Fakta Hari Pahlawan, Perlawanan Rakyat di Surabaya!

Setelah Indonesia merdeka, rakyat masih harus berjuang

Setiap tahunnya pada 10 November diperingati dengan Hari Pahlawan. Peringatan ini mengacu pada puncak perlawanan rakyat Indonesia pada pertempuran Surabaya yang pecah di waktu tersebut tahun 1945.

Ini mengartikan bahwa setelah Indonesia merdeka di 17 Agustus 1945, rakyat masih harus berjuang. Berikut adalah penjelasan dari sejarah pertempuran Surabaya.

Bendera Belanda

Fakta Hari Pahlawan, Perlawanan Rakyat di Surabaya!ilustrasi (Unsplash.com/Adrien Olichon)

Peristiwa pertumpahan darah ini diawali dari Mr. WVCh Ploegman yang mengibarkan bendera Belanda tanpa izin Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang Hotel Yamato pada 19 September 1945.

Hal tersebut kemudian diketahui oleh para pemuda Surabaya dan menjadi pemicu kemarahan di mana Belanda dianggap telah menghina negara, ingin mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Residen Soedirman mendatangi Hotel Yamato tempat mereka mengibarkan bendera tersebut untuk berdiskusi dengan pimpinan sekutu, Ploegman, agar bendera diturunkan dan tidak terjadi keributan.

Namun diskusi tidak berjalan lancar dan Ploegman menolak untuk menurunkan benderanya. Ploegman mengeluarkan pistol, membuat perkelahian antara kedua belah pihak tidak dapat dihindari.

Di tengah keributan tersebut, Ploegman meninggal dunia karena dicekik oleh pengawal Soedirman yaitu Sidik. Namun, Sidik juga tewas karena tentara Belanda yang sedang bertugas saat itu.

Soedirman beserta pengawalnya yang lain berhasil menghindari insiden tersebut dan segera keluar dari hotel untuk mengamankan situasi.

Tapi beberapa pemuda di Surabaya terlihat langsung menaiki Hotel Yamato dan segera merobek bendera Belanda yang berwarna merah, putih, biru tersebut, menyisakan bagian merah dan putih saja.

Baca Juga: 10 November Hari Pahlawan: Sejarah, Makna, Tema, dan Logo

Kedatangan AFNEI

Fakta Hari Pahlawan, Perlawanan Rakyat di Surabaya!ilustrasi Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya (wikimedia.org/Hernawan Widhi)

Tanggal 25 Oktober 1945, kelompok Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) masuk melalui Tanjung Perak, Surabaya yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Dalam rombongan tersebut ada pula tentara Belanda dan serdadu Ambon yang tentu saja berpihak ke Belanda.

Secara umum tugas AFNEI sendiri adalah menerima penyerahan dan mengadili penjahat perang serta mempertahankan status quo hingga terjadinya perundingan selanjutnya.

Awalnya kedatangan mereka disambut dengan baik dalam rangka menarik simpati Sekutu agar kemerdekaan Indonesia diakui. AFNEI dibawa Jenderal Sir Philip Christison menerima tawaran kerjasama. Dia berjanji akan melakukan pembahasan mengenai hal ini. Namun, kedatangan AFNEI menimbulkan kecurigaan akan adanya penyusup dari NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).

Hari kedua, AFNEI melakukan penyerangan ke Penjara Kalisosok. Mereka melepaskan para tahanan berbangsa Belanda yang ditawan pemuda Surabaya. Penyerangan yang terjadi pada 27 Oktober 1945 membuat para pemuda marah dan melakukan aksi penyerangan terhadap pos–pos pasukan Inggris di bawah AFNEI. Pertempuran hebat terjadi di Jembatan Wonokromo.

A.W.S. Mallaby meregang nyawa di mobil Buick miliknya yang terbakar oleh granat pemuda Surabaya. Hal ini membuat Mayor Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum penyerahan senjata pada 10 November 1945 melalui selebaran di seluruh penjuru kota Pahlawan itu.

Mansergh mengancam apabila pasukan Surabaya tidak menyerahkan senjata, maka sekutu akan menghancurkan Surabaya. Selain itu, semua pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda harus datang paling lambat pada 10 November 1945 pukul 06:00 di tempat yang telah ditentukan.

Pecahnya pertempuran

Fakta Hari Pahlawan, Perlawanan Rakyat di Surabaya!Bung Tomo (freepik.com)

Ultimatum itu membuat pasukan Indonesia merasa direndahkan yang kemudian ditolak mentah-mentah dengan alasan bahwa Republik Indonesia sudah berdiri dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris melakukan serangan. Sebaliknya, pasukan sekutu juga mendapatkan serangan dari pasukan Indonesia.

Pertempuran Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo yang mengomando Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Ia menggerakkan pasukan dengan kalimat yang sangat populer yaitu ‘merdeka atau mati’. Penolakan ini menjadi awal dari pertempuran puncak yang sangat legendaris.

Berdasarkan buku Pertempuran Surabaya (1985) yang dibuat oleh Nugroho Notosusanto, menyebutkan bahwa peristiwa itu merupakan pertempuran paling menegangkan.

Kejadian ini juga dibahas Ricklefs dalam bukunya yang berjudul A History of Modern Indonesia Since C.1200, menyatakan bahwa Pertempuran Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling sering sepanjang masa revolusi.

Pihak Inggris sebagai bagian dari pertempuran ini memandangnya sebagai laksana inferno atau neraka karena rencana Inggris yang ingin menguasai Surabaya menjadi terlambat dua hari dari target waktunya, yaitu 26 November yang disebabkan kegigihan para pejuang yang ada di Surabaya.

20.000 nyawa melayang

Fakta Hari Pahlawan, Perlawanan Rakyat di Surabaya!IDN Times/Vanny El Rahman

Arek-arek Suroboyo dari berbagai pasukan dikerahkan untuk berperang. KH. Hasyim Asy’ari dan kiai-kiai lain sebagai tokoh besar dari kalangan agama juga turut menggerakkan santrinya untuk ikut terjun langsung dalam membela dan memperjuangkan Tanah Air.

Indonesia kehilangan 20.000 nyawa. Sedangkan pihak Sekutu 1.500 nyawa. Durasi pertempuran Surabaya memakan waktu selama 3 minggu dan menelan puluhan ribu korban jiwa.

Satu tahun kemudian, Ir. Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Pasalnya pertempuran itu bukanlah perjuangan yang dilakukan satu hari saja, namun melibatkan berbagai pertempuran yang terjadi sejak akhir Oktober hingga November 1945.

Setidaknya ada tiga bagian, yakni pertempuran pendahuluan, pertempuran puncak yang terjadi pada 10 November, dan pertempuran akhir. Jika diperkirakan, pejuang yang ikut terlibat akibat serangkaian pertempuran tersebut adalah 20.000 pasukan TKR yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur serta para rakyat pejuang yang mencapai 140.000 orang.

Baca Juga: Sejarah Detik-detik Pembacaan Proklamasi di Halaman Rumah Bung Karno

Topik:

  • Fatkhur Rozi

Berita Terkini Lainnya