potret demonstrasi di Prancis (Pexels.com/Alotrobo)
Protes sudah jadi bagian integral dari masyarakat Prancis. Merujuk tulisan Matthew Wills untuk JStor Daily, ini berkaitan dengan ritual bernama charivari. Ritual ini ditemukan di Eropa pada abad pertengahan dan meluas ke benua Amerika lewat kolonialisme dan migrasi. Pada dasarnya, charivari adalah tradisi mengolok orang yang dianggap melanggar norma sosial. Bisa dengan nyanyian, sorakan, atau bahkan aksi lainnya.
Dalam perkembangannya, charivari masuk ke ranah politik dan akhirnya berkontribusi dalam perubahan sistem pemerintahan Prancis dari monarki absolut ke republik pada abad ke-18. Salah satu faktor kesuksesannya adalah metode protes mereka yang tak biasa. Orang Prancis tak ragu melancarkan protes dahulu sebelum metode-metode politik lain macam negosiasi dan dialog dijalankan. Tak jarang, protes ini berdampak besar terhadap kegiatan ekonomi, karena dilakukan oleh hampir seluruh kalangan, terutama kelas pekerja.
Belum lagi aksi teatrikal mereka yang lumayan ekstrem dan berani. Mulai dari membakar ikan impor, menyemprot pupuk kandang ke kantor pemerintah, sampai ramai-ramai mengenakan rompi kuning sebagai simbol penolakan terhadap kebijakan kapitalis.
Protes di Prancis bisa bertahan sampai beberapa minggu, benar-benar sampai tuntutan mereka dikabulkan. Ini adalah sebuah konsistensi yang tak mudah ditemukan di banyak negara. Sebagai bagian dari budaya, Wilson dalam tulisannya pun menemukan bahwa banyak orang Prancis merasa kalau protes adalah sesuatu yang membanggakan dan layak diromantisasi.
Kreativitas dan kegigihan demonstran pun didukung media yang meliput mereka secara ugal-ugalan alias totalitas. Dibanding media di negara lain, media Prancis cukup rajin memberitakan aksi protes. Ini akhirnya memberikan kesan bahwa protes di Prancis adalah hal besar yang layak diperhatikan.