Wikimedia Commons/Jialiang Gao
Letusan gunung Tambora di pulau Sumbawa ini memiliki nilai 7 pada Indeks Ledakan Vulkanik, tertinggi yang pernah tercatat dalam sejarah peradaban manusia (Letusan Thera dan Vesuvius terlalu “zaman dahulu” untuk dinilai).
Letusan mencapai puncaknya pada bulan April 1815 M dan terdengar hingga Pulau Sumatera yang berjarak 1.930 km jauhnya. Korban jiwa letusan Tambora diperkirakan berjumlah 71.000 orang
Letusan Tambora sangat kuat dan besar sehingga mampu mempengaruhi iklim dunia. Akibatnya tahun berikutnya disebut sebagai “Tahun Tanpa Musim Panas”. Pendinginan global tidak hanya menghilangkan suatu musim untuk sementara, tetapi juga sangat berdampak buruk pada pertanian dunia.
Namun letusan Tambora sendiri tidak benar-benar membuat dunia berada pada Zaman Es mini. Masa itu merupakan puncak dari pendinginan iklim yang berlangsung selama berabad-abad, dan Tambora hanya mempercepat sedikit.
Wilayah New England (sekarang bagian dari Amerika Serikat) dan Eropa Barat di belahan Bumi utara adalah yang paling terkena dampak suhu dingin. Adanya salju tercatat pada 6 Juni 1816 di Maine, New England, yang seharusnya memasuki musim panas pada bulan tersebut.
Embun beku semalam di seluruh New England begitu konsisten sehingga tak ada tanaman pertanian yang bisa tumbuh dan harga biji-bijian serta jagung naik karena kegagalan panen yang begitu banyak.
Di Eropa Utara, banyak keluarga yang terpaksa keluar dari Wales untuk mencari makanan, yang pada dasarnya menjadi pengungsi di wilayah lebih selatan. Kegagalan panen di pantai timur Amerika memaksa banyak keluarga untuk pergi ke barat dan mempercepat tumbuhnya pemukiman di wilayah tersebut.
Jika ada sisi positif letusan Tambora, itu adalah tephra (pecahan batu yang dilepaskan dalam letusan gunung berapi) di atmosfer yang menyebabkan matahari terbenam dengan pemandangan yang luar biasa indah.