potret sepasang merpati penumpang yang sudah diawetkan di museum (commons.wikimedia.org/Cephas)
Kalau hewan-hewan di atas punah dalam waktu relatif lamban sebelum punah, merpati penumpang (Ectopistes migratorius) justru bernasib sebaliknya. Dilansir ThoghtCo, pada awal abad ke-19, diperkirakan ada 5 miliar merpati penumpang yang tersebar di Amerika Utara. Kendati demikian, populasi mereka punah hanya dalam waktu 100 tahun. Merpati penumpang terakhir yang diketahui adalah individu bernama Martha yang mati pada 1 September 1914 di Kebun Binatang Cincinnati, Amerika Serikat.
Perburuan besar-besaran dan kehilangan habitat jadi penyebab utama hancurnya populasi merpati penerbang dalam waktu singkat. Tiap tahun, ada puluhan juta merpati yang diburu manusia, baik untuk dikonsumsi ataupun karena dianggap hama.
Kalau bicara soal penampilan, sebenarnya merpati penerbang tak berbeda jauh dengan burung merpati yang ditemukan di kawasan Asia, Afrika, Eropa, dan Australia. Ukuran merpati penumpang sedikit lebih besar dari saudaranya yang lain, yaitu dengan panjang tubuh 32 cm. Bulunya berwarna abu-abu dengan sedikit motif berwarna merah muda, biru, dan jingga pada bagian dada. Mereka tinggal dalam koloni dan menjalani masa migrasi pada musim tertentu.
Karena kepunahan burung ini baru terjadi sekitar 100 tahun silam, beberapa museum masih menyimpan spesimen dalam kondisi yang sangat baik. Dengan demikian, sebenarnya menghidupkan kembali merpati penerbang masih bisa dilakukan. Hanya saja, merpati penerbang yang nantinya akan dihidupkan sebenarnya tak akan 100 persen sama dengan spesies yang sudah punah sebelumnya.
Kloning 100 persen itu sulit dilakukan karena DNA merpati penumpang yang ada tidak dalam kondisi yang utuh. Itu sebabnya, alternatif lain yang diupayakan ilmuwan adalah memberikan DNA merpati penumpang yang tersisa dan menginjeksinya pada kerabat terdekat burung ini, yakni merpati ekor pita (Patagioenas fasciata). Memang tak akan sama persis, tapi merpati yang berkembang dari proses ini diperkirakan memiliki kesamaan ciri dengan merpati penumpang yang sudah punah.
Meski terdengar seperti kabar baik, sebenarnya proyek untuk menghidupkan kembali hewan yang sudah punah tak lepas dari kontroversi. Masalah etik jadi diding pertama yang perlu dijawab ilmuwan karena mereka secara tak langsung sedang berusaha menciptakan "kehidupan" yang baru dan belum tentu sama dengan apa yang diharapkan. Selain itu, masalah terkait ekosistem pun jadi sesuatu yang tak boleh luput dari perhatian.
Dilansir BBC, pada beberapa hewan yang sudah punah ribuan tahun lamanya, kita perlu memperkirakan apakah keadaan Bumi hari ini masih bisa mendukung kehidupan mereka jika nantinya benar-benar berhasil dilahirkan kembali. Misalnya, pada kasus mamut berbulu, habitat mereka saat masih eksis jelas sudah sangat berbeda dengan Bumi saat ini. Tanaman yang dulu jadi makanan pokok mereka pun sudah pasti tak tersedia lagi di alam.
Masalah ekosistem ini tentu juga berlaku bagi keanekaragaman hayati lain di habitat yang nantinya akan ditinggali hewan-hewan yang baru dihidupkan kembali itu. Pertanyaan soal apakah kehadiran mereka justru akan mengganggu rantai makanan dan bisakah mereka beradaptasi dengan kehadiran hewan baru jadi tantangan lain bagi ilmuwan. Maka dari itu, selektif dalam membangkitkan hewan-hewan punah sudah seperti kewajiban dalam hal ini.
Misalnya saja, menghidupkan kembali hewan-hewan yang memang baru punah dalam puluhan atau ratusan tahun ke belakang dan mengkaji seberapa penting perannya di alam liar. Selain itu, kalaupun kita memang berhasil membangkitkan hewan yang sudah punah sebelumnya, hasil penelitian ini jelas lebih baik dimanfaatkan pula untuk upaya konservasi hewan yang sudah terancam punah.
Pada akhirnya, menghidupkan kembali hewan-hewan yang sudah punah pastinya jadi berita yang menggembirakan. Namun, hal itu tak akan pernah lepas dari kontroversi. Apalagi, sebagian besar hewan-hewan di atas punah karena ulah umat manusia sendiri. Kalau menurutmu, apakah kita perlu menghidupkan kembali hewan-hewan yang sudah punah?