Sedih, Topeng Monyet Lebih Stres dari Saudaranya yang Hidup Bebas

Isu ini menyangkut kesejahteraan pawang monyet juga

Kesenian tradisional topeng monyet sudah lama menghibur masyarakat. Namun, di balik hiburan yang diberikan, terdapat penderitaan tersembunyi di balik tampang yang kita anggap imut dan lucu. Pertunjukan ini gak cuma ada di Indonesia. Budaya ini juga tersebar di penjuru Asia Selatan dan Asia Tenggara, salah satunya di Pakistan. Di luar negeri, pertunjukan ini dikenal dengan nama dancing monkey atau 'monyet menari'.

Seorang peneliti dari Universitas Glasgow, Inggris, yang dibesarkan di Pakistan mencoba mencari tahu penderitaan monyet-monyet yang dimanfaatkan dalam pertunjukan ini. Dari sampel rambut, peneliti menganalisis kadar hormon stres yang ada pada monyet-monyet ini. Hasilnya seperti yang sudah bisa kita duga. Simak penjelasannya berikut ini!

1. Dipisahkan dari induk sejak kecil sampai usia yang lebih pendek

Sedih, Topeng Monyet Lebih Stres dari Saudaranya yang Hidup Bebaspertunjukan topeng monyet (commons.wikimedia.org/Mohammad Rizky ramadhan)

Gak jauh beda seperti di Indonesia, pertunjukan topeng monyet di Pakistan juga dilakukan dengan cara yang sama. Leher monyet-monyet ini dirantai supaya gak kabur. Sedari kecil, mereka diajari gerakan tarian, trik, dan akrobat yang dianggap imut seta lucu. Monyet-monyet ini juga diambil dari alam liar sejak masih bayi dan dipisahkan dari induknya. 

Di Indonesia, jenis monyet yang digunakan biasanya monyet kra atau monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Kalau di Pakistan, mereka memanfaatkan monyet resus (Macaca mulatta) yang asli Asia Selatan, Asia Tengah, dan beberapa wilayah di Timur Tengah. Menurut laman Phys.org, monyet resus banyak dikenal di seluruh dunia karena keimutan dan kecerdasannya. Mereka juga dimanfaatkan sebagai hewan peliharaan sampai hewan uji laboratorium. 

Monyet-monyet dalam pertunjukan topeng monyet dan monyet menari umumnya menunjukkan tanda-tanda ketakutan serta tindakan agresif selama pertunjukan. Kondisi tubuhnya pun buruk. Mereka juga menunjukkan perilaku abnormal, seperti mengisap jari atau menggigit dirinya sendiri. Monyet-monyet ini rata-rata punya rentang hidup sampai usia 12 tahun saja, sangat pendek kalau dibandingkan dengan rentang hidup monyet-monyet cagar alam yang bisa mencapai usia 27 tahun.

Baca Juga: 9 Fakta Unik Elang Filipina, Burung Pemangsa Bermata Biru!

2. Hasil studi menunjukkan konsentrasi hormon stres tinggi

Sedih, Topeng Monyet Lebih Stres dari Saudaranya yang Hidup Bebaspertunjukan topeng monyet di Pakistan (commons.wikimedia.org/Rangbaz)

Usai dapat persetujuan dari pemimpin kelompok untuk bicara dengan pawang yang bekerja di bawah mereka, pasangan peneliti dari Universitas Glasgow kemudian mengumpulkan sampel helai rambut dada dan bahu dari 50 ekor monyet resus yang digunakan dalam atraksi topeng monyet atau monyet menari di Islamabad dan sekitarnya. Sebagian besar monyet yang digunakan berjenis kelamin jantan karena dianggap lebih menarik perhatian. Cuma dua ekor sampel yang betina.

Sebagai perbandingan, peneliti juga mengambil sampel bulu dada dari 77 ekor monyet resus yang hidup bebas di cagar alam dengan sedikit campur tangan manusia di Florida. Hasilnya? Dalam hasil studi yang diterbitkan jurnal Applied Animal Behavior Science pada Desember 2023 lalu, diketahui kalau konsentrasi hormon stres atau kortisol topeng monyet atau monyet menari 55 persen lebih tinggi dari mereka yang tinggal di cagar alam. Temuan ini menandakan kalau monyet-monyet mengalami stres secara terus-menerus.

Gak cuma tingkat stres, peneliti juga mengukur konsentrasi testosteron pada monyet-monyet jantan ini. Ternyata rata-rata testosteronnya 55 persen lebih rendah. Angka ini kemungkinan menunjukkan kalau para monyet sudah menerima fakta kalau pawangnya adalah sosok yang dominan terhadap hidup mereka. 

3. Gak cuma hewan, isu ini juga menyangkut hak asasi dan kesejahteraan manusia

Sedih, Topeng Monyet Lebih Stres dari Saudaranya yang Hidup Bebaskeluarga monyet resus di India (commons.wikimedia.org/Timothy Gonsalves)

Temuan ini mungkin bukan hal yang mengejutkan mengingat kehidupan berat yang harus dijalani monyet-monyet ini. Amanda Dettmer dari Universitas Yale mengungkapkan pada laman New Scientist kalau salah satu masalahnya adalah kebanyakan orang gak tahu seperti apa rupa monyet yang gak bahagia. Orang-orang mengira monyet sedang tersenyum dan menganggapnya imut dan lucu. Namun, sebenarnya itu tanda rasa takut. 

Penulis utama penelitian ini, Mishaal Akbar, juga menyorot realitas kejam yang harus dihadapi para pawang. Menurutnya, para pawang juga tahu benar kalau monyet-monyet ini hidup secara gak layak. Namun, mereka juga bakal menghadapi kesulitan yang lebih besar tanpa pendapatan dari pertunjukan topeng monyet atau monyet menari ini. 

Pawang-pawang ini bekerja dalam skema mirip piramida. Mereka harus membayar pemimpin kelompok sekian persentase dari pendapatannya. Mereka terpaksa turut serta dalam siklus gelap dengan risiko kehilangan profesi dan tempat tinggal. Mereka juga ingin menyekolahkan anak-anaknya supaya gak perlu menjalani profesi yang sama seperti orangtuanya. Peneliti mengimbau pada orang-orang untuk gak menjelek-jelekkan komunitas tertentu yang terpaksa turut serta dalam siklus gelap ini demi kesejahteraan hidupnya. 

Ia selanjutnya juga berpendapat untuk menawarkan alternatif berkelanjutan pada pawang monyet supaya gak bergantung pada profesinya itu. Hal ini pernah dilakukan untuk menuntaskan masalah profesi beruang menari di India. Dilansir Wildlife SOS, beberapa pendekatan ini termasuk memberikan alternatif pekerjaan lain, membekali keterampilan, sampai menyekolahkan anak-anaknya.

Bagaimana kalau menurutmu? Kira-kira langkah apa yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah ini? Bagikan pendapatmu di kolom komentar, ya.

Baca Juga: 3 Fakta Kelelawar Buah Mariana, Mamalia yang Punah pada 2023

Ina Suraga Photo Verified Writer Ina Suraga

Business inquiries: suraga.ina@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya