Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

WANSUS Greenpeace: Banjir di Sumatra Bukan Bencana Alam Tapi Ulah Manusia

Banjir Sumatra, Kiki Taufik, Greenpeace
Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik. (Tangkapan layar YouTube IDN Times)
Intinya sih...
  • Banjir di Sumatra bukan bencana alam, tapi ulah manusia
  • Kepala BNPB dan Presiden Prabowo meminta maaf atas penanganan banjir
  • Greenpeace Indonesia menilai indikator untuk ditetapkan menjadi bencana nasional sudah terpenuhi
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Sudah tiga pekan banjir merendam tiga provinsi di Sumatra di penghujung 2025. Mengutip data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Minggu (14/12/2025), jumlah korban meninggal dunia telah menembus angka 1.016 jiwa dan jutaan warga kehilangan tempat tinggal.

Banjir bandang dan tanah longsor ini sempat diremehkan oleh para pemangku kepentingan. Terbukti Kepala BNPB Letnan Jenderal Suharyanto menyebut situasi mencekam hanya terlihat dari media sosial. Realita di lapangan tidak demikian. Beberapa hari kemudian, Suharyanto meminta maaf karena ia mendapat informasi yang tidak akurat soal kondisi di Sumatra.

Permintaan maaf akhirnya juga disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto di kunjungan ketiganya meninjau lokasi bencana di Aceh. Prabowo bahkan menyebut tak punya tongkat Nabi Musa untuk mempercepat pemulihan bencana.

Meski begitu, Prabowo tak juga menetapkan banjir dan tanah longsor di Sumatra sebagai bencana nasional. Warga di lokasi bencana pun tak habis pikir dengan kebijakan itu.

Dalam pandangan Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia dari Greenpeace, Kiki Taufik, salah satu alasan pemerintah tak juga menetapkan status bencana nasional terkait minimnya anggaran. Ia pun mengusulkan agar ada pengalihan anggaran dari program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

"Salah satu goodwill dari pemerintah yang bisa dilakukan dengan memberikan budget yang lebih besar kepada BMKG, karena mereka yang akan menyampaikan peringatan," ujar Kiki ketika berbicara di program 'Ngobrol Seru' by IDN Times dan tayang di YouTube.

Ia juga menggarisbawahi banjir dan tanah longsor di Sumatra bukan semata-semata disebabkan Siklon Senyar. Tetapi, karena tutupan hutan alami di Sumatra tersisa 13 persen. Alhasil, tiap ada hujan dalam curah tinggi, Sumatra berpotensi dihantam banjir.

Berikut wawancara IDN Times dengan Kiki beberapa waktu lalu.

Apakah banjir di Sumatra masih bisa disebut bencana alam?

 Jembatan Kembar Silaiang, Padang
Kondisi Jembatan Kembar Silaiang yang tertimbun material longsor di Kabupaten Padang Panjang. (www.instagram.com/@musik_bakato)

Bila dilihat bahwa pernyataan-pernyataan dari pemerintah, baik itu BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Kementerian Kehutanan maupun instansi lain penyampaian informasinya peristiwa yang terjadi sejak akhir November 2025 diakibatkan oleh hidrometeorologi dan cuaca ekstrem. Perlu diakui memang ada Siklon Senyar yang datang di Selat Malaka.

Jadi, sebenarnya Siklon Senyar jarang sekali dan mungkin baru sekali ini terjadi di wilayah ekuatorial (di jalur khatulistiwa). Nah, itu datang mulai dari Vietnam, Thailand, termasuk ke Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat. Kemudian siklon itu berlanjut ke Malaysia.

Jadi, memang ada siklon itu, tapi apa penyebabnya? Yang pertama adalah karena kita dalam kondisi krisis iklim, climate crisis. Bukan lagi climate change. Kejadian siklon ini bisa berulang, cepat dan intensitasnya sering.

Tetapi, penyebab banjir bandang ini bukan semata-mata karena ada Siklon Senyar. Ada pula kontribusi manusia yang membuka besar-besaran hutan. Seandainya hutannya tetap terjaga, tentu meskipun curah hujan itu masif, besar. Tetapi masih ada yang akan mengikat air hujan itu, sehingga tidak akan terjadi banjir yang sebegini besarnya.

Ada negara lain di ASEAN yang juga terkena Siklon Senyar,l mengapa Indonesia yang terdampak paling parah?

