Di bawah asuhan Oliver Glasner, Crystal Palace menjadi tim yang lebih struktural dan disiplin secara taktik. Sistem ini kerap membatasi ruang gerak pemain kreatif seperti Eberechi Eze yang tumbuh dari insting dan improvisasi. Namun, justru di tengah kekakuan inilah ia berhasil menunjukkan keistimewaannya.
Meskipun bukan pemain sempurna dalam skema Glasner, Eze tetap bersinar. Sang pelatih sendiri mengakui, musim ini menjadi musim yang aneh dan kurang beruntung bagi Eze, terutama karena sejumlah golnya dianulir, peluang terkena tiang, dan beberapa cedera ringan. Namun setiap kali Eze mendapatkan kebebasan, ia selalu menyumbang momen magis.
Testimoni rekan setim dan pelatih memperkuat posisi Eze sebagai pemain kunci. Marc Guehi menyatakan, Eze menjadi salah satu pemain yang terbaik di tim, dan kontribusinya terlihat nyata. Dalam laga semifinal Piala FA melawan Aston Villa, ia mencetak 1 gol dan 1 assist. Ini membuktikan dirinya tetap mampu memainkan peran krusial meski hanya bermain 75 menit.
Final di Wembley menjadi bukti sahih dari kapasitas Eze dalam mencetak momen bersejarah. Sepakan terarahnya menyambut umpan Daniel Munoz pada menit ke-16 membuat Palace unggul atas Manchester City dan bertahan hingga peluit akhir laga. Dalam sistem taktis Glasner yang ketat, Eze adalah pengecualian yang tak tergantikan.
Di Premier League, meskipun The Eagles merupakan tim papan tengah, Eze tampil konsisten menghadapi lawan berat. Ia mampu mencetak gol melawan Arsenal, Manchester City, Nottingham Forest, hingga Aston Villa. Hal ini semakin menegaskan ia telah melampaui label bintang di tim papan tengah sebagai pemain penting dalam laga-laga besar.