikembangkan pula di Jepang pasca Perang Dunia II. Berdasarkan jurnal yang ditulis Tokiti Noda di tahun 1955, mika sintetik berhasil dibuat di laboratorium menggunakan mineral-mineral penyusunnya yaitu magnesium, besi, aluminium, dan silika. Mika sintetik buatan Noda memiliki kemampuan bertahan di suhu tinggi menyerupai mika jenis phlogopite. Ini membuat mika sintetik tersebut diklaim lebih baik dipakai sebagai bahan bonding pada keramik dan gelas, serta jadi konduktor elektronik.
Penelitian lain datang dari Lance Frazer yang mempublikasikan jurnal berjudul 'Mighty Mica' di tahun 2002. Menurut penelitiannya, mika sintetik bernama Na-4-mica ini tidak memiliki kalium sebagai perekat antar lembaran. Ia menggantinya dengan dua ion natrium. Ion natrium dalam mika sintetik inilah yang kemudian terbukti bisa mengikat radium. Frazer pun menambahkan bahwa hasil penelitian ini memungkinkan penggunaan mika untuk membersihkan air dan tanah yang terlanjur tercemar radium.
Sejak dulu sumber daya alam seperti energi dan mineral selalu jadi problem tersendiri. Ia dibutuhkan manusia dan terus meningkat permintaannya seiring munculnya konsumerisme, tetapi di sisi lain juga bermasalah di ranah etika serta kesejahteraan pekerjanya.