Banjir Sumatra, Siklon Senyar
Infografis mengenai perbandingan dampak Siklon Senyar di Indonesia dan negara lain. (IDN Times/Sukma Shakti)

Untuk yang ini perlu diteliti lagi lebih dalam. Yang pasti kalau di Indonesia, terutama di Pulau Sumatra, sejak 1990 sampai dengan tahun ini, tutupan hutan alaminya semakin tergerus dan hilang. Jumlah tutupan hutan yang hilang semakin banyak.

Bahkan sampai saat ini berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan, luas hutan di Pulau Sumatra itu secara keseluruhan hanya tinggal 11,6 juta hektare. Jadi, luas tutupan hutan alami yang ada di Indonesia secara keseluruhan itu sekitar 89,5 juta hektare. Artinya, hutan alami yang tersisa sekitar 12-13 persen.

Meskipun kalau kita terbang ke Sumatra tetap terlihat hijau di bawahnya. Tapi, itu bukan pohon hutan melainkan sawit.

Jadi, sawit ini adalah tanaman yang tidak sama dengan tanaman hutan alami ya, bukan pohon alami. Karena dari sisi akar itu berbeda. Bagaimana sawit itu tidak sama kemampuannya menyerap dan menahan laju air. Apalagi kalau kita ngomong biodiversitas.

Kenapa dampaknya begitu besar di Indonesia? Karena memang di Sumatra, disumbang ada satu faktor tutupan hutan yang berkurang drastis. Kedua, ada faktor daerah aliran sungai (DAS).

Jadi, secara geomorfologis, daerah aliran sungai di Sumatra terutama di bagian utara, Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat, secara geomorfologis mengecil. Jadi, karena memang wilayahnya banyak wilayah pegunungan dan lembah, sedangkan geomorfologis DAS-nya itu menyempit. Maka, sangat rentan sekali kalau di bagian hulunya itu terbuka.

Begitu terbuka dan sudah tidak ada hutan, begitu turun hujan dan tak ada yang bisa menahan limpasannya, alhasil menjadi banjir. Meskipun kemudian di tengahnya masih ada hutan tersisa, itu tetap karena tekanannya besar.

Salah satu contoh yang DAS-nya mengecil terjadi di Batang Toru. Kalau dilihat di bagian atasnya sudah terbuka. Anda bisa melihat dan mengidentifikasi di sana ada pertambangan ilegal, kebun sawit dan proyek nasional pembangunan PLTA Batang Toru. Itu juga berkontribusi membuat banjirnya demikian besar.

Apakah Greenpeace Indonesia menilai indikator untuk ditetapkan menjadi bencana nasional sudah terpenuhi?

Ya, memang ini sangat disayangkan. Karena kalau menurut kami, kriteria yang tertulis di dalam undang-undang sangat nyata sudah dipenuhi semua. Ini juga sesungguhnya respons yang kita semua tunggu dari pemerintah, terutama dari para menteri. Apalagi Pak Presiden sudah ikut turun ke lapangan. Kami tentu berharap status bencana dinaikan menjadi bencana nasional karena bantuan akan menjadi terpusat dan pemerintah punya kewajiban untuk menurunkan semua kemampuannya dan membantu korban.

Saat ini, sebagian ada beberapa wilayah yang sudah berhasil dicapai. Sebagian korban sudah ada yang mendapatkan bantuan. Tetapi, sejumlah wilayah lainnya terutama Aceh belum tersentuh. Ini memang butuh energi besar dari pemerintah untuk mengerahkan semua kemampuannya terutama dari BNPB dan instansi lain untuk membantu penanggulangan bencana ini.

Presiden malah menginstruksikan ini menjadi prioritas nasional. Apakah itu berbeda dari status bencana nasional?

Iya itu belum ke arah sana (menjadi bencana nasional). Mudah-mudahan sih masih bisa berubah sikap pemerintah. Sebenarnya, ini kan juga menjadi pelajaran bahwa sampai saat ini Indonesia tidak punya roadmap yang jelas untuk penyelamatan lingkungan dan hutan di Indonesia.

Karena hutan dan lingkungan selalu dilihat sebagai sumber daya alam yang bisa digunakan. Padahal, ada faktor-faktor dan peran-peran khusus dari hutan yang berperan sangat besar kalau itu dijaga.

Sayangnya itu tidak terjadi. Apalagi dengan statement-statement dari pemerintah yang kurang bijak. Kemudian, membuat masyarakat semakin marah dan tidak percaya kalau pemerintah telah bergerak cepat.

Jadi, ini menjadi peringatan buat kita juga bahwa bencana yang ada di Sumatra jangan sampai terulang di pulau-pulau lain. Bencana hidrometeorologis itu akan semakin sering terjadi intensitasnya. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana utamanya Pemerintah Indonesia mengantisipasi itu? Bagaimana perencanaan pembangunan, bagaimana pelaksanaan pembangunan itu tidak melulu hanya industri ekstraktif yang membuka lahan dan hutan.

