Meski sah secara hukum, kebijakan tiket dinamis memicu reaksi keras dari publik. Banyak pihak menilai sistem ini melanggar perjanjian tak tertulis antara olahraga dan penggemar, karena menjadikan suporter sekadar konsumen. Dinamika harga yang tidak menentu dikhawatirkan akan membuat penonton kelas pekerja kesulitan membeli tiket, terutama untuk laga-laga populer seperti final.
Gelombang protes mulai muncul di Amerika Serikat. Calon wali kota New York, Amerika Serikat, Zohran Mamdani, meluncurkan petisi bertajuk “Game Over Greed” yang menuntut FIFA membatalkan sistem tiket dinamis. Petisi tersebut juga menyerukan agar FIFA kembali memberlakukan batas harga untuk penjualan kembali tiket serta menyediakan 15 persen tiket bersubsidi bagi warga lokal. Respons ini menunjukkan kecemasan publik mengenai Piala Dunia yang makin tidak membumi dan hanya bisa dinikmati penonton kalangan atas.
Kelompok advokasi seperti Football Supporters Europe (FSE) ikut melayangkan surat protes resmi kepada FIFA. Mereka menilai sistem tiket dinamis menghadirkan ketidakadilan bagi pendukung yang sudah berkorban finansial untuk mengikuti tim nasional mereka. Akibatnya, jutaan penggemar yang menganggap turnamen ini sebagai pengalaman sekali seumur hidup berisiko kehilangan kesempatan untuk hadir.
Kasus serupa di luar sepak bola, seperti lonjakan harga tiket konser Oasis atau penolakan Taylor Swift terhadap harga dinamis, menunjukkan praktik ini kerap berujung kepada kemarahan publik. Penerapan harga dinamis dalam industri hiburan telah menimbulkan gelombang protes karena penonton merasa diperlakukan tidak adil ketika harga tiket melonjak drastis dalam hitungan jam. Perbandingan dengan dunia musik memperlihatkan resistensi terhadap sistem ini bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan juga persoalan kepercayaan antara penyelenggara dan penggemar.
Piala Dunia 2026 di Amerika Utara akan menjadi panggung terbesar dalam sejarah sepak bola, tetapi isu tiket dinamis mereduksi makna kebersamaan turnamen tersebut. Jika FIFA gagal menyeimbangkan antara keuntungan finansial dan aksesibilitas suporter, pesta olahraga terbesar dunia ini bisa berubah menjadi tontonan eksklusif bagi segelintir kalangan.