Sejarah Kelam Ini yang Membuat Selebrasi Xhaka Jadi Kontroversi
#WorldCup2018 Tak hanya Xhaka. Shaqiri juga melakukannya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Swiss berhasil menekuk Serbia dengan skor 2-1 dalam gameweek kedua Grup E di Stadion Kaliningrad pada Jumat (22/6/2018) malam waktu setempat. Tertinggal lebih dulu melalui gol cepat hasil sundulan Aleksandar Mitrovic di menit ke-5, tim Nati berhasil membalikkan keadaan di babak kedua melalui Granit Xhaka ('52) dan Xherdan Shaqiri ('90).
Yang unik, baik Xhaka maupun Shaqiri kompak melakukan selebrasi dengan gestur tangan yang disatukan hingga menyerupai Flamuri Kombetar, elang berkepala dua yang menjadi simbol pada bendera nasional Albania.
Jika menilik lebih jauh, apa yang mereka berdua lakukan adalah hasil dari kelamnya sejarah politik di Yugoslavia.
Namun sebelum menjelaskan lebih jauh, patut dicamkan bahwa baik Albania dan Kosovo punya persamaan dari segi bahasa. Meski berbeda secara dialek, tradisi dan budaya kedua negara tersebut sama persis. Sehingga timbullah anekdot "Albania adalah Kosovo, dan Kosovo adalah Albania".
1. Masa-masa pasca mangkatnya Josip Bros Tito menjadi awal bencana untuk Yugoslavia
Yugoslavia sebelum bubar adalah sebuah negara yang rawan dengan gesekan horizontal antar etnis. Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, Josip Bros Tito sebagai sang pendiri, sekaligus presiden pertama mengeluarkan kebijakan bahwa semua warganya dilarang menonjolkan identitas etnis secara terang-terangan.
Hanya ada satu identitas yang diakui negara: Yugoslavia, tak peduli apakah dia berasal dari Serbia atau Bosnia.
Setahun usai mangkatnya Tito, suhu politik memanas. Gejolak di tampuk pemerintahan membuat hal yang selama ini ditutup-tutupi mulai terkuak. Satu peristiwa penting terjadi di 1981 ketika mahasiswa Universitas Pristina yang terletak di ibu kota negara bagian Kosovo.
Mereka memprotes ketimpangan sosial yang terjadi, mulai dari angka pengangguran hingga kurangnya subsidi untuk sekolah-sekolah.
Pemerintah mengendalikan keadaan dengan cara tipikal, memberi label "kontra-revolusi". Maka dimulailah episode "pembersihan" oleh polisi rahasia selama beberapa tahun. Semua aktivis dijebloskan ke penjara.
Menekan potensi pecahnya gerakan separatis menjadi alasan utama kebijakan otoriter Yugoslavia. Satu yang tak beruntung itu adalah Ragip Xhaka, ayah Granit Xhaka.
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.