Dalam pandangan Greenpeace Indonesia, mengapa hingga kini belum ada penetapan status bencana nasional?

Terkait budget sebenarnya. Karena kalau sudah berstatus bencana nasional bisa jadi pemulihan itu turut menjadi kewajiban dari pemerintah. Mulai dari pemulihan lingkungan, mengganti kerusakan kalau ada kelompok masyarakat yang menuntut. Jadi, memang ada konsekuensi dari segi budget.

Tapi, seharusnya dibandingkan budget yang besar untuk MBG (Makan Bergizi Gratis) yang kita tahu prosesnya seperti apa, sebaiknya untuk menyelamatkan masyarakat yang terkena musibah.

Sawit tidak sama dengan pohon yang umumnya tumbuh di hutan?

ilustrasi perkebunan kelapa sawit
ilustrasi perkebunan kelapa sawit (pexels.com/Mohan Nannapaneni)

Karakter tanaman sawit ini kan yang pertama ketika mau ditanam harus membuka hutan sampai ke akar-akarnya habis. Jadi ekosistem yang sudah terbangun ratusan tahun itu hilang semua dalam waktu gak sampai satu bulan.

Pohon sawit tidak bisa ditanam di sela-sela pohon. Artinya, kemampuan dia untuk menahan air apalagi kalau berbicara biodiversitas keanekaragaman hayati, itu gak ada. Karena ini sudah ada satu jenis tanaman. Jadi, memang kemampuan pohon sawit dalam menahan laju air tentu tidak ada.

Hal lainnya yang perlu diingat, sesungguhnya sawit ini bukan tanaman asli Indonesia. Dia asalnya dari Benua Afrika. Dibawa ke Indonesia pada 1919 oleh Belanda. Lalu, dilakukan uji coba dan ditanam di Kebun Raya. Ternyata berkembang pesat.

Memang di Pulau Sumatra jadi area pertama yang ditanami sawit ketika dibawa ke Indonesia. Jadi kalau yang kita lihat di Sumatra Utara, Riau merupakan perkebunan sawit yang usianya sudah tua mencapai 20 hingga 30 tahunan.

Hal lain yang jadi masalah lagi dari sawit adalah, begitu dia sudah habis masa produktivitasnya, kalau tanaman lain misalnya dia tumbuh di bawahnya kayak pisang gitu, tinggal tumbuh di bawahnya ada lagi baru. Kalau sawit tidak begitu.

Kalau dia mau ditanam lagi, maka ini harus di-replanting, jadi harus dibongkar lagi. Ekosistemnya hilang lagi. Tapi, sebelum itu kan tanahnya harus direhabilitasi dulu baru bisa ditanam. Jadi, sawit ini tanaman yang sangat costly dan gak efektif. Terutama untuk lingkungan tidak friendly.

Apakah entitas yang berkontribusi terhadap banjir Sumatra bisa dijerat hukum?

Seharusnya bisa. Jadi bisa dibuktikan, selama bisa dibuktikan misalnya nanti ada apakah medianya itu menggunakan class action. Atau karena ini mengakibatkan dampak nyata, seharusnya pemerintah bisa menguggat langsung ke perusahaan-perusahaan. Meskipun saat ini jarang terjadi.

Nah, harusnya bisa proses litigasi ini dilakukan supaya menjadi efek jera bagi perusahaan-perusahaan itu. Tapi perusahaan-perusahaan itu juga nanti akan balik lagi ke pemerintah nanya, kenapa kami dulu diberikan izin gitu kan.

Nah ini yang jadi lagi, kembali lagi, bagaimana pemerintah di level pimpinan memiliki goodwill, keinginan, kebijakan untuk betul-betul menyelamatkan masyarakat dan lingkungan dengan menerapkan pembangunan yang sesuai dengan daya dukung lingungan.

Salah satu goodwill dari pemerintah yang bisa dilakukan dengan memberikan budget yang lebih besar kepada BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) karena mereka mendapat anggaran yang minim sekali. Padahal, BMKG adalah lembaga pertama yang menyampaikan peringatan bila akan terjadi siklon.

Tapi kan berbagai pihak abai. Walau sudah diperingatkan tapi tidak ada yang melakukan persiapan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah Sunariyah
EditorSunariyah Sunariyah
Follow Us

Latest in News

See More

500 Ribu Warga Ngungsi akibat Konflik Thailand-Kamboja

15 Des 2025, 07:09 WIBNews