Ngeri! 12 Peristiwa ini Pernah Terjadi Selama Perang Dunia 1

Seperti yang dilaporkan The Telegraph, Sidney G. Lewis mendaftar di Angkatan Darat Inggris pada Agustus 1915, dan pada Juni 1916, ia bertempur di Front Barat di Prancis dan menjadi bagian dari 106th Machine Gun Company. Lewis memalsukan usianya, mengaku berusia 19 tahun dan bekerja sebagai penjahit. Dia diperiksa oleh dokter militer, dan pendaftarannya diterima.

Sejarawan Michael Page menulis bahwa Lewis melayani negaranya sekitar satu tahun lebih, namun ibunya yang mengetahui keberadaannya akhirnya mengirim surat dan memberikan akta kelahirannya kepada Angkatan Darat, yang menunjukkan bahwa Lewis baru berusia 12 tahun. Bocah itu akhirnya dipulangkan ke Inggris pada September 1916. Pangkat Lewis tercatat sebagai Sersan Lance, promosi lapangan yang diberikan kepada seorang kopral. 

Salah satu gambaran paling terkenal dari Perang Dunia Pertama adalah perang parit — ribuan orang yang tinggal di parit berlumpur dan kotor, dan seringkali jaraknya hanya beberapa meter dari parit musuh. Mengerikannya lagi, parit yang sudah ditinggalkan dan dipenuhi mayat, biasanya dihuni oleh para pembelot, pencuri, dan orang-orang putus asa lainnya.

Seperti yang dijelaskan oleh Smithsonian Magazine, orang-orang ini disebut "hantu" karena muncul di malam hari untuk mengambil persediaan yang ditinggalkan, dan terkadang akan saling rebutan untuk mendapatkannya. Banyak dari mereka diyakini sebagai pembelot, tentara yang takut berperang dan tidak punya cara untuk pulang.

Skala kematian dan kehancuran dari segi harta benda dan sumber daya lainnya yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I adalah tewasnya dua juta orang hanya dalam waktu delapan minggu. Itulah yang terjadi pada tahun 1915 selama Serangan Brusilov, yang dipimpin oleh Jenderal Rusia Aleksey Brusilov melawan pasukan Austro-Hungaria.

Seperti yang dilaporkan The Irish Times, 600.000 tentara Brusilov dilatih dengan cermat menggunakan replika pertahanan. Brusilov menaklukkan sejumlah besar wilayah dalam waktu yang relatif singkat dan mendorong Kekaisaran Austro-Hungaria ke jurang kehancuran. Perkiraannya, lebih dari dua juta orang tewas, 40.000 tewas dalam satu hari menurut penulis Timothy Dowling. 

Perang Dunia I mendorong banyak inovasi dan kemajuan teknologi ketika umat manusia mencari cara yang lebih baik dan lebih efisien untuk saling membunuh. Di antara banyak kemajuan baru yang dieksplorasi oleh kekuatan militer dunia adalah perang udara. Penerbangan pertama dilakukan pada tahun 1903 oleh Wright Bersaudara. Melansir laman Air & Space, pertempuran udara pertama antara dua pesawat terjadi 11 tahun kemudian pada tahun 1914.

Juga tidak butuh waktu lama bagi angkatan udara untuk menjatuhkan bom dari udara, meskipun bom itu sebenarnya dijatuhkan dari zeppelin, bukan dari pesawat. Tidak ada alat untuk mendeteksi pesawat pada saat itu, tetapi karena teknologi pesawat meningkat selama perang, mempertahankan Paris dari pembom Jerman menjadi prioritas. Seperti yang dilaporkan The Telegraph, pada bulan-bulan terakhir perang, Prancis membangun Paris palsu.

Dibangun tepat di utara kota, Paris palsu dirancang untuk menipu pilot Jerman. Banyak detail kota Paris yang dirancang, seperti Champs-Élysées dan Gare Du Nord serta landmark terkenal lainnya. Tetapi proyek ini tidak pernah diuji — perang berakhir sebelum kota palsu itu digunakan, yang akhirnya diruntuhkan.

Tentara bernama Hugh Lofting adalah Pengawal Irlandia, ketika perang pecah, ia harus meninggalkan istri dan dua anaknya. Mengutip laman The Sun, istrinya memintanya untuk mengirim surat tentang kesehariannya selama perang di parit, tetapi Lofting enggan menulis surat tentang kesengsaraan selama peperangan.

