Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi stadion sepak bola
ilustrasi stadion sepak bola (IDN Times/Mardya Shakti)

Intinya sih...

  • Tuduhan doping terhadap bintang Chelsea, Mykhailo Mudryk

  • Kasus narkotika dan hormon memperkuat wajah baru doping di sepak bola

  • Tren doping di sepak bola modern dan upaya penanggulangannya

Dalam sepak bola modern yang berlangsung cepat dan penuh tekanan, kemenangan tidak lagi hanya ditentukan oleh latihan keras dan strategi permainan. Di tengah persaingan memperebutkan gelar juara, praktik doping masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Meski teknologi pengujian terus berkembang, pelanggaran terkait doping tetap ditemukan di berbagai level kompetisi.

Sebagai olahraga dengan pengaruh besar di seluruh dunia, sepak bola terus menghadapi risiko penyalahgunaan zat peningkat performa. Tekanan untuk tampil optimal sering membuat sejumlah pemain mengambil jalan pintas yang melanggar aturan. Praktik ini dapat merusak kesehatan pemain dalam jangka panjang dan merusak prinsip keadilan yang menjadi dasar dari kompetisi olahraga.

1. Tuduhan doping terbaru terhadap bintang Chelsea, Mykhailo Mudryk

Kasus terpanas datang dari Mykhailo Mudryk, sayap Chelsea dan Tim Nasional Ukraina. Dilansir Talksport, pada Juni 2025, Federasi Sepak Bola Inggris (FA) secara resmi menyatakan, Mudryk diduga melanggar Regulasi Antidoping 3 dan 4 setelah ditemukan zat meldonium dalam sampel urinenya yang diambil pada Desember 2024. Zat tersebut tergolong sebagai zat terlarang oleh Badan Antidoping Dunia (WADA) sejak 2016, sebagaimana dilansir The Guardian. Jika terbukti bersalah, Mudryk berisiko dikenakan sanksi larangan bermain hingga 4 tahun dan bisa berdampak besar pada karier profesionalnya.

Kasus Mudryk bukan satu-satunya yang terjadi. Menurut laporan FIFA dan lembaga antidoping lainnya, dari sekitar 20 ribu tes yang dilakukan tiap tahun, hanya 0,4 persen yang terbukti positif. Dari jumlah itu, 0,07 persen berkaitan dengan steroid, sisanya umumnya berasal dari penggunaan obat rekreasi seperti ganja atau kokain.

Kasus ini menambah panjang daftar dugaan doping di kalangan pemain elite Eropa. Meski pemain dan klub membantah penggunaan zat tersebut secara sengaja, publikasi resmi dari FA dan investigasi yang tengah berjalan membuatnya tetap menjadi perhatian media global. Dengan statusnya sebagai pemain muda yang tengah naik daun, insiden ini kembali membuka diskusi luas mengenai tekanan performa, kontrol ketat kompetisi elite, dan dinamika doping bisa tetap menyelinap dalam sistem yang sudah berlapis pengawasan.

2. Kasus narkotika dan hormon memperkuat wajah baru doping di sepak bola

Fenomena doping di sepak bola makin kompleks dengan temuan yang melibatkan jenis zat yang beragam. Pada Maret 2025, Ibrahima Niane, penyerang klub Angers SCO asal Senegal, dijatuhi sanksi larangan bermain selama 2 tahun oleh Badan Antidoping Prancis (AFLD). Hasil tes menunjukkan kandungan MDMA dan ekstasi, dua zat psikoaktif yang dapat memengaruhi sistem saraf pusat dan dilarang keras dalam dunia olahraga. Selama masa hukuman, Niane tidak diperkenankan mengikuti aktivitas pertandingan dan latihan resmi bersama klub.

Di sisi lain, kasus Paul Pogba menjadi sorotan publik karena melibatkan pemain berpengaruh yang pernah menjuarai Piala Dunia. Dilansir SkySports, Pogba dinyatakan positif mengandung DHEA, hormon sintetik yang meningkatkan kadar testosteron. Awalnya, ia dijatuhi hukuman 4 tahun, tetapi setelah mengajukan banding kepada Court of Arbitration for Sport (CAS), hukumannya dikurangi menjadi 18 bulan. Pogba resmi bebas bermain sejak 10 Maret 2025 setelah menyelesaikan masa hukuman tersebut.

Setelah kembali ke status bebas transfer, Pogba dilaporkan menarik minat klub-klub Eropa, termasuk AS Monaco yang akhirnya mengontraknya. Klub asal Prancis tersebut tertarik memasukkan Pogba sebagai bagian dari rencana pembaruan tim untuk menghadapi Liga Champions Eropa. Kasus Niane dan Pogba menunjukkan, doping dalam sepak bola modern muncul dari berbagai faktor dan jenis pelanggaran.

