Sejarah Asal-usul Gamis dan Baju Koko, Sudah Jadi Bagian Fesyen

Sering dipakai oleh lelaki muslim, dari berbagai usia

Baru-baru ini jagat Twitter ramai dengan pembicaraan tentang film Nussa. Namun alih-alih membahas filmnya, ternyata topik tren ini terkait dengan baju yang dikenakan oleh Nussa. Bermula dari cuitan Denny Siregar melalui akun @Dennysiregar7 yang mengomentari tentang baju Nussa yang dianggap tidak wajar dikenakan anak muslim di Indonesia.

Melihat dari model bajunya, baju tersebut tergolong gamis untuk anak-anak ataupun baju koko yang terlalu besar, sehingga menutupi sebagian besar kaki Nussa. Namun, apakah benar bahwa baju ini tidak wajar untuk anak di Indonesia dan bisa menjadi alat propaganda?

Meski sering memakainya, belum tentu kamu mengetahui sejarahnya. Yep, gamis dan baju koko adalah pakaian yang sering dikenakan oleh lelaki muslim. Terutama, jika sedang beribadah, seperti mengaji, shalat Jum'at, dan dipakai di hari khusus seperti Idul Fitri.

Tahukah kamu asal-usul gamis dan baju koko? Daripada menebak-nebak, lebih baik baca di bawah ini!

1. Gamis biasa dipakai di negara Timur Tengah dan Afrika

Sejarah Asal-usul Gamis dan Baju Koko, Sudah Jadi Bagian Fesyenalthawb.co.uk

Gamis (disebut juga sebagai thawb, thobe, atau qamīṣ), adalah pakaian sepanjang pergelangan kaki dan biasanya memiliki lengan panjang. Pakaian ini mirip jubah, kaftan, atau tunik. Biasanya, gamis dipakai di negara-negara Semenanjung Arab dan beberapa negara di Afrika Timur dan Barat.

Berdasarkan studi berjudul "Islamic Education in Civilization of Fashion Industry: Clothes Concept Reflection in Islam" yang diterbitkan di jurnal Ta'dib pada tahun 2015, menyebutkan tentang Raghib al-Isfahani, seorang ahli bahasa. Ia mengatakan bahwa pakaian itu dinamai tsiyab atau tsaub karena ide dasarnya, yakni sebagai "penutup alat kelamin".

Laki-laki biasanya memakai gamis bersama sirwal, yaitu celana panjang yang dikenakan di dalamnya. Dilansir laman Al Thawb, putih adalah warna favorit karena cenderung sejuk bila dipakai di iklim gurun yang panas.

Perbedaan penggunaan gamis jika di Arab adalah untuk pakaian sehari-hari, sedangkan di Indonesia digunakan khusus acara keagamaan. Walaupun begitu, karena pada dasarnya pakaian sudah menjadi bagian fesyen yang bebas dikenakan oleh siapapun, jika tidak ada syarat sakral penggunaannya, penggunaan gamis di negara mayoritas muslim, termasuk Indonesia pun sudah sering dijumpai sehari-hari. 

Baca Juga: Sejarah 8 Eksperimen Tak Manusiawi, demi Ilmu Psikologi

2. Gamis di tiap negara punya ciri khas masing-masing

Sejarah Asal-usul Gamis dan Baju Koko, Sudah Jadi Bagian Fesyenalthawb.co.uk

Setiap negara punya tradisinya sendiri dalam mengenakan gamis atau thawb. Perbedaan bisa dilihat di bagian leher dan lengan baju. Misalnya, pria Maroko mengenakan djellabah, sejenis gamis dengan lengan baju yang cenderung lebar dan leher terbuka agar ada ruang untuk bernapas di cuaca yang terik.

Sementara, pria Uni Emirat Arab memakai kandura, sejenis gamis yang tidak berkerah dengan rumbai panjang yang menggantung di leher. Pria Oman menggunakan pakaian serupa, tetapi dengan rumbai yang lebih pendek.

Bagaimana dengan pria Arab Saudi? Mereka mengenakan dishdasha yang lebih pas badan. Tampilannya seperti kemeja dengan kerah yang memiliki dua kancing, laman Al Thawb menjelaskan.

