Georgia ulang kisah inspiratif Islandia di Euro 2016. (instagram.com/nakrebi)
Faktor lainnya adalah minimnya tim kuda hitam yang bisa menembus semifinal. Ini membuat penikmat sepak bola jadi kurang antusias menonton kelanjutan Euro 2024. Beda dengan beberapa edisi sebelumnya, seperti Rusia yang capai semifinal Euro 2008, Spanyol yang biasanya langganan babak 16 besar jadi juara, serta Yunani yang pada 2004 tiba-tiba merebut Piala Eropa bak petir di siang bolong.
Tahun ini, Turki dan Swiss sempat jadi harapan terakhir alias kuda hitam tersisa pada semifinal. Sayangnya, mereka harus pulang setelah kalah dari lawan masing-masing pada babak perempat final. Kontan, hanya tinggal empat tim besar yang tersisa di Euro 2024, yakni Inggris, Spanyol, Belanda, dan Prancis.
Ketiadaan tim kejutan jelas mengurangi keseruan Euro tahun ini. Menurut liputan Joseph Stromberg untuk Vox, manusia punya kecenderungan mendukung tim nonunggulan karena beberapa alasan. Salah satunya keinginan untuk terwakili serta tuntutan terhadap sistem masyarakat yang adil.
Hanya Georgia yang mungkin akan dikenang karena mengulang kisah inspiratif Islandia pada Euro 2016. Keduanya jadi debutan yang berhasil lolos fase grup. Islandia saat itu mencapai perempat final, setingkat lebih baik dari Georgia yang lolos sampai babak 16 besar. Ada beberapa rekor lain seperti Slovakia yang tembus fase gugur pertama kali atau Skotlandia yang punya fans terbaik, tetapi sepertinya bukan highlight yang bakal diingat publik dalam waktu lama layaknya Rusia dan Spanyol pada 2008 serta Yunani pada 2004.
Ulasan di atas mungkin tidak bisa mewakili opini semua orang. Euro 2024 mungkin jadi salah satu momen terbaik buat sebagian suporter, terutama negara-negara yang timnya tampil memuaskan. Namun, sebagai seseorang yang tak punya timnas di turnamen tersebut, apa pendapat pribadimu soal edisi Euro kali ini?