Bisa taipan pesisir merupakan salah satu bisa paling mematikan di dunia. (commons.wikimedia.org/Sheba)
Banyaknya jenis ular yang bisa ditemukan di Australia tentu akan menimbulkan pertanyaan lain, yaitu seberapa berbahaya mereka sebenarnya? Seperti yang sudah disebutkan di atas, jumlah ular yang sanggup membunuh manusia hanya berkisar 12—25 spesies atau sekitar 10—20 persen dari keseluruhan spesies yang ditemukan di sana. Ternyata beberapa di antaranya memang jenis ular paling mematikan di dunia. Dalam studi LD50 (Lethal Dosage 50), spesies ular seperti taipan pedalaman, ular cokelat australia, dan ular harimau masuk dalam urutan teratas.
Studi LD50 pada dasarnya menguji seberapa efektif bisa ular dalam membunuh tikus lab dan menghitung kadar berbahayanya jika masuk ke dalam tubuh manusia. Maka dari itu, kadang kita mendengar hasil bahwa dosis sekian dari bisa ular tertentu dapat membunuh sekian manusia dewasa. Kalau melihat data di lapangan, sebenarnya ular-ular berbahaya di Australia itu sangat jarang menimbulkan korban jiwa, lho.
Dilansir CSIRO Australia, ular-ular yang ditemukan di Asia, Afrika, maupun Amerika Selatan justru lebih banyak menyumbang angka kematian manusia tiap tahunnya ketimbang Australia. Alasan mengapa Australia sukses menekan angka kematian akibat gigitan ular adalah tersedianya antibisa yang memadai. Selain itu, kesigapan tenaga medis di sana juga dapat dengan cepat membantu masyarakat yang tak sengaja tergigit oleh ular berbisa.
Tak cukup sampai di situ, kesadaran masyarakat Australia terhadap ancaman ular-ular yang hidup dekat di pemukimannya pun patut diacungi jempol. Mereka sudah paham tindakan apa saja yang perlu dilakukan jika bertemu dengan ular di tempat terbuka ataupun ular yang terjebak di dalam rumahnya. Ditambah lagi, petugas yang berwenang untuk menangani ular masuk rumah pun dapat bereaksi dengan cepat dan tepat dalam mengatasi tiap aduan dari masyarakat yang bertemu dengan ular.
Akhirnya, terjawab juga, kan, alasan mengapa di Australia memiliki begitu banyak spesies ular yang hidup di dalamnya? Dari fakta-fakta ini, kita bisa belajar kalau ternyata hewan melata yang kita kira hanya bisa bergerak dengan lamban ini sanggup berpindah dari satu dataran ke dataran lainnya pada ratusan juta tahun yang lalu. Selain itu, kita juga seharusnya belajar dari Australia soal penanganan terhadap ular berbisa dan masalah yang bisa ditimbulkan akibat gigitannya.
Menyediakan antibisa yang memadai, tenaga medis, dan petugas penanganan ular yang sigap dan terlatih, sampai mengedukasi masyarakat ketika tak sengaja bertemu dengan ular sudah seharusnya kita tiru. Sebab, jumlah ular yang bisa ditemukan di Indonesia pun sebenarnya juga terbilang banyak. Bahkan, angka konflik masyarakat Indonesia dengan ular pun cukup tinggi sehingga langkah-langkah pencegahan tersebut jadi penting untuk dilaksanakan.