3. Tren doping di sepak bola modern dan upaya penanggulangannya

Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas dan cakupan pengujian doping dalam sepak bola telah meningkat pesat. Menurut laporan FIFA Anti-Doping Report 2023, terdapat 2.616 sampel yang terkumpul sepanjang tahun dari berbagai kompetisi, termasuk Piala Dunia Perempuan 2023 dan turnamen usia muda. Dari keseluruhan sampel itu, hanya satu kasus yang teridentifikasi sebagai pelanggaran, yaitu sebuah temuan yang kemudian dibersihkan karena alasan izin medis. Temuan ini menunjukkan posisi rendahnya insiden doping terhadap jumlah pengujian yang dilakukan.

Di Inggris, sepak bola menjadi olahraga yang paling banyak diuji oleh UK Anti-Doping (UKAD) pada sepanjang 2023,. Dari pengujian tersebut, sekitar 32 persen dari total 8.800 tes dilakukan pada pemain sepak bola. Pengujian dilakukan tidak hanya saat pertandingan berlangsung, tetapi juga di luar musim atau latihan. Selain itu, sistem pemantauan jangka panjang digunakan untuk mendeteksi perubahan tidak wajar dalam tubuh pemain.

Meski angka pelanggaran sangat kecil, risiko doping tetap ada. Beberapa pelanggaran yang ditemukan umumnya berasal dari zat stimulan dan obat yang bisa menyamarkan penggunaan doping. FIFA dan UEFA makin rutin mengadakan edukasi dan tes menyeluruh untuk mencegah pelanggaran doping. Di Euro 2024, lebih dari 1.500 tes dilakukan dan seluruhnya menunjukkan hasil negatif.

4. Tantangan sistemik dalam penanggulangan doping sepak bola

Sepak bola modern menghadapi kesulitan struktural dalam upaya melawan doping. Meski federasi seperti FIFA melakukan tes acak dan tidak terjadwal, cakupan pengujian global masih dirasa belum optimal. Antara Januari dan Desember 2021–2022, FIFA hanya melaksanakan sekitar 622 tes di luar kompetisi, jauh lebih sedikit dibandingkan FA Inggris yang mencapai 73 persen dari total 1.220 tes antara Januari–Juni 2024. Kesenjangan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan banyaknya potensi pelanggaran hanya terdeteksi saat turnamen besar berlangsung, sementara sisanya luput dari pengawasan.

Dilansir The Times, FIFA dan UEFA makin menyadari independensi dalam pengujian doping. Di Inggris, rencana untuk menyerahkan seluruh proses tes kepada UKAD sedang dipertimbangkan untuk menghilangkan konflik kepentingan dari federasi sendiri. Model serupa diadopsi International Testing Agency (ITA), lembaga independen global yang dibentuk setelah skandal doping Rusia pada medio 2010-an. Langkah ini menunjukkan pergeseran tren menuju struktur pengawasan yang terpisah dan profesional.

Kolaborasi lintas organisasi juga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan sistemik. UEFA telah menggelar pertemuan edukasi bersama perwakilan NADOs, WADA, dan Council of Europe untuk memperkuat standar independen dan akuntabel. Sedangkan, FIFA memperluas cakupan tes di tim perempuan, kelompok usia muda, dan melalui aliansi dengan konfederasi seperti CONCACAF. Hal ini tercatat dalam laporan Anti‑Doping Report 2023 yang menyatakan adanya peningkatan hingga delapan kali lipat di wilayah tersebut.

5. Doping tetap mengancam integritas sepak bola

Berbagai kasus dan data menunjukkan, dunia sepak bola terus berusaha memperkuat sistem antidoping melalui pengujian, edukasi, dan regulasi. Kasus pemain terkenal, seperti Paul Pogba, hingga hukuman bagi pemain muda seperti Ibrahima Niane menjadi gambaran sanksi tetap dijatuhkan tanpa pandang status. Di sisi lain, laporan resmi dari FIFA, UEFA, dan badan nasional seperti UKAD menunjukkan pengujian rutin dengan jumlah besar mampu menjaga angka pelanggaran tetap rendah. Langkah-langkah seperti peningkatan tes di luar kompetisi, edukasi atlet, dan penggunaan teknologi pemantauan jangka panjang merupakan bentuk komitmen menjaga olahraga tetap bersih.

Namun, tantangan struktural dan variasi jenis doping membuat pengawasan perlu terus diperkuat. Ketimpangan jumlah tes antarnegara, belum optimalnya pengujian di luar musim, serta potensi konflik kepentingan dalam sistem pengawasan masih menjadi perhatian. Upaya federasi global untuk menggandeng lembaga independen seperti ITA dan NADO menjadi sinyal krusial akan transparansi dan objektivitas perlu dikedepankan. Doping bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan juga ancaman serius terhadap nilai sportivitas dan keadilan dalam kompetisi. Tanpa sistem yang kuat, adil, dan merata, sepak bola modern akan selalu dibayangi risiko kehilangan integritasnya.

Fenomena doping dalam sepak bola modern tetap menjadi persoalan serius yang menuntut perhatian dari berbagai pihak. Meskipun jumlah kasus yang terdeteksi tergolong rendah, tiap pelanggaran membawa dampak besar terhadap kepercayaan publik dan nilai sportivitas olahraga. Kasus-kasus yang mencuat menunjukkan, sepak bola masih belum sepenuhnya bebas dari bayang-bayang pelanggaran integritas.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team