Menariknya, gamis atau thawb dipakai dengan bisht (jubah luar). Biasanya, bisht dipakai di acara-acara khusus seperti pernikahan, shalat Jum'at, hingga perayaan Idul Fitri. Bisht menunjukkan status, kebangsawanan, kekayaan, atau posisi religius seseorang.

3. Sementara, baju koko adalah baju tradisional masyarakat Tionghoa

Sejarah Asal-usul Gamis dan Baju Koko, Sudah Jadi Bagian Fesyencihc.nl

Jika gamis berasal dari Timur Tengah, maka baju koko berasal dari Asia Tengah. Ini adalah baju tradisional masyarakat Tionghoa yang dikenal dengan nama tui khim. Baju ini mulai dikenal di Indonesia tepatnya saat pendatang Tionghoa mengunjungi Batavia. Pakaian ini dulunya menjadi identitas warga Tionghoa, saat mereka didatangkan VOC untuk membangun Batavia.

Dikutip Chinese Indonesian Heritage Center, baju tui khim adalah kemeja gaya Tionghoa tanpa kerah yang dipadukan dengan celana komprang. Orang dengan status ekonomi lebih tinggi biasanya mengganti kancing kain dengan kancing berbahan logam mulia.

Di abad ke-19, pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial memiliki jaket luar dengan kerah. Kerah adalah elemen khas Eropa dan merupakan simbol pangkat atau status. Terkadang, mereka juga memakai aksesori kebarat-baratan seperti jam saku.

Pada masa tersebut, warga Tionghoa masih menjadi budak kolonial. Namun, setelah mereka merdeka dari kekuasaan Eropa, mereka tidak lagi menggunakan baju koko. Pengaruh  berpakaian yang diberikan dari warga Tionghoa saat itu akhirnya diteruskan oleh masyarakat Indonesia kelas menengah ke bawah.

Berdasarkan penuturan Remy Sylado di novelnya yang berjudul Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khilafah, baju berbahan sutra putih bernama shi-jui. Karena yang memakai adalah engkoh-engkoh (sebutan bagi lelaki Tiongkok yang lebih tua), maka baju ini dieja dalam bahasa Indonesia menjadi baju koko. Lambat laun, baju ini juga dikenal dengan istilah baju takwa.

"Baju koko itu sejarahnya panjang dan mencerminkan keberagaman unsur budaya yang membentuknya. Dari namanya baju koko sudah menggambarkan unsur Tionghoa yaitu comotan dari orang Hokkien yang berarti abang. Ini diberikan oleh orang Betawi yang kebudayaannya banyak disumbang Tionghoa dan salah satunya pakaian yang berdasar latar belakang sejarahnya berasal dari pakaian kaum peranakan Tionghoa yang ada di Tanah Betawi." Sesuai penjelasan J.J. Rizal, Sejarawan, saat diwawancarai IDN Times.

"Orang Tionghoa sendiri menyebut baju itu baju tikim (Hokkian: tui kim) yang biasa dipadupadankan dengan celana pangsi (Hokkian: phang si) diadaptasi dari pakaian tradisional orang Tionghoa di Batavia, yang masih digunakan orang Tionghoa di Batavia hingga awal abad ke-20." Lanjut Rizal.

"Saking melekat dan juga hormat atas sumbangan budaya Tionghoa, maka di Minangkabau disebut baju koko itu gunting cino. Lebih luas lagi baju koko ini juga diterima dan dijadikan bagian dari baju khas di dunia Melayu yang mengingatkan pada pakaian Teluk Belanga." Rizal menutup penjelasannya, menekankan bahwa baju koko meresap ke berbagai budaya.

Agama Islam sendiri menerima budaya apapun dari manapun, termasuk dalam cara berpakaian, selama tidak bertentangan dengan ajarannya. Salah satunya adalah mendukung fungsi berpakaian sebagai penutup aurat. Dalam hal ini, termasuk baju koko maupun baju gamis. Sehingga Islam bisa merangkul berbagai budaya, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ajarannya. Sehingga, sudah menjadi hal wajar jika kita melihat lelaki mulai anak-anak sampai usia tua mengenakan gamis dalam kesehariannya.

Baca Juga: 7 Fakta Sejarah Ini Susah Dipercaya karena Terlalu Unik

Topik:

  • Bayu D. Wicaksono

Berita Terkini Lainnya