Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret pemain akademi sepak bola
potret pemain akademi sepak bola (pexels.com/aleksandar069)

Intinya sih...

  • Insting menjadi bagian penting dari seni dalam proses scouting sepak bola

  • Scout sering kesulitan menilai talenta muda karena perkembangan mereka yang tak stabil

  • Meski data makin dominan, algoritma belum mampu menandingi naluri scout manusia

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sepak bola modern mungkin tampak digerakkan statistik, tetapi di balik tiap transfer besar, selalu ada mata tajam seorang pemandu bakat yang bekerja dalam diam. Mereka harus menempuh perjalanan jauh, duduk di tribun dengan catatan di tangan, dan menonton ratusan laga yang nyaris tak disorot kamera. Dari catatan itulah nasib seorang pemain muda bisa berubah, dan klub menemukan masa depannya.

Namun, proses menemukan talenta terbaik bukanlah perkara mudah. Scout tidak hanya menilai kemampuan teknis, tetapi juga kepribadian, konsistensi, dan kesiapan mental pemain muda. Dalam era modern ketika angka dan algoritma makin dominan, mereka tetap berperan sebagai penghubung antara data dan intuisi.

1. Insting menjadi bagian penting dari seni dalam proses scouting sepak bola

Proses scouting dimulai jauh sebelum seorang pemain dikenal publik. Para scout bekerja dalam kesunyian, mengunjungi stadion kecil, atau berdiri di pinggir lapangan nonliga untuk mencari talenta tersembunyi. Seperti diceritakanTop Bins, seorang scout bisa menonton ratusan pertandingan dalam semusim, menghabiskan malam di jalan raya, dan mencatat tiap gerak pemain yang menarik perhatiannya.

Pada era awal kepelatihan David Moyes di Everton, satu target bisa menghasilkan hingga 50 laporan berbeda sebelum disetujui untuk direkrut. Moyes sendiri memiliki sistem bernama MOT Checklist berisi 12 kriteria untuk tiap posisi dengan ribuan laporan tersimpan sebagai basis keputusan akhir. MOT sendiri merupakan singkatan Ministry of Transportation, sebuah sistem evaluasi scouting yang terinspirasi dari tes kelayakan kendaraan di Inggris.

Matt Hodges, scout Queens Park Rangers (QPR) yang pernah bekerja di West Ham United, menggambarkan profesi ini sebagai pekerjaan yang lebih sering berkawan dengan dingin dan hujan ketimbang gemerlap dan kemewahan. Ia menekankan pentingnya ketekunan dan komunikasi. Kadang, informasi berharga datang bukan dari statistik, melainkan dari percakapan singkat dengan pelatih sekolah atau orangtua pemain. Seorang scout sejati tidak hanya menilai kemampuan di lapangan, tetapi juga disiplin dan respons pemain terhadap kegagalan.

Cerita Kevin Doyle saat direkrut Reading menggambarkan bagaimana jaringan dan intuisi menjadi alat utama. Brian McDermott, yang saat itu bekerja untuk Reading, mendengar rekomendasi informal dari seorang kolega di Cardiff, Wales. Ia kemudian menonton penampilan Doyle muda dengan melibatkan direktur sepak bola dan manajer, hingga akhirnya Reading memboyongnya. Hasilnya, Doyle menjadi salah satu pemain paling berpengaruh bagi klub selama berlaga di English Premier League (EPL).

2. Scout sering kesulitan menilai talenta muda karena perkembangan mereka yang tak stabil

Menilai potensi pemain muda adalah pekerjaan paling sulit dalam scouting. Riset Tom Bergkamp dan rekan-rekannya dari University of Groningen (2022) terhadap 125 scout di Belanda menunjukkan sebagian besar menilai potensi pemain secara intuitif, meski banyak yang mulai menggunakan metode terstruktur. Rata-rata, mereka merasa baru bisa memprediksi potensi profesional pemain pada usia sekitar 13–15 tahun, ketika indikator performa mulai stabil.

Atribut yang paling sering dinilai mencakup aspek teknis, seperti first touch, dribbling, dan passing, diikuti aspek kognitif-taktis seperti pengambilan posisi dan keputusan cepat. Namun, para scout juga menilai dimensi nonteknis seperti mentalitas, determinasi, dan kematangan emosional. Faktor kepribadian sering kali menjadi pembeda antara pemain yang sukses dan mereka yang mandek, terutama ketika menghadapi tekanan pada usia muda.

Masalah utama dalam scouting usia dini yaitu validitas prediksi. Perkembangan pemain muda kerap kali bersifat inkonsisten dan nonlinear. Scout bisa mengamati anak berusia 12 tahun yang tampak luar biasa, tetapi 5 tahun kemudian ia tak berkembang sesuai harapan. 

