Pasca bangkrutnya Medan Prijaji, T. A. S. diasingkan ke Ambon pada tahun 1913. Sekembalinya dari pengasingan, ia seperti terbuang dari zamannya, segala yang ia bangun akhirnya sudah tiada berbekas. Hingga akhirnya, ia menderita depresi dan mempengaruhi kesehatan fisiknya.
Mungkin inilah salah satu kisah sad ending yang paling epik. T.A. S. benar-benar meninggal dalam kesendirian pada 7 Desember 1918. Politik picik pemerintah colonial menyebarkan propaganda hingga akhirnya kawan dan kerabat T. A. S. meninggalkannya.
Ia meninggal dalam kesunyian di umur yang masih 38 tahun di pangkuan sahabat yang tetap setia padanya, Gunawan. Mangkatnya T. A. S. dituliskan oleh salah satu anak didik T. A. S. yaitu Mas Marko di surat kabar Djawi Hisworo tahun 1918. Dan ia disemayamkan untuk selamanya di Mangga Dua dengan hanya diantar iring-iringan kecil.
Banyak membaca kisahnya membuat kita bisa mengerti sedikit watak dari Tirto Adhi Soerjo. Jika ia masih hidup di zaman ini, T. A. S. bisa-bisa dibilang sebagai 'boyfriend material'.
Bagaimana tidak, ia cakap tidak hanya dalam menulis, kedokteran, tapi bahkan mengembangkan usahanya. Dalam novel tetralogi pulau Buru bahkan Pram bahkan menceritakan sosok T. A. S. sebagai pria yang memiliki wajah rupawan dan menarik bagi wanita. Kamu sudah baca?