Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[WANSUS] Stigma Negatif buat MMA di Indonesia Sulit Berkembang

Rudy 'Golden Boy' Agustian. (Instagram/@rudygoldenboy).
Rudy 'Golden Boy' Agustian. (Instagram/@rudygoldenboy).

Jakarta, IDN Times - Mixed Martial Arts (MMA) kembali menjadi perbincangan publik Indonesia. Itu setelah Jeka Saragih selangkah lagi mendapat kontrak profesional dari promotor MMA paling ternama, UFC.

Jeka harus mengalahkan petarung asal India, Anshul Jubi di final Road to UFC, Februari 2023 mendatang. Tapi sebelum itu, ada baiknya mengintip bincang-bincang salah satu perintis MMA di Indonesia, Rudy 'Golden Boy' Agustian dengan IDN Times, yang berbicara soal perkembangan MMA di Indonesia. Soal apa sajakah itu? 

Rudy, ceritain dong bagaimana kamu merintis MMA di Indonesia sebagai fighter dan promotor?

Kalau dari fighter kan sudah ada RCTI duel sama TPI fighting championship. Cuma kan fasilitas dan ilmunya masih seadanya. Nah sekarang di One Pride, terakhir tuh, sudah mulai semakin naik nih mulai dari skillnya fighter, sampai cara mengemasnya sudah mulai bagus.

Dan menurut saya itu hal yang positif ya. Cuma, yang harus disoroti, pengurus One Pride tidak boleh baper, sehingga banyak fighter pada keluar, khususnya yang bagus. Jadi sekarang kekurangan fight bagus, yang menjual.

Lalu sebagai promotor, ya inilah saya ingin menjual dan membesarkan combat sport. Saya pengin bikin besar, atlet-atlet saya perhatikan, kasih exposure yang keren. Tapi, saya enggak menerima banyak fighter. Karena kalau begitu kita menerima banyak fighter, fokus kita malah melebar.

Jadi, di baku hantam ini fighternya benar-benar terbatas. Kita juga selalu utamakan fighternya, karena mereka kan bintangnya. Simbiosis mutualismelah disebutnya.

Promotor butuh fighter, dan begitu juga sebaliknya. Nah, itu yang masih menjadi PR yang harus diselesaikan Indonesia. Selama ini belum pernah terjadi seperti itu. Promotor kebanyakan egois. ‘Gua promotor, lu mau tanding enggak? Kalau enggak nurut, ya gua blacklist’. Gitu biasanya.

Berarti, promotor itu punya dampak yang besar ya untuk memoles kualitas seorang fighter?

Banget dong. Kalau dia mengemas acaranya keren, bayaran fighternya bagus, pasti dong itu wadah yang menjanjikan untuk para petarung.

Fighter dan promotor itu harus harmonis. Jadi, kalau fighternya betah dan senang, acara juga bakal berjalan bagus. Kalau dikit-dikit ganti fighter, ya orang juga malas nontonnya.

Dan perlu dicatat, fighter yang bagus itu sangat terbatas. Enggak semua orang mau pukul-pukulan, jarang. Sudah kita jarang nemu bibit yang bagus, malah kita buang. Sebagai promotor, saya akan menjaga fighter-fighter yang bagus.

Kita, sebagai promotor itu enggak boleh baper. Misal ada fighter yang ditarik ke promotor lain, itu gak boleh marah. Karena kalau fighter sering bertanding, kan jam terbangnya naik. Skill di atas ring juga makin terasah. Itu simbiosis mutualisme dong?

Kalau melihat MMA di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, bagaimana sih perkembangannya?

Beberapa tahun lalu MMA memang lagi puncaknya. Zamannya saya masih di One Pride, Teo juga, itu masih bagus. Tapi, sekarang kan fighter bagusnya pada keluar. Jadi agak sedikit menurun MMA di Indonesia.

Menurut saya, dengan adanya kemenangan Jeka Saragih (atas petarung Korea Selatan, Ki Won Bin) jadi naik lagi nama MMA. Apalagi dia bawa nama Indonesia pertama kali main di Road to UFC. Itu bagus banget.

Nah, Jeka itu pernah main di acara saya dan itu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Bukan di Baku Hantam, tapi di Underground Fight Indonesia.

Wadah MMA di Indonesia, selengkap apa sih? Sudah memadai?

Fasilitas fighting (di Indonesia) itu masih belum sebagus sepak bolanya. Fasilitasnya, exposurenya, itu kan masih jauh. Nah ini tugas promotor bagaimana caranya membesarkan combat sport.

Makanya, saya bikin Baku Hantam Championship. Ajang premium, keren, dibikin semirip mungkin kayak di Las Vegas, fighternya juga keren-keren. Acara-acara yang bagus tuh konsepnya saya ambil.

Kayak di One Championship, di One Pride, itu saya ambil yang bagus-bagusnya. Seperti sebelum tanding, para petarung itu diperkenalkan dulu dengan video yang keren. Fighter harus benar-benar dijadikan bintang dan bayarannya juga oke.

Sebagai promotor combat sport, apa sih rintangannya?

Yang jadi masalah, stigma negatif combat sport itu masih banyak. Contohnya, kita sebagai promotor sulit buat nyari sponsor. Mereka mikirnya ‘ah ini mah acara kekerasan’. Itu yang bikin promotor kayak kita ini sulit mencari sponsor. 

Sedangkan di Thailand atau Amerika, combat sport seperti ini tuh gampang buat cari sponsor. Dan masyarakat juga mendukung penuh buat hal tersebut. Jadi kadang stigma negatif ini yang buat sulit MMA berkembang. Ini olahraga loh, bukan kekerasan. Stigma itu dulu yang harus diubah, kalau mau MMA berkembang.

Indonesia masih butuh edukasi buat combat sport ini. Coba lihat bullying atau tawuran para pelajar. Itu kan karena kurangnya wadah. Energi negatifnya kurang disalurkan. Dan pemerintah mestinya punya program, untuk membuat masyarakat familiar dengan olahraga dan bela diri.

Kata Jeka Saragih, Indonesia punya banyak fighter hebat. Tapi, kok susah ya buat menembus kancah internasional?

Kembali lagi ke wadahnya yang kurang di Indonesia. Mereka jarang mendapat kesempatan untuk bertanding. Otomatis, jam terbang mereka minim banget dong. Pelatih dan fasilitasnya juga kurang memadai. Nutrisi juga kurang, beda sama petarung luar negeri. Nah, begitu kita suruh tanding ke luar negeri, ya hancur, kalah dari segala aspek. 

Indonesia memang banyak petarung dengan talenta yang hebat. Tapi, kalau enggak ada fasilitas dan tim yang bagus, ya percuma. Begitu mereka punya, ya bakal jadi kayak Jeka.

Share
Topics
Editorial Team
Rendra Saputra
EditorRendra Saputra
Follow Us