Southampton. (Twitter.com/SouthamptonFC)
Hasenhuettl membawa skema favoritnya ketika menangani Leipzig ke Southampton, yaitu formasi dasar 4-2-2-2. Berkat skema ini, Southampton mampu bermain rapat, pergerakan pemain, aliran bola yang cepat, serta tekanan yang tinggi.
Walau dalam bertahan para pemain Southampton akan menerapkan high-pressing, namun pressing yang mereka terapkan sifatnya tidaklah agresif. Misal, dua pemain depan Southampton, Che Adams dan Danny Ings, mereka tak menekan bek lawan dengan membabi buta di tiga perempat lapangan.
Adams dan Ings hanya ditugaskan menutup jalur umpan ke tengah. Sedangkan para gelandang sayap, akan diam di area half space, jaga-jaga jika nantinya lawan akan bermain melebar ke sayap. Intinya, sebisa mungkin lawan sudah dibuat tak nyaman saat menguasai bola di daerah sendiri.
Jikapun nantinya bola ke sayap, maka gelandang sayap, bersama dengan pemain-pemain terdekat, akan langsung menekan lawan yang sedang membawa bola di situ. Alhasil, bola kerap terebut dan Southampton langsung masuk fase transisi.
Setelah transisi, Southampton akan menyerang dengan cepat dan vertikal. Para pemain yang tadinya berada dalam posisi menekan, mulai beralih mencari posisi sebagai opsi umpan bagi para pemain yang membawa bola. Bola lalu dialirkan dari kaki ke kaki, menerobos pertahanan lawan.
Sekilas, apa yang diterapkan Hasenhuettl ini mirip dengan apa yang diterapkan Jurgen Klopp di Liverpool. Ya, kenyataannya memang seperti itu. Apalagi, Southampton dipenuhi pemain pekerja keras, tetapi juga mampu mengalirkan bola dengan baik. Perpaduan itulah yang bikin Southampton menakutkan.