Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sejarah Kelam Penyakit Histeria, Dianggap Akibat dari Setan!

Potret gejala histeria (flickr.com/Internet Archive Book Images)

Histeria adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan perilaku emosional yang berlebihan dan tidak terkendali. Dilansir Symbol Genie, kata ini berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu hystera, yang berarti rahim. Dulu, histeria dianggap sebagai penyakit fisik atau mental yang khusus dialami oleh wanita.

Namun, sekarang kita tahu bahwa histeria bukanlah diagnosis medis yang valid. Lalu, apa sebenarnya histeria itu? Berikut adalah sejarah histeria yang mungkin belum kamu ketahui.

1. Histeria sudah ada sejak zaman Mesir kuno

Gejala histeria (commons.wikimedia.org/D.M. Bourneville and P. Régnard)

Melansir verywellmind, histeria pertama kali dideskripsikan oleh dokter-dokter Mesir kuno sekitar 1900 SM. Mereka percaya bahwa histeria disebabkan oleh rahim yang bergerak-gerak di dalam tubuh wanita. Rahim yang berpindah-pindah ini bisa menyebabkan berbagai gejala, seperti kejang, sesak napas, pingsan, hingga halusinasi.

Untuk mengobati histeria, dokter-dokter Mesir kuno menggunakan berbagai cara, seperti menempelkan bau-bauan yang kuat di kemaluan wanita, agar rahim kembali ke tempatnya. Atau, memberikan ramuan-ramuan yang tidak enak rasanya, agar rahim lari ke bagian bawah perut.

2. Histeria dianggap sebagai penyakit wanita yang tidak puas secara seksual

Gambaran wanita yang memiliki gejala histeria pada masa itu (picryl.com/Library of Congress)

Pandangan tentang histeria yang berasal dari Mesir kuno ini kemudian diikuti oleh bangsa Yunani dan Romawi kuno. Mereka juga mengaitkan histeria dengan rahim dan reproduksi wanita. Plato dan Aristoteles bahkan berpendapat bahwa histeria adalah akibat dari kurangnya aktivitas seksual pada wanita. Mereka menyebut rahim yang mengalami histeria sebagai rahim yang sedih, buruk, atau melankolis.

Pada abad pertengahan, pengaruh Kristen di Barat membuat pandangan tentang histeria berubah. Melansir Western Civilization, histeria tidak lagi dianggap sebagai penyakit fisik, melainkan sebagai akibat dari dosa, setan, atau sihir. Wanita yang mengalami histeria sering dituduh sebagai penyihir atau dibuang dari masyarakat.

3. Histeria menjadi topik penelitian para psikiater pada abad ke-19 dan ke-20

Jean-Martin Charcot menunjukkan histeria pada seorang pasien (commons.wikimedia.org/Wellcome Images)

Menurut MedicalNewsToday, ada abad ke-19 dan ke-20, histeria kembali menjadi perhatian para dokter dan psikiater. Mereka mencoba mencari penyebab dan pengobatan yang lebih ilmiah untuk histeria. Salah satu tokoh yang terkenal dalam bidang ini adalah Jean-Martin Charcot, seorang dokter Prancis yang meneliti histeria di Rumah Sakit Salpêtrière di Paris. Dia mengklasifikasikan histeria menjadi empat tahap, yaitu epileptoid, klonik, tonik, dan delirium. Dia juga menggunakan hipnosis untuk mengobati pasien-pasiennya.

Tokoh lain yang tidak kalah terkenal adalah Sigmund Freud, seorang psikiater Austria yang dianggap sebagai bapak psikoanalisis. Freud berpendapat bahwa histeria disebabkan oleh konflik batin yang tidak terselesaikan, terutama yang berkaitan dengan hasrat seksual yang tertekan. Freud menggunakan metode bebas asosiasi dan interpretasi mimpi untuk mengungkap alam bawah sadar pasien-pasiennya, Melansir Psychology Today.

4. Histeria dihapus dari daftar diagnosis medis pada tahun 1980

Gambaran gejala histeria (commons.wikimedia.org/Internet Archive Book Images)

Meskipun histeria menjadi topik yang populer di kalangan para psikiater, banyak kritik yang muncul terhadap konsep ini. Salah satu kritik adalah bahwa histeria adalah label yang diskriminatif dan seksis, karena hanya diberikan kepada wanita. Selain itu, histeria juga dianggap sebagai diagnosis yang samar-samar dan tidak konsisten, karena mencakup berbagai gejala yang tidak terkait satu sama lain.

Dilansir verywellmind, pada tahun 1980, American Psychiatric Association (APA) menghapus histeria dari daftar diagnosis medis dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Gejala-gejala yang dulu disebut sebagai histeria kemudian dibagi menjadi beberapa kategori yang lebih spesifik, seperti gangguan konversi, gangguan disosiatif, gangguan kepribadian histrionik, atau kondisi medis lainnya.

5. Histeria masih menjadi fenomena sosial dan budaya yang menarik

ilustrasi adaptasi drama Arthur Miller tentang pengadilan penyihir Salem (commons.wikimedia.org/Stella Adler)

Meskipun histeria tidak lagi dianggap sebagai penyakit medis, istilah ini masih sering digunakan dalam konteks sosial dan budaya. Histeria bisa merujuk pada perilaku emosional yang berlebihan dan tidak rasional, baik secara individu maupun kolektif. Contoh-contoh histeria kolektif yang terkenal adalah kasus-kasus penyerangan massal, kepanikan moral, atau gerakan-gerakan sosial yang didasarkan pada ketakutan atau kepercayaan yang tidak berdasar.

Histeria juga menjadi inspirasi bagi banyak karya seni dan sastra, seperti film, novel, drama, atau puisi. Melansir Alicia Eler, beberapa karya yang mengambil tema histeria adalah film "The Crucible" yang diadaptasi dari drama Arthur Miller tentang pengadilan penyihir Salem, novel "The Yellow Wallpaper" karya Charlotte Perkins Gilman yang menceritakan pengalaman seorang wanita yang dikurung di kamar karena histeria, atau puisi "Hysteria" karya T.S. Eliot yang menggambarkan suasana kafe yang penuh dengan gelak tawa dan kegilaan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us