Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
batik parang
ilustrasi batik parang (flickr.com/dejahvoe)

Intinya sih...

  • Batik parang merupakan motif batik yang populer dari keraton Jawa

  • Aturan penggunaan batik parang dibagi menjadi dua, yakni ketika dikenakan sebagai nyamping atau bebet dan untuk kampuh atau dodot

  • Larangan penggunaan batik parang dalam acara tasyakuran pernikahan putra kedua Presiden RI merupakan permintaan langsung dari pihak Pura Mangkunegaran sendiri

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Batik parang adalah salah satu motif batik tertua dan paling sarat makna dalam budaya Jawa. Coraknya yang khas berbentuk miring berulang menyerupai ombak laut melambangkan kekuatan, kesinambungan, dan semangat pantang menyerah. Namun, di balik keindahan dan makna filosofisnya, ada aturan adat yang cukup ketat.

Kenapa batik parang tidak boleh dipakai di acara pernikahan? Bukan sekadar pantangan, menariknya, ada filosofi khusus yang menjadikan batik parang spesial dan tidak boleh digunakan pada semua acara.

Filosofi batik parang

ilustrasi batik parang (flickr.com/Prakoso Prakoso)

Parang adalah salah satu motif batik yang populer dari keraton Jawa. Asli Indonesia, motif batik parang sudah ada sejak masa keraton Mataram Kartasura (Solo). Nama parang diambil dari kata 'pereng' yang artinya lereng. 

Sesuai namanya, batik parang sendiri digambarkan dengan garis menurun miring dari arah tinggi ke lebih rendah secara diagonal. Di antara garis tersebut, terdapat jalinan seperti huruf 'S' yang berkesinambungan. 

Garis diagonal lurus memiliki filosofi penghormatan dan cita-cita. Selain itu juga kesetiaan pada nilai yang dijunjung dengan benar. Adapun motif jalinan 'S' yang tidak terputus layaknya ombak samudra yang bermakna semangat tidak pernah padam, melansir RRI

Penggunaan batik ini menampilkan perjuangan kesejahteraan, memperbaiki diri, dan keeratan pertalian saudara. Lebih detail, motif yang konon diciptakan oleh Panembahan Senopati ini juga digambarkan sebagai hadiah yang mulia untuk anak-anaknya. 

Pada masa tahta Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), terdapat aturan khusus penggunaan pakaian dengan batik motif parang. Aturan tersebut tertuang dalam Rijksblad van Djokjakarta tahun 1927, tentang "Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta". 

Batik parang hanya boleh dikenakan oleh keluarga keraton, termasuk raja, permaisuri, dan keturunannya, bangsawan, dan bupati. Ketentuan ini berlaku di keraton Solo maupun Yogyakarta. 

Aturan penggunaan batik parang

ilustrasi batik parang (flickr.com/dejahvoe)

Aturan penggunaan batik parang dibagi menjadi dua, yakni ketika dikenakan sebagai nyamping atau bebet dan untuk kampuh atau dodot. Masing-masing dikenakan oleh anggota kesultanan tertentu dengan kondisi khusus. Dilansir situs Kraton Jogja, ketentuan penggunaan batik parang yakni sebagai berikut:

Aturan nyamping/bebet:

  • Parang Rusak Barong dengan ukuran lebih dari 10 cm hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota
  • Parang Barong ukuran 10 – 12 cm boleh dikenakan oleh putra mahkota, permaisuri, Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kajeng Gusti Pangeran Adipati dan istri utamanya, putra sulung sultan dan istri utamanya, putra-putri sultan dari permaisuri, dan patih
  • Parang Gendreh ukuran 8 cm dikenakan oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, serta para pangeran dan istri utamanya
  • Parang Klithik ukuran 4 cm atau kurang boleh dipakai oleh putra ampeyan dalem, dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit dan buyut, canggah, hingga wareng.

Jika dikenakan sebagai kampuh atau dodot aturannya yakni:

  • Parang Barong boleh dikenakan oleh sultan, permaisuri dan istri utama, putra mahkota, putri sulung sultan, Kanjeng Panembahan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, putra sulung sultan, dan istri utamanya
  • Kampuh Gendreh dikenakan oleh istri (garwa ampeyan), putra-putri sultan dari permaisuri dan garwa ampeyan, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentono, istri utama para pangeran, dan patih
  • Bebet Prajuritan atau kain batik untuk kelengkapan busana keprajuritan, yang boleh mengenakan sama dengan ketentuan pemakaian kampuh gendreh
  • Kampuh Parang Rusak Klithik dipakai untuk istri dan garwa ampeyan putra mahkota.

Kenapa batik parang tidak boleh dipakai di acara pernikahan?

ilustrasi batik parang (flickr.com/dejahvoe)

Dilansir RRI, terdapat filosofi Jawa mengapa motif batik parang tidak boleh dikenakan di acara tasyakuran atau pesta pernikahan. Sebab, motif batik dipercaya membawa pernikahan dan keluarga baru tersebut penuh dengan perselisihan. 

Di sisi lain, batik parang merupakan motif yang secara khusus dikenakan oleh anggota kerajaan. Maka dari itu, penggunaan di kawasan keraton oleh tamu yang bukan anggota kesultanan pun sebaiknya dihindari. Langkah ini diambil sebagai upaya penghormatan. 

Jadi, kenapa batik parang tidak boleh dipakai di acara pernikahan adalah sebuah upaya penghormatan terhadap tradisi. Tentu kekayaan budaya yang tidak boleh dilupakan.

FAQ seputar Batik Parang dan Pernikahan

1. Kenapa batik parang tidak boleh dipakai saat pernikahan?

Batik parang memiliki makna filosofi tentang perjuangan dan konflik yang tak pernah berhenti. Karena pernikahan diharapkan membawa keharmonisan, motif ini dianggap kurang sesuai untuk dikenakan dalam acara sakral tersebut.

2. Apakah batik parang sama sekali dilarang dipakai?

Tidak. Batik parang tetap boleh dipakai pada acara lain seperti pertemuan resmi, acara adat, atau kegiatan budaya. Larangan hanya berlaku pada acara pernikahan karena pertimbangan makna simbolisnya.

3. Motif batik apa yang dianjurkan untuk pernikahan?

Beberapa motif batik yang sering dipilih untuk pernikahan adalah batik truntum, sidomukti, dan sidoluhur. Motif-motif ini melambangkan cinta, kemakmuran, dan kebahagiaan rumah tangga.

Editorial Team