Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Relawan mengenakan sarung tangan menyerahkan kaleng makanan dan kemasan telur kepada seorang warga. Di atas meja terlihat tas kertas berisi bahan pokok seperti susu, minyak goreng, dan sayuran, menggambarkan kegiatan bantuan pangan dan solidaritas komunitas.
ilustrasi relawan membagikan bantuan bencana (freepik.com)

Intinya sih...

  • Bencana menciptakan arus aliran dana besar yang sulit diawasi

  • Tekanan kecepatan bisa mengorbankan akuntabilitas

  • Melemahnya institusi negara saat krisis

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Setiap kali bencana terjadi, publik bisa dihadapkan pada dua perasaan yang bertabrakan. Di satu sisi, ada solidaritas, empati, dan keinginan membantu sesama. Di sisi lain, muncul kemarahan ketika terdengar kabar bahwa dana bantuan justru dikorupsi. Banyak orang bertanya dengan emosional, "kok bisa ada yang tega mengambil hak korban bencana?"

Pertanyaan itu wajar, bahkan manusiawi. Namun sains menunjukkan bahwa korupsi dana bantuan bencana bukan hanya soal “orang jahat”. Tindakan tidak terpuji itu lahir dari kombinasi situasi darurat, kelemahan sistem, ketimpangan sosial, dan perilaku manusia yang dapat dipelajari secara ilmiah. Memahami penyebabnya bukan untuk membenarkan, melainkan untuk mencegah agar kesalahan yang sama tidak terus berulang.

Berikut ini adalah tujuh penjelasan ilmiah yang harapannya bisa membantu kamu memahami mengapa korupsi dana bantuan bencana bisa terjadi, dirangkum dari sejumlah riset akademik dan laporan lembaga internasional.

1.⁠ ⁠Bencana menciptakan arus aliran dana besar yang sulit diawasi

ilustrasi uang sebagai dana bantuan (freepik.com)

Bencana besar hampir selalu diikuti oleh masuknya dana bantuan dalam jumlah sangat besar, baik dari negara (pemerintahnya), lembaga internasional, maupun donasi publik. Dana ini harus disalurkan dengan cepat karena kebutuhan korban bersifat mendesak. Di sinilah masalah mulai muncul, karena sistem pengawasan sering kali tidak siap menghadapi lonjakan dana secara tiba-tiba.

Penelitian David Alexander tahun 2017 menunjukkan bahwa kondisi ini menciptakan peluang korupsi yang signifikan. Ketika prosedur dipercepat lebih dari kemampuan daya kerja sistem penanganan bantuannya dan kontrol dilemahkan atas nama kemanusiaan, celah penyalahgunaan terbuka. Dana publik yang seharusnya melindungi korban justru berubah menjadi sumber keuntungan pribadi bagi oknum tertentu.

2.⁠ ⁠Tekanan kecepatan bisa mengorbankan akuntabilitas

ilustrasi korban bencana meminta bantuan secepatnya (freepik.com)

Dalam situasi darurat, respons yang cepat dan tanggap sering dianggap sebagai prioritas utama. Bantuan harus segera tiba, logistik harus segera bergerak, dan keputusan harus diambil tanpa proses panjang. Sayangnya, tekanan ini sering membuat prinsip akuntabilitas dan transparansi terpinggirkan, kecuali sistemnya sudah terbiasa dengan peran fungsi khusus pengawas kedua hal tersebut.

Transparency International menyebut kondisi ini sebagai “double disaster” atau bencana ganda. Bencana alam diperparah oleh bencana korupsi. Ketika laporan keuangan, mekanisme pengaduan (whistleblowing system), dan pengawasan publik tidak berjalan optimal, penyalahgunaan dana menjadi lebih mudah terjadi dan lebih sulit dilacak.

3.⁠ ⁠Melemahnya institusi negara saat krisis

ilustrasi kondisi kacau dalam sistem kerja (freepik.com)

Bencana tidak hanya merusak rumah dan infrastruktur fisik, tetapi juga melemahkan institusi pemerintahan. Aparat menjadi sibuk menangani keadaan darurat, sistem administrasi terganggu, dan koordinasi antar lembaga menjadi tidak stabil. Dalam kondisi ini, pengawasan internal sering kali tidak berfungsi maksimal.

Science Direct menyebut bahwa analisis empiris di berbagai negara Asia dan Timur Tengah menunjukkan bahwa lemahnya institusi pascabencana berkorelasi langsung dengan meningkatnya praktik korupsi. Mulai dari penyalahgunaan anggaran hingga pemerasan kecil terhadap para korban yang membutuhkan layanan dasar, seperti makanan, obat, toilet, air bersih, bahkan koneksi internet di era komunikasi digital ini.