Oleh sebab itu, proses observasi harus dilakukan berulang kali dan dalam berbagai konteks pertandingan. Dalam kasus ini, penilaian berbasis struktur menggunakan daftar kriteria eksplisit terbukti lebih akurat daripada sekadar mengandalkan insting. Meski begitu, intuisi tetap menjadi filter terakhir dalam tiap keputusan.

3. Meski data makin dominan, algoritma belum mampu menandingi naluri scout manusia

Transformasi teknologi telah mengubah wajah scouting pada abad ke-21. Kini, hampir semua klub profesional menggunakan basis data seperti WyScout, ProZone, dan Scout7 untuk mengumpulkan video dan statistik dari seluruh dunia. Alat-alat ini membantu scout menghemat waktu dan mempersempit daftar target berdasarkan performa objektif, seperti jumlah umpan progresif atau tingkat penyelesaian peluang.

Namun, dilansir The Athletic, kisah Dave Worthington, scout senior yang pernah bekerja untuk Bolton Wanderers dan Chelsea, menunjukkan intuisi tetap tak tergantikan. Worthington menemukan Karim Benzema dan Rodrigo Hernandez Cascante melalui perjalanan panjang di Prancis dan Spanyol, hanya bermodal buku catatan dan observasi langsung. Dalam catatan tangannya, Rodri muda dideskripsikan sebagai pemain yang selalu ada di tiap sisi, tak pernah membuang bola, dan membantu semua rekan satu tim, sebuah deskripsi yang tak mungkin diukur hanya lewat angka.

Meski demikian, era baru scouting kini juga dipengaruhi kecerdasan buatan (AI). Sistem seperti ScoutBot, yang dikembangkan perusahaan Blend bersama Databricks, mampu menyeleksi pemain dengan kriteria kompleks seperti winger dengan progressive carries di atas 25 persen dengan nilai pasar di bawah 5 juta euro (Rp96 miliar). Teknologi ini memproses data secara real time, membantu scout menemukan pemain sesuai profil klub tanpa harus menonton ratusan pertandingan manual.

Meski efisien, AI tak bisa menggantikan naluri manusia. Mengutip Great Learning, perangkat digital hanya berfungsi sebagai co-pilot untuk menganalisis data fisik, mental, dan teknis, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan scout. Data dapat menilai efektivitas umpan, tetapi tidak mampu mengukur dorongan batin seorang pemain untuk berlari 10 meter lebih jauh demi timnya.

4. Para scout tidak hanya bekerja untuk uang, tetapi juga kecintaan terhadap sepak bola

Di balik layar sepak bola profesional, ada ratusan scout yang bekerja bukan demi ketenaran, melainkan karena cinta terhadap permainan. Brian McDermott, yang juga merupakan mantan Kepala Pemandu Bakat Arsenal, mengatakan pekerjaan ini dilakukan bukan hanya demi uang, melainkan juga demi cinta. Ia pernah menghabiskan akhir pekan di tribun dingin hanya untuk menilai satu pemain, lalu menuliskan catatan sederhana di ponselnya tentang postur, reaksi, dan mentalitas sang pemain.

Erling Haaland menjadi salah satu contoh penemuannya yang paling menarik. Saat masih bertugas di Arsenal, McDermott menyaksikan Haaland bermain untuk Norwegia U-19. Dalam catatan singkatnya tertulis: “berbadan besar, punya naluri gol, dan potensi luar biasa.” Catatan sederhana itu kini menjadi bagian dari kisah lahirnya salah satu penyerang terbaik dunia ini.

Scouting juga sering kali bergantung kepada keberuntungan dan jaringan. McDermott mengaku banyak rekrutan sukses bermula dari percakapan santai dengan kolega, bukan dari laporan data. Dalam banyak kasus, scout harus menilai kesiapan mental pemain, apakah ia siap meninggalkan negara asal, beradaptasi dengan budaya baru, atau bertahan menghadapi tekanan profesional. Semua itu tak dapat diukur teknologi atau algoritma apa pun.

Pada akhirnya, scouting adalah perpaduan antara kerja keras, sains, dan seni membaca manusia. Banyak scout yang berjuang tanpa jaminan pengakuan, tetapi dari tangan merekalah klub-klub menemukan bakat yang akan menulis sejarah. Seperti yang dipaparkan The Athletic, keberhasilan scouting tidak hanya soal siapa yang berhasil ditemukan, tetapi juga dari kemampuan mengenali potensi yang belum dilihat orang lain.

Scouting telah menjadi jantung dari pembangunan sepak bola modern. Di tengah lautan data dan algoritma, ada satu hal belum berubah, yakni lahirnya pemain besar selalu dimulai dari seseorang yang duduk di tribun dan mencatat hal-hal kecil yang belum dilihat siapa pun.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team