China mendapat medali emas pertama mereka di cabor akuatik Olimpiade 2024. (instagram.com/world_aquatics)
Membanggakan dan sering diromantisasi, tentu ada harga yang harus dibayar China untuk mencapai gelar kontender di Olimpiade. Dilansir liputan Hannah Beech untuk The New York Times, atlet China harus mengorbankan beberapa hal untuk bisa jadi profesional dan berkompetisi di turnamen-turnamen bergengsi. Ini termasuk komitmen untuk tidak punya hubungan romantis, peraturan ketat soal izin bepergian ke luar negeri, hingga kewajiban dan tinggal di asrama khusus yang biasanya terpisah dari keluarga. Menariknya, regulasi ketat ini bertahap mulai dilonggarkan. Zheng Haohao, atlet termuda China di Olimpiade 2024 Paris, tak perlu tinggal di asrama. Ia dan beberapa atlet China di Olimpiade 2024 juga terlihat punya akun Instagram. Media sosial tersebut bersama beberapa platform buatan Meta lainnya harusnya tak bisa diakses di negara itu.
Namun, indikasi penyalahgunaan kekuasaan di akademi olahraga China pernah menyeruak beberapa kali. Pertama, lewat Jessica Shuran Yu, pemain sekat indah yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah atlet China. Ia mengungkap berbagai abuse yang dialaminya alami sejak belia. Kekerasan fisik dan paksaan untuk melakukan diet ketat adalah beberapa yang ia sebutkan. Pada usia dewasa, Yu memilih beralih aliansi ke Singapura setelah dapat kewarganegaraan dari pihak ayah. Pada 2021, giliran atlet tenis Peng Shuai yang melaporkan kekerasan seksual oleh petinggi Partai Komunis China, Zhang Gaoli. Tak seperti Yu yang sudah aman karena tinggal di luar negeri, beberapa waktu setelah tuduhannya menyeruak, Shuai tak pernah tampak di publik lagi dan kasusnya menguap begitu saja. Skandal doping juga sempat mewarnai persiapan tim akuatik China jelang Olimpiade 2024. Bukti penggunaan doping oleh sejumlah atlet cabor akuatik itu sempat ditutup-tutupi sampai media Jerman dan Amerika Serikat membongkarnya.
Memang tak ada data resmi soal abuse di akademi-akademi olahraga China karena sistem mereka yang sangat tertutup. Belum ada badan independen yang bisa melakukan pengawasan, apalagi investigasi soal skandal dan berbagai keganjilan dalam akademi dan asosiasi olahraga China. Namun, beberapa testimoni di atas bisa jadi bukti kalau program pengembangan olahraga di China tak luput dari penyalahgunaan kekuasaan dan eksploitasi. Tentu, perilaku ini tidak eksklusif terjadi di China. Ada beberapa kasus yang berhasil diungkap, yakni di Amerika Serikat (lewat dokumenter Athlete A) dan Jepang (dalam laporan Human Rights Watch). Ada komitmen kuat dari pemerintah, tetapi ada pula harga yang harus dibayar atlet-atlet China untuk mencapai prestasi di Olimpiade.