4.⁠ ⁠Bantuan salah sasaran akibat pengaruh politik dan elit lokal

ilustrasi orang sedang membawa hasil donasi ke korban bencana (freepik.com)

Korupsi dana bantuan tidak selalu berbentuk pencurian secara langsung atau dengan memanipulasi anggaran. Banyak kasus terjadi dalam bentuk salah sasaran atau mistargeting. Bantuan dialihkan ke wilayah atau kelompok yang sebenarnya tidak paling terdampak atau bahkan sama sekali tidak terdampak, tetapi memiliki kedekatan politik atau kekuasaan lokal.

Studi tinjauan sistematis terbaru menunjukkan bahwa pengaruh elit lokal dan kepentingan politik sering mendistorsi sasaran distribusi bantuan. Akibatnya, masyarakat yang paling rentan justru tidak mendapatkan haknya, sementara ketimpangan sosial semakin melebar.

5.⁠ ⁠Ketimpangan sosial menormalisasi perilaku korup

ilustrasi perbandingan kelas sosial dan ekonomi (freepik.com/jcomp)

Di masyarakat dengan jarak antara penduduk kaya dan penduduk miskin yang tajam, korupsi cenderung lebih mudah diterima secara sosial. Bencana memperparah kondisi ini karena sumber daya menjadi langka, sementara kebutuhan meningkat drastis. Dalam situasi seperti ini, muncul pembenaran moral yang keliru.

Penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan ekstrem menciptakan lingkungan di mana penyalahgunaan kekuasaan dianggap sebagai hal yang “wajar”. Logika bertahan hidup berubah menjadi logika mengambil kesempatan, bahkan jika itu merugikan korban bencana lainnya.

6.⁠ ⁠Tumbuhnya pasar gelap dan kejahatan terorganisir

ilustrasi seseorang ditangkap setelah bertransaksi di pasar gelap (freepik.com/jcomp)

Bencana sering menciptakan kekosongan kontrol ekonomi. Distribusi barang terganggu, harga melonjak, dan jalur resmi tidak selalu mampu memenuhi kebutuhan. Dalam situasi ini, pasar gelap dan jaringan kejahatan terorganisir mulai mengambil peran.

Transparency International mencatat bahwa sektor logistik, pangan, dan kesehatan menjadi area paling rentan. Bantuan dapat bocor, diperjualbelikan kembali, atau dijadikan alat eksploitasi. Praktik ini mungkin terlihat “menggerakkan ekonomi”, tetapi tidak pernah mengurangi risiko bencana di masa depan.

7.⁠ ⁠Rendahnya pendidikan dan literasi publik

ilustrasi individu yang kesulitan menjalani pendidikan (freepik.com/jcomp)

Pendidikan memiliki hubungan langsung dengan tingkat korupsi di masyarakat suatu wilayah atau negara. Studi lintas negara menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan dan literasi masyarakat, semakin besar peluang terjadinya korupsi. Hal ini juga berlaku dalam konteks bantuan bencana.

Masyarakat yang tidak mengetahui haknya cenderung pasrah dan tidak melapor ketika terjadi penyimpangan. Sebaliknya, pendidikan dan literasi terbukti meningkatkan pengawasan publik, memperkuat partisipasi warga, dan menekan praktik korupsi secara signifikan.

Bencana bisa sekaligus menjadi ujian sistem dan kemanusiaan suatu komunitas sampai negara. Korupsi dana bantuan bencana bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri atau faktor tunggal saja. Ia adalah cermin dari kelemahan tata kelola, ketimpangan sosial, dan kurangnya transparansi. Riset ilmiah jelas menunjukkan bahwa masalah ini dapat dicegah jika sistem dirancang lebih terbuka, inklusif, dan akuntabel.

Lebih dari itu, bencana seharusnya menjadi momentum perbaikan. Saat solidaritas publik menguat, tuntutan akan transparansi juga harus diperkuat. Pendidikan, partisipasi masyarakat, dan pengawasan bersama adalah kunci agar bantuan benar-benar sampai kepada mereka yang paling membutuhkan.

Pada akhirnya, dana bantuan bukan sekadar angka di laporan keuangan. Ia adalah simbol kepercayaan, harapan, dan martabat manusia. Menjaganya dari korupsi berarti menjaga kemanusiaan itu sendiri. Semoga kita bisa menjadi pihak yang menjaga nilai-nilai baik itu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team