TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

4 Kisah Heroik Pemain Bola yang Wajib Kamu Tahu

#worldcup2018 Benar-benar inspiring nih!

africasacountry.com

Jakarta, IDN Times - "Yang terpenting dalam sepak bola justru bukan sepak bola itu sendiri," kata Terence David John Pratchett. Pratchett bukan pemain bola, ia seorang penulis asal Inggris. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah Discworld, sebuah komik fantasi berseri.

Namun kutipannya tak keliru. Sebab sepak bola memang bukan sekedar menggocek, mengumpan atau mencetak gol. Sepak bola lebih dari itu. Di Cile dan Brasil, misalnya, sepak bola pernah menjadi lambang perlawanan terhadap diktator. Sementara Aljazair merintis kemerdekaan mereka melalui sepak bola. 

Dan jangan lupakan kisah mantan bintang Chelsea Didier Drogba yang menyatukan dua kelompok bersenjata di Pantai Gading dengan sepak bola. Nah, berikut kisah-kisah nyata yang membuktikan jika urusan sepak bola bukan sekedar mencetak gol dan meraih kemenangan.

1. Didier Drogba menyatukan Pantai Gading 

Twitter/@UberChelseaFC

Oktober 2005. Pantai Gading baru saja menekuk Sudan dengan skor 3-1. Kemenangan ini membuat mereka untuk pertama kalinya dalam sejarah melenggang ke Piala Dunia. Tak mengherankan jika ribuan orang turun ke jalan untuk merayakan.

Namun suasana berbeda terjadi di ruang ganti para pemain. Tak ada kegembiraan di sana. Di ruang itu Didier Droba, kapten tim, justru menekuk lututnya. Ia meminta semua pemain di ruangan mengikutinya.

Sesaat kemudian ia berkata, “Saudara-saudaraku di Utara dan Selatan, kami berlutut untuk memohon agar kalian menghentikan peperangan ini. Negara ini tidak boleh tenggelam selamanya dalam genangan darah.”

Momen tersebut tak lepas dari sorot kamera televisi. Selama sebulan ke depan, rekaman di ruang ganti itu diputar berulang-ulang di layar kaca.

“Semua orang yang menonton tayangan itu menangis. Kami teringat pada semua orang yang telah menjadi korban peperangan ini dan menginginkan semua ini segera berakhir,” kata Christope Diecket, anggota Federasi Sepak Bola Pantai Gading.

Saat itu Pantai Gading memang tengah dikoyak perang. Pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak terlibat adu tembak, membuat korban sipil berjatuhan. Namun, beberapa saat setelah ucapan mengharukan Didier Drogba, pemerintah dan pasukan pemberontak meneken gencatan senjata.

Dua tahun kemudian, pada Juni 2007, Drogba kembali membawa Pantai Gading menekuk Madagaskar 5-0, membuat mereka lolos ke Piala Afrika. Pertandingan itu berlangsung di Bouke Stadium yang dikuasai pasukan pemberontak. Pada saat bersamaan, pasukan pemerintah ikut berjaga di sekitar stadium. Tapi tak ada satu peluru pun yang berdesing.

“Ini menunjukkan bahwa negeri ini telah berekonsiliasi,” kata pemimpin pasukan pemberontak Guillaume Soro yang kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri. “Ini tidak akan pernah terjadi tanpa Drogba. Kalian mengenalnya sebagai pemain bola hebat, tapi bagi kami dia juga seorang pahlawan.”

2. Kisah Caszely menolak uluran tangan Pinochet 

Twitter/@olympia_vintage

Cile 1970-an dipimpin Jenderal Augusto Pinochet. Selama pemerintahannya, tak kurang dari tiga ribu orang terbunuh. Karena itu tak ada yang mau berurusan dengannya, kecuali Carlos Caszely, seorang pemain sepak bola di tim nasional Cile. 

'Kegilaan' Caszely terjadi beberapa saat sebelum Piala Dunia digelar di Jerman Timur. Saat itu Caszely bersama timnya dipanggil menghadap Pinochet. Pertemuan ini berlangsung pada suatu hari di bulan Juni 1947.

Pinochet, dengan kaca mata dan kemeja hitam, menyalami satu per satu para pemain kecuali Caszely. “Dia mendatangi kami dengan gaya mirip Hitler,” kata Caszely seperti dikutip dari Marca. “Tapi saya tetap menyimpan tangan saya di belakang (punggung) sehingga dia tahu saya tidak akan menyalaminya.”

Penolakan Caszely menjabat tangan Pinochet berbuntut panjang: ibunya ditangkap dan disiksa. “Jika ini adalah harga yang harus saya bayar untuk mengatakan tidak pada kediktatoran, maka saya akan membayarnya,” kata Caszely.

Sikap 'gila' Caszely kemudian menjadi simbol perlawanan di Cile: ia dicintai dan dikagumi. Satu dekade kemudian, ketika Caszely pensiun pada 1985, lebih dari 80 ribu orang memadati National Stadium di Kota Santiago untuk menonton laga perpisahannya.

“Apa yang dilakukannnya sederhana: hanya menolak bersalaman. Tapi dari semua orang di sini hanya dia yang berani melakukannya. Itulah yang membuat kami menghormatinya,” kata mantan tahanan Pinochet yang menghadiri laga perpisahan itu, Jorge Montealegre.

3. Socrates Brasileiro, pemberontak dari Brasil

Twitter/@aversanbarut

Siapa pemain legendaris asal Brasil? Pele, tentu saja. Namun ada nama lain yang jauh lebih 'rumit' dari Pele, yakni Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira.

Jika Pele dikenang karena ketajamannya di lini depan, maka Socrates akan diingat sebagai 'pemberontak'. Sebab Socrates berani meneriakkan demokrasi di depan penguasa Brasil yang ketika itu sangat represif.

Kisah perlawanan Socrates dimulai saat ia masih membela klub Corithians pada 1978. Saat itu, manajemen Corithians sangat kaku. Pemain tak diberikan ruang untuk berpendapat. Kondisi ini membuat Socrates berang.

“Seolah-olah kami adalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa,” kata Socrates. “Kami menginginkan segala keputusan di sini diambil berdasarkan konsultasi karena pemain bukan hanya objek,” katanya.

Sikap pembangkanganya semakin terlihat saat Corithians memenangi liga pada 1982. Saat itu Socrates bernisiatif menuliskan kata ‘Democracia’ di jersey tim. Ide yang cukup gila karena militer yang merintah Brasil saat itu sangat alergi terhadap kata 'demokrasi'.  

“Kemenangan politik bagi saya lebih penting daripada kemenangan ini karena sepak bola hanya berlangsung 90 menit, sementara kehidupan berjalan terus,” katanya. “Harus ada yang bersuara di tengah keheningan yang mencekam.”

Namun Socrates tak diciduk. Mungkin karena ia terlanjur dicintai publik. Selain memegang ban kapten di Corithians, ia juga menjadi kapten di tim nasional Brasil pada Piala Dunia 1982. Namanya, bersama Pele dan Zico, sangat populer.

Tiga tahun setelah kemenangan itu, pemerintahan militer tumbang. 26 tahun kemudian Socrates meninggal. Presiden Brasil saat itu, Dilma Rousseff, menyebutnya anak emas Brasil. 

“Di lapangan, dia sangat jenius. Di luar lapangan, dia seperti politikus yang sangat memperhatikan negeri ini,” kata Rousseff.

Baca Juga: Piala Dunia 2018, Ini 5 Fakta Gokil Islandia

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya