Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Jadinya kalau PLTN Ditempatkan di Bawah Laut?

PLTN (pexels.com/Wolfgang Weiser)

Ketika mendengar kata nuklir, sebagian besar orang mungkin langsung terbayang dengan ledakan dahsyat atau bencana besar seperti Chernobyl dan Fukushima. Teknologi ini sebenarnya menyimpan potensi besar, terutama dalam hal pembangkit energi. Salah satu wacana yang mulai banyak dibahas adalah kemungkinan menempatkan pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN di bawah laut. Gagasan ini terkesan ekstrem, tetapi sudah menjadi bahan diskusi serius dalam dunia rekayasa energi dan kelautan.

PLTN bawah laut dianggap bisa meminimalkan risiko terhadap manusia dan lingkungan darat. Namun, ide ini tentu tidak sesederhana menaruh reaktor di dasar laut lalu membiarkannya bekerja. Banyak aspek teknis, ekologis, dan politik yang terlibat. Wacana ini mengundang beragam pertanyaan dari berbagai sudut pandang, mulai dari kelayakan teknologi sampai potensi dampaknya terhadap laut itu sendiri. Berikut lima hal yang bisa jadi pertimbangan ketika membayangkan skenario ini lebih jauh.

1. Teknologi mendukung reaktor nuklir bekerja di bawah laut

ilustrasi reaktor nuklir (commons.wikimedia.org/Nucl0id)

Teknologi reaktor modular kecil (SMR) jadi salah satu pendorong utama ide PLTN bawah laut. Reaktor jenis ini dirancang lebih ringkas dan fleksibel dibandingkan reaktor konvensional, serta bisa dirakit terlebih dahulu di darat sebelum ditenggelamkan ke lokasi operasional. Keunggulan utamanya adalah efisiensi waktu pembangunan serta risiko kecelakaan yang lebih rendah karena skalanya kecil dan sistem pendinginannya lebih sederhana.

Selain itu, penggunaan teknologi dari kapal selam nuklir juga memberi inspirasi besar. Selama puluhan tahun, kapal selam bertenaga nuklir telah beroperasi tanpa banyak insiden. Hal ini menunjukkan bahwa reaktor nuklir sebenarnya bisa berjalan stabil dalam lingkungan laut, selama desain dan pengawasannya tepat. Walau skalanya berbeda, prinsip dasarnya bisa diadaptasi untuk versi PLTN tetap di dasar laut.

2. Penempatan PLTN di bawah laut bisa kurangi dampak kecelakaan

PLTN (commons.wikimedia.org/JKremona)

Salah satu argumen utama pendukung PLTN bawah laut adalah soal keselamatan. Jika terjadi kebocoran atau kecelakaan, dampaknya tidak langsung menyentuh area permukiman manusia. Laut bertindak sebagai penahan alami yang bisa mengisolasi radiasi untuk sementara, sehingga memberi waktu lebih banyak untuk mengatasi krisis sebelum menjalar lebih luas.

Namun, keamanan ini bukan tanpa risiko. Air laut memang dikenal bisa menyerap panas dan menahan penyebaran material radioaktif, tapi jika reaktor pecah atau meledak, ekosistem laut bisa terkena dampak jangka panjang. Hewan laut, rantai makanan, bahkan nelayan di wilayah sekitar laut juga bisa terdampak secara serius. Jadi, lokasi penempatan harus dipilih dengan cermat dan disertai sistem pengawasan berlapis.

3. Desain struktur harus tahan tekanan dan korosi laut

PLTN (commons.wikimedia.org/資源エネルギー庁)

Menaruh reaktor di bawah laut berarti harus berhadapan dengan tekanan tinggi, suhu ekstrem, dan korosi air asin. Tantangan teknis ini menuntut material dan desain bangunan yang benar-benar tahan lama. Reaktor perlu dikelilingi lapisan pelindung khusus untuk mencegah air laut masuk, sekaligus tetap bisa mengalirkan panas keluar.

Beberapa pendekatan mengusulkan penggunaan cangkang titanium atau paduan logam tahan korosi. Selain itu, sistem pendingin dan ventilasi pun harus tetap optimal meskipun seluruh fasilitas berada jauh di bawah permukaan. Ini bukan hal sepele karena kegagalan kecil dalam sistem ini bisa berujung bencana. Keandalan desain struktur PLTN jadi faktor krusial yang harus diuji berkali-kali sebelum benar-benar diterapkan.

4. Regulasi dan kerja sama internasional perlu diperkuat sebelum bangun PLTN

ilustrasi kerjasama internasional (commons.wikimedia.org/U.S. Department of State)

Penempatan PLTN bawah laut menyentuh isu hukum yang kompleks. Banyak wilayah laut masuk dalam zona ekonomi eksklusif atau bahkan perairan internasional. Untuk bisa membangun dan mengoperasikan reaktor di sana, perlu ada aturan jelas dan kesepakatan dari berbagai pihak. Tanpa kerangka hukum yang kuat, konflik bisa muncul sewaktu-waktu.

Selain itu, pengawasan lintas negara juga sangat diperlukan. Laut bukan wilayah yang bisa dikontrol satu negara saja, apalagi kalau lokasi reaktor dekat dengan batas negara lain. Jadi, kerja sama internasional penting, baik dalam hal teknologi, pemantauan, maupun manajemen limbah. Hal ini juga membuka peluang kolaborasi energi bersih antarbenua jika dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab.

5. Dampak ekologi laut harus diperhitungkan sejak awal

ilustrasi dampak ekologi (commons.wikimedia.org/Simon Carey)

Laut bukan ruang kosong yang bisa diisi sembarangan. Setiap gangguan di ekosistem laut bisa berakibat panjang dan tidak selalu bisa diprediksi. Penempatan PLTN di bawah laut bisa mengganggu migrasi ikan, memengaruhi suhu lokal, dan menambah tekanan terhadap spesies tertentu yang sensitif terhadap perubahan lingkungan.

Kajian dampak lingkungan harus dilakukan secara menyeluruh sebelum pembangunan dilakukan. Monitoring jangka panjang juga penting untuk memastikan tidak terjadi kerusakan permanen. Selain itu, keterlibatan komunitas ilmiah dan lokal bisa membantu memberi masukan dari sisi biologi laut dan keberlanjutan. Menempatkan reaktor nuklir di habitat alami harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, bukan sekadar demi efisiensi.

Menempatkan PLTN di bawah laut memang bukan ide mustahil, tapi jalannya tidak mudah. Perlu kesiapan teknologi, regulasi yang matang, serta komitmen untuk menjaga ekosistem laut. Energi nuklir bisa jadi solusi krisis energi, namun pendekatannya harus bijak dan berpihak pada masa depan lingkungan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us