ilustrasi perempuan dengan pakaian seragam sekolah. (Pexels.com/Christiano Sinisterra)
Dari riset kualitatif Chowdhury, ia menemukan beberapa alasan yang membuat kasus pelecehan seksual di kereta komuter Jepang sering terjadi. Pertama, argumen bahwa melecehkan perempuan, terutama yang berseragam, bisa dilihat sebagai ekspresi pemberontakan dan ekspresi kekesalan mereka terhadap otoritas. Ini didorong oleh perasaan teropresi oleh otoritas yang menaungi mereka, yakni institusi tempat bekerja.
Kedua, adanya kecenderungan mengobjektifikasi perempuan dan bahkan yang berusia di bawah umur lewat produk budaya. Terutama berupa anime dan manga bergenre lolicon atau rorikon, yakni yang menampilkan karakter perempuan muda, bahkan remaja dan praremaja dengan pendekatan seksual.
Ketiga, keberadaan nilai-nilai yang diagungkan dan dianggap terpuji terutama di kalangan perempuan Jepang, yakni endure (bertahan) dan ignore (abaikan). Ini juga berkaitan erat dengan kultur harmoni kelompok, yakni keengganan untuk merusak ketertiban dengan membuat keributan.
Terakhir, tentu maskulinitas dan misogini yang saling bertautan. Masih merujuk riset Chowdhury, usai Perang Dunia II, pekerja kantor laki-laki di Jepang punya kedudukan yang tinggi di masyarakat. Mereka dianggap sebagai sosok yang berkontribusi besar dalam pembangunan dan kebangkitan ekonomi Jepang. Bahkan di level keluarga, laki-laki sering kali jadi pencari nafkah utama.
Ini membuat laki-laki seolah punya kedudukan lebih tinggi dari perempuan. Mereka bisa dengan mudah membuat narasi balasan saat ada perempuan yang menegur atau memprotes tindakan asusila yang diperbuatnya. Misalnya dengan mengatakan "Tidak mungkin aku melecehkan perempuan yang buruk rupa", menyalahkan korban sebagai pihak yang lalai atau tak mawas diri, dan lain sebagainya.
Narasi balasan juga pernah menimpa Shiori Ito, jurnalis perempuan yang diperkosa seorang jurnalis senior. Meski akhirnya memenangkan kasusnya, Ito sempat dihujat di media sosial. Polisi juga sempat tak berpihak padanya karena menilai tak ada cukup bukti.
Beberapa alasan lain yang diungkap responden Chowdhury antara lain, kultur orang Jepang yang malu membicarakan dan melakukan seks, sehingga mencari pelampiasan lain, hingga situasi yang memungkinkan karena berdesak-desakan di kereta. Sampai alasan terakhir itu, sering kali jadi masalah tersendiri karena kaburnya batas antara menyentuh yang disengaja dan tidak. Beberapa kasus salah tangkap dan salah paham pun sering terjadi.