8 Fakta Perempuan dalam Sejarah Perfilman Indonesia, Dulu Hingga Kini!
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Film merupakan sarana yang dinilai cukup efektif dalam mengedukasi, menyebarkan norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Walaupun begitu, fakta dibalik layar masih melanggengkan stereotip gender maupun ras. Hal inilah yang membuat beberapa produksi film tanah air mengeksploitasi perempuan dan adanya kekerasan pada gender tertentu.
Inilah beberapa fakta penting yang harus kalian ketahui seputar industri film, terutama terhadap perempuan. Simak ya!
1. Karakter perempuan di film Indonesia kurang beragam dan masih hingga saat ini
Sekian banyak film Indonesia yang telah tayang, tak sedikit yang menampilkan bahwa perempan adalah karakter yang lemah dan tak berdaya. Mereka selalu menjadi korban dari pihak laki-laki.
2. Perempuan terbelenggu dengan stigma dan stereotip
Dalam kehidupan sehari-hari yang masih mengadaptasi pemahaman kolot, perempuan terdidik untuk tidak menyuarakan opini dan gagasannya di ruang publik. Berbeda halnya dengan laki-laki. Hal inilah yang diangkat ke dunia film oleh para produser dan sutradara, yang akhirnya melahirkan karakter perempuan yang sering diperlakukan semena-mena.
3. Ketimpangan gender dalam kru film
Sangat disayangkan sutradara perempuan di Indonesia sampai saat ini tidaklah banyak, misalnya Mouly Surya yang mendapat penghargaan. Padahal ini sudah beberapa tahun lamanya sejak Mouly menadapatkan penghargaan piala citra, dengan kategori sutradara terbaik.
4. Kritikus perempuan masih jarang perempuan
Perempuan rata-rata kurang mampu untuk menyuarakan gagasan, opini ataupun pendapatnya di perfilman ketika dulu dan bahkan masih sering terjadi sampai saat ini. Padahal, sebetulnya mereka memiliki power dan perangkat untuk itu.
Editor’s picks
5. Hukum di Indonesia sangat memengaruhi
Hadirnya undang-undang yang konservatif menyebabkan karya film menjadi seperti di belenggu. Produser dan sutradarayang cenderung untuk bermain aman menjadikan alur cerita itu-itu saja dan tidak berkembang.
6. Membaca dianggap market bukanlah yang terpenting
Kunci dalam pembuatan film adlah membuat story line terlebih dahulu. Alasannya karena market tidak bisa ditebak.
7. Suborganisasi pembuatan film
Saat pembuatan film, masih ada hieraki yang sangat kuat yang dirasakan oleh pemain. Pemeran film yang berada pada hieraki paling bawah acap kali mendapatkan kabar mendadak tanpa adanya koordinasi terlebih dahulu.
8. Marginalisasi artis peran
Marginalisasi atau bisa disebut sebagai keadaan di mana sang pelakon film dipinggirkan oleh produser. Mereka tiba-tiba dicut saat sedang proses pembuatan film. Tidak mendapat kabar lebih lanjut tentang keberlanjutannya.
Dalam memperbaiki hal-hal di atas agar ke depannya industri perfilman negeri ini memiliki kualitas dan keadaan yang lebih baik, sekelompok jurnalis, aktivis dan akademisi dari enam negara Asia meluncurkan aplikasi Mango Meter pada Sabtu lalu, 16 Februari 2019 di Goethe Haus, Goethe Insitute, Jakarta.
Aplikasi ini memiliki sebelas pertanyaan acuan untuk mengulas film dengan skala satu sampai lima. Tidak hanya itu, aplikasi ini memberikan ruang kepada para penikmat film untuk memberikan opini dan penilaian pada kolom yang disediakan. Segera unduh aplikasinya di Google Play atau di App Store!
Baca Juga: Hari Radio Internasional, Inilah Sejarah Medium Penghantar Suara Itu