The New England Historical Society mengungkapkan bahwa Lofting akhirnya menulis kisah menarik untuk anak-anaknya tentang seorang pria yang belajar bahasa hewan, yaitu Dr. Doolittle. Namun, Lofting dipulangkan dan ia menderita PTSD karena terluka selama perang. 

Marie Marvingt yang berusia 39 tahun adalah salah satu orang yang berprestasi dalam sejarah. Seorang atlet yang luar biasa, Marvingt memenangkan banyak penghargaan dan membuat beberapa rekor dalam olahraga berenang, bersepeda, mendaki gunung, serta aktivitas fisik lainnya. Seperti yang dicatat oleh penulis Rosalie Maggio, Marvingt juga menjadi pilot perempuan pertama yang terbang solo pada tahun 1910, serta menjadi perempuan kedua yang mendapatkan lisensi pilot.

Ketika Perang Dunia I pecah, perempuan tidak diizinkan untuk bergabung dengan angkatan bersenjata. BBC News melaporkan bahwa Marvingt menyamar sebagai seorang pria dan bergabung dengan infanteri, tetapi penyamarannya terbongkar sepuluh hari kemudian dan dia diberhentikan. Marvingt mengambil cara lain, ia pergi ke Dolomites dan bergabung dengan resimen Italia.

Pada tahun 1915, pemerintah Prancis membutuhkan pilot berpengalaman, mereka pun memberikan izin kepada Marvingt untuk menerbangkan misi pengeboman — menjadikannya perempuan pertama yang menerbangkan misi tempur. Dia juga unggul dalam hal itu, dan mendapatkan Croix de Guerre untuk keberaniannya. 

Lembah sungai Wisper di Jerman berisi kota-kota seperti Lorch dan Kaub serta beberapa desa kecil, memiliki populasi sekitar 8.000 penduduk pada tahun 1919. Seperti yang dikatakan oleh ahli peta Frank Jacobs, Amerika dan Prancis masing-masing menciptakan lingkup pada peta, tetapi terjadi kesalahan, meninggalkan sepotong Eropa di luar yurisdiksi keduanya.

Alih-alih kesal, orang-orang di Lembah Wisper bersatu, mendeklarasikan diri mereka sebagai negara merdeka, dan memilih seorang presiden, dari tahun 1919 hingga 1923, wilayah yang disebut Free State of Bottleneck ini berupaya meyakinkan dunia bahwa mereka adalah negara yang nyata dan merdeka, tetapi dunia tidak pernah mengakui diplomatik mereka.

Free State dimasukkan kembali ke Jerman pada tahun 1923, secara resmi. Secara tidak resmi, seperti yang dilaporkan The Wall Street Journal pada tahun 2015, Free State masih mempertahankan pemerintahan bayangannya dan terus berjuang agar diakui sebagai negara merdeka — meskipun beberapa pihak menduga bahwa itu lebih berkaitan dengan promosi pariwisata daripada semangat kemerdekaan.

Kamu pasti pernah mendengar tentang Gencatan Senjata Natal, 25 Desember 1914. Hari itu, tentara Inggris dan Jerman secara sukarela meredam perang, berjanji untuk tidak saling menembak, dan mengadakan pesta kecil di daerah itu. Hadiah dipertukarkan, lagu dinyanyikan, dan untuk satu momen, umat manusia bersatu dalam persaudaraan.

Seperti yang dicatat Time Magazine, sebenarnya ada banyak gencatan senjata seperti ini. Biasanya dalam periode singkat di mana tentara secara tidak resmi menyetujui gencatan senjata untuk mengumpulkan para tentara yang tewas dan terluka, tetapi terkadang, gencatan senjata skala besar juga dilakukan. Gencatan Senjata Natal 1914 adalah genjata senjata paling berkesan dan meluas selama Perang Dunia I. 

Perang Dunia I berbeda dari perang lain dalam hal teknologi, taktik, dan cedera. Dilansir laman The Atlantic, salah satu cedera baru ini berasal dari perang parit. Ketika tentara muncul di tepi parit untuk mengamati medan perang, mereka sering mengalami cedera wajah seperti kehilangan rahang, hidung, dan bahkan lebih buruk lagi. 

Cedera ini jarang berakibat fatal, tetapi meninggalkan cacat yang mengerikan pada saat operasi masih dalam tahap awal. Satu-satunya solusi pada saat itu adalah topeng. Seperti yang ditulis oleh Smithsonian Magazine, Inggris mendirikan Masks for Facial Disfigurement Department untuk memproduksi semacam topeng yang menyerupai wajah asli tentara untuk menutupi cacat. Topeng itu terbuat dari tembaga yang sangat tipis.

Salah satu hadiah kelam dari Perang Dunia I adalah pengalaman pertama umat manusia dalam perang kimia. Pada 22 April 1915, Angkatan Darat Jerman menyebarkan gas klorin untuk pertama kalinya. Gas ini memiliki warna kuning kehijauan dan baunya yang mencekik, membuat banyak tentara sesak napas. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Science History Institute, gas klorin tidak mengandung fosgen, yang tidak berwarna dan akan menyebabkan paru-paru seseorang terisi cairan sekitar dua hari setelah terpapar. 

Serangan gas menjadi peristiwa umum dalam Perang Dunia I, dan tentara awalnya tidak bisa mengatasi serangan gas tersebut. Akhirnya, pasukan Sekutu mengidentifikasi gas yang digunakan Jerman, dengan memperhatikan bagaimana kancing seragam mereka berubah menjadi kuning dan bernoda, yang menunjukkan adanya klorin.

BBC News melaporkan bahwa pada hari-hari awal perang gas, tentara diperintahkan untuk merendam kaus kaki cadangan dalam air seni mereka sendiri dan menempelkannya di wajah mereka, karena saat itu belum ada topeng gas. Mereka beranggapan bahwa amonia dalam urin akan menetralkan klorin, tetapi kenyataannya klorin benar-benar bereaksi dengan urea dalam urin, mengeluarkan asap beracun lainnya.

Selain di darat, ada banyak kekacauan yang juga terjadi di laut dan di udara. Seperti dilansir Navy Times, SS Cyclops adalah kapal pengisian bahan bakar terbesar dan tercepat di Angkatan Laut Amerika. Kapal itu bisa mengangkut 12.500 ton batu bara sekaligus dan memiliki beberapa senjata besar untuk pertahanan. SS Cyclops meninggalkan Karibia pada Maret 1918, menuju Baltimore dengan 309 orang di dalamnya, tapi ia tidak pernah tiba. Tidak ada petunjuk tentang apa yang membuatnya menghilang. Peristiwa ini pun menjadi korban jiwa terbesar di luar pertempuran di Angkatan Laut AS.

Ada teori yang mengatakan bahwa mengangkut batu bara dan mengisi bahan bakar kapal di laut adalah hal yang berbahaya, kebakaran bisa saja terjadi. Namun anehnya, jika kapal terbakar, atau bahkan jika terjadi ledakan besar, pasti ada puing-puing kapal yang akan ditemukan. Hal ini pun masih menjadi misteri. 

Dalam perang, warga sipil biasanya diberikan perlindungan tertentu dalam peperangan sebagai nonkombatan. Namun, tidak bagi tentara Jerman dalam Perang Dunia I. Seperti yang ditulis oleh penulis Ian Stewart, kebijakan Jerman didasarkan pada Schrecklichkeit (ketakutan). Selama perjalanan mereka melalui Belgia pada tahun 1914, Angkatan Darat Jerman membantai ratusan warga sipil dan membakar kota-kota dan desa-desa sebagai pembalasan atas tindakan perlawanan. 

Salah satu tindakan yang paling tak termaafkan dari Angkatan Darat Jerman selama Perang Dunia I adalah Pemerkosaan Belgia. Sejarawan Barbara Tuchman menggambarkan salah satu yang terburuk, yang terjadi di kota Aerschot. Jerman marah atas dugaan serangan yang dilakukan oleh penduduk sipil, mereka menggiring 150 orang tak bersalah dan menembak mereka — yang terburuk terjadi di sebuah kota bernama Dinant, di mana 664 orang tewas.

Itulah 12 tragedi kelam dalam sejarah Perang Dunia I. Pada saat itu, banyak orang menganggap kehancuran Perang Besar sebagai perang terakhir yang pernah terjadi, sayangnya itu tidak sepenuhnya benar, karena Perang Dunia II menjadi tragedi kelam berikutnya.