Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret tribun Piala Dunia 2022 Qatar
potret tribun Piala Dunia 2022 Qatar (unsplash.com/@igorvw)

Intinya sih...

  • Tiket dinamis Piala Dunia 2026 mirip dengan mekanisme tiket pesawat atau hotel

  • Tahap distribusi tiket dibagi menjadi beberapa fase, termasuk penjualan kembali tiket di Amerika Serikat dan Kanada tanpa batasan harga

  • Tiket dinamis Piala Dunia 2026 jadi strategi FIFA meraup pendapatan besar

  • FIFA menargetkan lebih dari 3 miliar dolar AS dari penjualan tiket dan paket hospitality pada Piala Dunia 2026

  • FIFA telah meraup keuntungan sebelum tiket resmi dijual melalui platform digital token Right to Buy (RTB)

  • Kebijakan tiket dinamis dinilai tidak berpihak kepada suporter kelas menengah

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Gelombang antusiasme menyambut Piala Dunia 2026 tidak hanya datang dari lapangan hijau, tetapi juga dari sistem tiket yang diperkenalkan FIFA. Untuk pertama kalinya, badan sepak bola dunia ini mengumumkan penggunaan tiket dengan harga dinamis atau dynamic pricing. Kebijakan tersebut menimbulkan rasa penasaran sekaligus kegelisahan di kalangan suporter yang berharap bisa hadir langsung di stadion.

FIFA menegaskan, penjualan tiket dengan skema harga dinamis akan dimulai sejak fase awal pada September 2025. Harga tiket termurah dibuka di angka 60 dolar AS (Rp987.259) untuk laga fase grup, sementara tiket final bisa mencapai 6.730 dolar AS (Rp110 juta lebih). Namun, harga-harga tersebut tidak bersifat tetap karena akan mengikuti permintaan pasar sepanjang periode penjualan.

1. Tiket dinamis Piala Dunia 2026 mirip dengan mekanisme tiket pesawat atau hotel

FIFA memutuskan untuk menggunakan sistem harga dinamis di Piala Dunia 2026 yang berlangsung di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Dalam praktiknya, harga tiket dapat berubah-ubah sesuai dengan tingkat permintaan, mirip dengan mekanisme harga tiket pesawat atau hotel. Dengan demikian, penonton yang membeli tiket lebih cepat berpotensi mendapatkan harga lebih murah dibanding mereka yang menunggu lebih lama.

Proses distribusi tiket dibagi menjadi beberapa fase. Tahap awal dimulai dengan undian prapenjualan khusus pemegang kartu Visa, kemudian dilanjutkan dengan undian reguler dan sistem first-come-first-served. Para pemenang undian akan mendapatkan kesempatan membeli hingga 40 tiket dengan batas empat tiket per laga, untuk maksimal sepuluh pertandingan.

Selain itu, FIFA menyiapkan platform resmi untuk penjualan kembali tiket. Di Amerika Serikat dan Kanada, tidak ada batasan harga untuk resale, yang berarti tiket dapat dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Namun, di Meksiko, aturan berbeda berlaku karena pemerintah mewajibkan harga tiket penjualan kembali tetap sesuai dengan nominal awal. Hal ini mencerminkan adanya perbedaan regulasi antara negara penyelenggara yang bisa berdampak kepada keterjangkauan tiket di masing-masing wilayah.

2. Tiket dinamis Piala Dunia 2026 jadi strategi FIFA meraup pendapatan besar

FIFA beralasan, penggunaan tiket dinamis merupakan bentuk adaptasi terhadap budaya pasar Amerika Utara. Di kawasan tersebut, harga tiket olahraga dan hiburan umumnya memang ditentukan oleh permintaan konsumen. Menurut FIFA, mekanisme ini tidak hanya bertujuan memaksimalkan pendapatan, tetapi juga menjaga tingkat kehadiran di stadion agar tetap tinggi.

Dari sisi finansial, FIFA memiliki target ambisius. Dilansir The Athletic, badan sepak bola dunia itu menargetkan lebih dari 3 miliar dolar AS atau setara Rp49,3 triliun dari penjualan tiket dan paket hospitality pada Piala Dunia 2026. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan edisi-edisi sebelumnya, terutama dengan jumlah pertandingan yang mencapai 104 laga di 16 kota. Dengan basis pasar Amerika Utara yang memiliki daya beli tinggi, FIFA berusaha memastikan setiap kursi stadion menjadi sumber pemasukan maksimal.

Lebih jauh lagi, FIFA bahkan telah meraup keuntungan sebelum tiket resmi dijual. Melalui platform FIFA Collect, mereka menawarkan digital token bernama Right to Buy (RTB) yang memberikan hak kepada pembeli untuk membeli tiket tertentu pada masa mendatang. Penjualan RTB ini telah menghasilkan puluhan juta dolar, meskipun token tersebut tidak mencakup harga tiket itu sendiri. Langkah-langkah ini kemudian dikritik berbagai pihak sebagai bentuk kapitalisasi berlebihan FIFA karena memonetisasi akses awal sekaligus mengambil alih peran pasar sekunder untuk kepentingan komersial.

3. Kebijakan tiket dinamis dinilai tidak berpihak kepada suporter kelas menengah

Meski sah secara hukum, kebijakan tiket dinamis memicu reaksi keras dari publik. Banyak pihak menilai sistem ini melanggar perjanjian tak tertulis antara olahraga dan penggemar, karena menjadikan suporter sekadar konsumen. Dinamika harga yang tidak menentu dikhawatirkan akan membuat penonton kelas pekerja kesulitan membeli tiket, terutama untuk laga-laga populer seperti final.

Gelombang protes mulai muncul di Amerika Serikat. Calon wali kota New York, Amerika Serikat, Zohran Mamdani, meluncurkan petisi bertajuk “Game Over Greed” yang menuntut FIFA membatalkan sistem tiket dinamis. Petisi tersebut juga menyerukan agar FIFA kembali memberlakukan batas harga untuk penjualan kembali tiket serta menyediakan 15 persen tiket bersubsidi bagi warga lokal. Respons ini menunjukkan kecemasan publik mengenai Piala Dunia yang makin tidak membumi dan hanya bisa dinikmati penonton kalangan atas.

Kelompok advokasi seperti Football Supporters Europe (FSE) ikut melayangkan surat protes resmi kepada FIFA. Mereka menilai sistem tiket dinamis menghadirkan ketidakadilan bagi pendukung yang sudah berkorban finansial untuk mengikuti tim nasional mereka. Akibatnya, jutaan penggemar yang menganggap turnamen ini sebagai pengalaman sekali seumur hidup berisiko kehilangan kesempatan untuk hadir.

Kasus serupa di luar sepak bola, seperti lonjakan harga tiket konser Oasis atau penolakan Taylor Swift terhadap harga dinamis, menunjukkan praktik ini kerap berujung kepada kemarahan publik. Penerapan harga dinamis dalam industri hiburan telah menimbulkan gelombang protes karena penonton merasa diperlakukan tidak adil ketika harga tiket melonjak drastis dalam hitungan jam. Perbandingan dengan dunia musik memperlihatkan resistensi terhadap sistem ini bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan juga persoalan kepercayaan antara penyelenggara dan penggemar.

Piala Dunia 2026 di Amerika Utara akan menjadi panggung terbesar dalam sejarah sepak bola, tetapi isu tiket dinamis mereduksi makna kebersamaan turnamen tersebut. Jika FIFA gagal menyeimbangkan antara keuntungan finansial dan aksesibilitas suporter, pesta olahraga terbesar dunia ini bisa berubah menjadi tontonan eksklusif bagi segelintir kalangan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team