Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi suporter Timnas Inggris di stadion
suporter Timnas Inggris di stadion (Pexels.com/Charles A. Pickup)

Intinya sih...

  • Ordal jadi kunci Inggris Raya punya 4 perwakilan resmi di FIFA

  • Legasi dominasi Inggris Raya dalam tatanan sepak bola internasional

  • Implikasinya dalam turnamen internasional

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

United Kingdom (Britania Raya dan Irlandia Utara yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Inggris Raya) memang bukan satu-satunya negara di dunia yang punya wilayah otonom sendiri. Namun, dalam sepak bola dan banyak ajang olahraga lainnya, Inggris Raya bisa mengirim lebih dari satu perwakilan yang merepresentasikan otonomi tersebut. Mereka adalah Inggris (England), Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.

Tatanan ini berlaku sejak awal 1900-an lewat pengakuan resmi FIFA atas empat entitas itu sebagai anggota. Saking lamanya, banyak pihak tidak mempertanyakan perkara itu dan menganggapnya normal. Padahal, dengan logika yang sama, seharusnya negara-negara lain yang punya wilayah otonom resmi seperti Rusia dan Spanyol bisa melakukan hal serupa. Namun, realitasnya hanya Inggris Raya yang punya privilese tersebut. Mengapa dan bagaimana implikasinya buat negara lain?

1. Ordal jadi kunci Inggris Raya punya 4 perwakilan resmi di FIFA

Harus diakui, tidak semua wilayah otonom seberuntung Inggris Raya. Ordal alias orang dalam adalah salah satu alasan yang memungkinkan Inggris Raya punya 4 perwakilan terpisah yang diakui secara resmi oleh FIFA. Sosok ordal yang dimaksud adalah Daniel Burley Woolfall. Ia awalnya adalah bagian dari Football Association (FA), yakni Federasi Sepak Bola Inggris sekaligus asosiasi sepak bola tertua di dunia. Mereka berdiri pada 1863 atau 4 dekade sebelum FIFA dibentuk beberapa negara Eropa Barat dan Utara pada 1904.

Merujuk Oxford Dictionary of Sports Studies, FIFA pada awal pendiriannya butuh penasihat dan mencoba untuk membujuk Inggris bergabung. Namun, negosiasi awal sempat buntu sampai presiden FIFA pertama, Robert Guerin mundur. Pada saat itulah, Woolfall berhasil mengambil alih posisi Guerin dan melakukan beberapa terobosan. Salah satunya memastikan Inggris Raya punya 4 perwakilan resmi di FIFA.

Usulan tersebut sempat ditolak negara anggota lain karena menyalahi aturan awal yang menyatakan setiap negara hanya bisa punya satu federasi perwakilan. Konsep negara dalam statuta tersebut pun dijelaskan sebagai entitas yang keberadaannya diakui komunitas internasional seperti PBB. Ini berarti keempat wilayah otonom Inggris Raya tadi sebenarnya tak memenuhi syarat tersebut.

2. Legasi dominasi Inggris Raya dalam tatanan sepak bola internasional

Woolfall tak kehilangan akal. Lewat International Football Association Board (IFAB) yang dibentuk FA bersama Federasi Sepak Bola Irlandia Utara (IFA), Wales (FAW), dan Skotlandia (SFA) pada 1886, Woolfall menciptakan hierarki baru. Sebagai konteks, IFAB adalah badan di balik Laws of the Game alias regulasi permainan sepak bola universal pertama yang pernah dibuat manusia dan akhirnya diadopsi FIFA sejak Woolfall jadi presiden. Beriringan dengan itu, FIFA pun menambahkan klausa yang memastikan bahwa Inggris Raya diwakili 4 federasi sepak bola terpisah seperti yang ada di IFAB.

Dinamika ini membuktikan bahwa dominasi Inggris dalam sepak bola internasional amat nyata. Stefan Szymanski dari University of Michigan saat diwawancarai Business Insider pun mengakui bahwa faktor yang bikin Inggris Raya dapat hak istimewa itu tak lain adalah inisiatif mereka membentuk dan mengorganisasi permainan sepak bola secara profesional jauh sebelum FIFA berdiri. Ini membuat mereka punya pengalaman yang dibutuhkan FIFA dan akhirnya memengaruhi banyak kebijakan dalam organisasi sepak bola sejagat itu. Inggris Raya pula yang menemukan konsep pertandingan internasional. Walaupun sebenarnya istilah “internasional” yang dimaksud adalah wilayah-wilayah otonomnya sendiri.

3. Implikasinya dalam turnamen internasional

Tentu tatanan tadi punya implikasi dalam penyelenggaraan turnamen internasional. Mari lihat kasusnya dalam penyelenggaraan Piala Dunia. Dalam sejarahnya, kuota peserta asal Eropa selalu paling besar dibanding benua lain. Itu seolah dilakukan untuk mengakomodasi 4 perwakilan Inggris Raya tadi dan secara langsung maupun tidak, merugikan negara Eropa lain yang hanya punya 1 perwakilan. Mau tak mau pesaing mereka makin banyak dan peluang lolos turnamen internasional makin ketat.

Slot 13 negara untuk benua Eropa pun mencolok dibanding benua lain yang hanya diberi kuota kurang dari 10. Bahkan, ketika FIFA memutuskan menambah peserta untuk Piala Dunia 2026, sistem hitungan itu tidak berubah. Benua non-Eropa maksimal hanya dapat 9 slot, sementara Eropa diberi 16 slot. Padahal, kalau pakai perhitungan perbandingan jumlah negara anggota, Afrika dan Asia sepatutnya berhak dapat slot lebih besar.

Tak heran bila beberapa peneliti, terutama yang fokus pada studi pascakolonial melihat legasi kolonialisme dalam FIFA. Bar-On & Escobedo dalam riset mereka dalam jurnal Soccer & Society berjudul ‘FIFA seen from a postcolonial perspective’ menyorotinya lewat negara-negara pemenang Piala Dunia FIFA yang mayoritas datang dari negara penjajah, seperti Prancis, Italia Jerman, Inggris, dan Spanyol. Ini sekaligus pengingat kalau legasi kolonialisme memang tak bisa hilang begitu saja terlepas dari tatanan dunia modern yang tampaknya sudah relatif lebih adil.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team