Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Charles Leclerc membalap di GP Jepang 2025
Charles Leclerc membalap di GP Jepang 2025 (commons.wikimedia.org/wiki/User:Liauzh)

Intinya sih...

  • Charles Leclerc memiliki konversi pole-to-win terburuk dalam sejarah F1

  • Faktor tim dan blunder Charles Leclerc sama-sama membuatnya gagal menang

  • Bencana Charles Leclerc di stint penutup GP Hungaria 2025 masih jadi misteri

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Performa Charles Leclerc pada seri Formula 1 GP Hungaria 2025 menjadi bahan perbincangan usai kembali gagal memanfaatkan pole position menjadi kemenangan. Pole ke-27 dalam kariernya, yang diraih di GP Hungaria 2025, hanya berujung posisi keempat, yang memperpanjang peluang emas yang terbuang. Catatan ini makin memperkuat label, Leclerc merupakan salah satu pembalap tercepat di kualifikasi, tetapi tidak konsisten pada sesi balapan.

Sejak debut di F1 pada 2018, pembalap asal Monako ini telah menorehkan berbagai momen gemilang pada sesi kualifikasi. Namun, keberhasilan tersebut jarang membuahkan hasil maksimal pada hari race. Rekor konversi pole-to-win Leclerc kini berada di angka 18,52 persen. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah masalahnya ada pada sang pembalap atau pada kru Ferrari yang menanganinya?

1. Charles Leclerc jadi salah satu pembalap F1 dengan konversi pole-to-win terburuk

Dengan torehan 27 pole position, Charles Leclerc duduk di jajaran pembalap top Formula 1 dalam hal kecepatan satu putaran. Namun, hanya lima kali ia berhasil mengonversi keunggulan start tersebut hingga garis finis, yakni di GP Belgia 2019, GP Italia 2019, GP Bahrain 2022, GP Australia 2022, dan GP Monako 2024. Menurut F1 Oversteer, angka konversi 18,52 persen ini menempatkannya di peringkat ketiga terburuk dalam sejarah F1 untuk pembalap dengan jumlah pole signifikan, hanya lebih baik dari Rene Arnoux di peringkat pertama serta Ralf Schumacher, Jean-Pierre Jabouille, dan David Coulthard di peringkat kedua.

Statistik ini menjadi lebih mengejutkan dibandingkan dengan tren kemenangan dari pole position pada era modern. Sejak Leclerc masuk F1, lebih dari 50 persen balapan dimenangkan pembalap yang start dari pole position. Artinya, secara peluang, Leclerc seharusnya memiliki jumlah kemenangan yang jauh lebih besar dari lima. Ketidaksesuaian ini membuatnya menjadi anomali yang menarik, sekaligus ironi bagi talenta yang diakui banyak pihak sebagai salah satu yang terbaik di grid.

Legenda F1, Damon Hill, bahkan mempertanyakan secara terbuka di media sosial apakah rekor ini merupakan yang terburuk bagi pembalap papan atas. Pernyataan Hill itu mencerminkan rasa heran publik, terutama mengingat Leclerc tidak kekurangan kecepatan dan kerap mengungguli rivalnya pada sesi kualifikasi. Namun, keunggulan pada sesi itu tidak jarang menguap begitu lampu hijau balapan menyala.

2. Faktor tim dan blunder Charles Leclerc sama-sama membuatnya gagal menang

Jika ditelusuri, penyebab buruknya rasio pole-to-win Charles Leclerc bukan hanya berasal dari satu sumber. Dalam beberapa kasus, masalah teknis menjadi biang utama kegagalan. Contohnya pada GP Bahrain 2019, saat ia memimpin dengan nyaman sebelum mesin bermasalah, atau GP Spanyol 2022 ketika turbocharge-nya mengalami kegagalan di tengah balapan. GP Azerbaijan 2022 juga menjadi contoh ketika mesin Ferrari tak mampu bertahan hingga finis meski Leclerc start terdepan.

Kesalahan strategi Ferrari juga berperan besar. Di GP Singapura 2019, tim salah melakukan undercut yang justru membuat Sebastian Vettel unggul dari Leclerc. GP Monako 2022 pun menjadi contoh paling mencolok ketika instruksi pit yang membingungkan membuatnya kehilangan pimpinan lomba di depan publik sendiri. Situasi seperti ini membuat frustrasi. Tidak hanya bagi Leclerc, tetapi juga penggemar yang melihat peluang kemenangan menguap sia-sia.

Rasanya kurang adil menyalahkan tim sepenuhnya, karena Leclerc pun pernah membuat kesalahan krusial. Momen di GP Prancis 2022 ketika ia memimpin dan menabrak pembatas menjadi salah satu yang paling diingat. Di GP Singapura 2022, ia kalah start dari Sergio Perez dan tidak mampu merebut posisi kembali hingga finis. Di luar itu, ada faktor bawaan mobil Ferrari yang tampak sangat kompetitif pada kualifikasi, tetapi kerap kalah dalam hal manajemen ban dan kecepatan balapan, terutama melawan Red Bull atau McLaren.

3. Bencana Charles Leclerc di stint penutup GP Hungaria 2025 masih jadi misteri

Hungaria 2025 seharusnya menjadi momen kebangkitan Ferrari dan Charles Leclerc. Memulai balapan dari posisi terdepan, ia memimpin mayoritas balapan dan sempat mengendalikan jarak dari Oscar Piastri di belakangnya. Namun, semuanya berubah pada stint terakhir ketika kecepatannya menurun drastis, yang membuatnya disalip Piastri dan George Russell sebelum finis keempat.

Ferrari menyebut stint terakhir itu sebagai sebuah bencana. Dugaan awal mengarah kepada masalah di sisi sasis atau langkah darurat untuk mencegah terkikisnya plank wear, termasuk menaikkan tekanan ban dan menurunkan mode mesin. Faktor ini sempat menjadi isu Ferrari sepanjang 2025, yang memaksa mereka mengambil setelan yang lebih konservatif agar terhindar dari diskualifikasi seperti yang pernah dialami Lewis Hamilton di GP China.

Leclerc sendiri sempat meluapkan kekesalan lewat radio hingga menuduh tim mengabaikan peringatannya akan kehilangan podium jika strategi tidak diubah. Setelah balapan, ia menarik ucapannya, tetapi misteri penyebab kemerosotan performa tetap belum terpecahkan. Insiden ini pun memicu kembali perdebatan lama, apakah Leclerc sekadar korban nasib buruk dan strategi keliru atau juga menyumbang masalah lewat cara mengelola balapan di bawah tekanan?

Meski memiliki kecepatan luar biasa pada kualifikasi, rekor Charles Leclerc membuktikan start dari posisi ideal tidak selalu menjamin kemenangan. Hingga Ferrari dan Leclerc menemukan keseimbangan antara strategi, reliabilitas, dan eksekusi balapan, rekor ini akan terus menghantuinya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team