Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kenapa suara hewan ucapannya berbeda di setiap negara (pixabay.com/SasReu)
ilustrasi kenapa suara hewan ucapannya berbeda di setiap negara (pixabay.com/SasReu)

Pernah gak kamu bertanya-tanya, kenapa suara hewan ucapannya berbeda di setiap negara? Misalnya, ayam di Indonesia berbunyi “kukuruyuk”, tapi di Inggris orang bilang “cock-a-doodle-doo”, dan di Jerman jadi “kikeriki”. Padahal ayamnya sama, tapi kenapa suara hewan ucapannya berbeda di setiap negara? 

Jawabannya ternyata lebih dalam dari sekadar terjemahan, lho. Ada banyak faktor linguistik, budaya, sampai simbolik yang memengaruhi cara manusia di berbagai negara menirukan suara hewan. Yuk, bahas lebih lanjut!

1. Bahasa mempengaruhi cara manusia mendengar

ilustrasi anjing (unsplash.com/Patrick Hendry)

Salah satu alasannya adalah karena setiap bahasa punya cara unik untuk mendengar dan meniru bunyi. Apa yang terdengar seperti “woof” bagi penutur bahasa Inggris, bisa saja kedengaran “wan-wan” bagi orang Jepang. Ini bukan berarti hewannya menggonggong dengan suara berbeda, tapi persepsi manusialah yang membuatnya terdengar berbeda.

Menurut the Language Nerds, otak manusia terbiasa mengolah suara menggunakan struktur bunyi dari bahasa yang dikuasai sejak kecil. Jadi, meski kamu dan seseorang di negara lain mendengar suara yang sama, cara menuliskannya bisa sangat berbeda. Inilah kenapa suara hewan jadi "berbeda" antara satu negara dengan yang lain. 

2. Onomatope dan fonetik yang bervariasi

ilustrasi anak anjing saling bermain (unsplash.com/Alvan Nee)

Setiap bahasa punya aturan fonetik, artinya, hanya bunyi-bunyi tertentu yang bisa digunakan dalam kata-kata. Karena itu, ketika meniru suara hewan, orang dari negara yang berbeda akan menggunakan bunyi yang berbeda pula. Contohnya, suara anjing di Rusia adalah “gav-gav”, sedangkan di Korea jadi “yaong".

Hal ini terjadi karena manusia hanya bisa menuliskan suara hewan dengan bunyi yang tersedia di bahasa mereka. Maka dari itu, kamu gak akan menemukan suara “th” khas bahasa Inggris dalam tiruan hewan di bahasa Jepang, karena bunyi itu gak eksis dalam sistem fonetik Jepang.

3. Alfabet dan sistem bunyi membentuk kata

ilustrasi kucing Siam (pexels.com/Marko Obrvan)

Selain fonetik, alfabet yang digunakan dalam suatu bahasa juga memengaruhi bagaimana suara hewan ditulis, berdasarkan jurnal 2017. Sebagai contoh, bahasa Jepang gak mengenal huruf “L”, sehingga bunyi-bunyi yang menggunakan huruf itu akan diganti dengan huruf terdekat. Ini juga berlaku dalam menuliskan suara hewan, lho.

Misal, suara kucing dalam bahasa Inggris “meow”, sementara penutur Jepang menyebutnya “nyan-nyan”. Kenapa? Karena bahasa Jepang lebih nyaman dengan pola vokal-konsonan yang sederhana, dan “nyan-nyan” lebih cocok dengan struktur bahasa mereka. 

4. Budaya dan familiaritas menentukan representasi

ilustrasi unta (pixabay.com/NamibianHeart)

Coba kamu bayangkan, kalau kamu tinggal di negara yang gak ada kambing, kamu pasti bingung menuliskan suara kambing. Inilah kenapa budaya dan tingkat keakraban dengan hewan tertentu memengaruhi bagaimana suara mereka ditiru, dari sebuah studi tahun 2012 di Universitas London. Negara-negara yang sering berinteraksi dengan hewan tertentu biasanya punya representasi suara yang lebih spesifik.

Sebaliknya, jika suatu hewan asing bagi masyarakat, mereka bisa saja mengadopsi kata dari bahasa lain atau membuat tiruan yang terdengar sesuai dengan bahasa mereka. Contohnya suara unta yang mungkin gak punya padanan di Inggris, tapi disebut “grumph” di Australia yang lebih sering berinteraksi dengan unta di wilayah pedalaman.

5. Simbolisme dalam suara hewan

ilustrasi anjing yang bermain di halaman (pexels.com/Matheus Bertelli)

Beberapa kata tiruan suara hewan gak sepenuhnya berdasarkan bunyi nyata, tapi lebih karena simbolisme. Misalnya, anjing besar biasanya ditiru dengan suara seperti “woof” atau “guk”, sedangkan anjing kecil dengan “yap” atau “kik”. Ini menunjukkan bahwa bunyi itu juga membawa makna tambahan, seperti ukuran atau sifat hewan tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa suara bernada tinggi seperti burung biasanya menggunakan vokal seperti “i” atau “e”, sementara suara rendah seperti sapi menggunakan “o” atau “u”. Jadi, saat kamu mendengar “chirp” untuk burung kecil dan “moo” untuk sapi, sebenarnya itu bukan hanya meniru suara, tapi juga menyampaikan kesan ukuran dan karakter suara hewannya.

6. Dialek hewan dan persepsi manusia

ilustrasi burung hermit trush (pixabay.com/Canadian-Nature-Visions)

Meskipun sebagian besar perbedaan berasal dari manusia, ternyata beberapa hewan juga punya dialek regional. Pada tahun 1958, para peneliti di Universitas Cambridge, membuktikan jika burung hermit thrush di Amerika Utara punya lagu yang berbeda-beda tergantung wilayahnya. Hal ini terjadi karena mereka belajar suara dari sesamanya, dan suara itu bisa sedikit berbeda tergantung lingkungan.

Namun, perbedaan suara ini sangat kecil kalau dibandingkan dalam bahasa manusia. Yang jauh lebih besar pengaruhnya adalah cara manusia mendengar, memahami, dan menuliskan suara hewan tersebut. 

Jadi, kenapa suara hewan ucapannya berbeda di setiap negara? Jawabannya bukan karena hewannya berbeda, melainkan karena cara manusia mendengar dan menuliskannya dipengaruhi oleh bahasa, budaya, simbolisme, dan persepsi masing-masing. Mulai sekarang, kalau kamu mendengar ayam berbunyi “kukuruyuk” di Indonesia atau “kikeriki” di Jerman, kamu tahu bahwa itu bukan suara ayam yang berubah, melainkan telinga dan bahasa manusianya yang berbeda, ya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team