Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pertandingan PSIS Semarang melawan Persib Bandung di laga pekan ke-25 BRI Liga 1 2021/2022 di Stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar Bali, Selasa (15/2/2022). (dok. PSIS Semarang)

Jakarta, IDN Times - Denyut dan napas sepak bola memang sudah melintas batas meninggalkan jauh orbitnya, bahkan sudah menjadi industri yang menggiurkan. Hal itu juga terjadi di Indonesia. Klub kini jadi komoditas paling diburu oleh pebisnis, pesohor, hingga politisi.

Mereka rela merogoh kocek untuk mengakuisisi klub. Tak melulu soal romantisme sejarah, banyak miliarder nekat yang rela mengambil alih klub dengan alibi seragam, yakni mengembangkan industri bal-balan tanah air, walau tak diketahui alasan sebenarnya.

Tak sedikit juga klub-klub ini jadi alat politik. Berbekal regulasi yang kerap berubah-ubah dari PSSI, beberapa orang mencampuradukkan ambisi pribadi dengan ikut memanfaatkan popularitas sepak bola.

Tak sedikit pula dari mereka yang mengakuisisi klub, tiba-tiba pergi dan menjual lisensi ke pihak lain. Tak peduli klub itu terusir dari tempat kelahirannya hingga berganti nama. Alhasil, kepemilikan klub di Indonesia makin sulit dilacak.

Cukup rumit mengurai siapa saja konglomerat yang kini jadi pemilik klub-klub di Liga 1. Dari 18 klub Liga 1 2022/23, beberapa baru saja dibeli oleh pesohor muda yang tiba-tiba rela terjun ke dunia sepak bola, sebut saja Raffi Ahmad hingga Kaesang Pangarep.

Mereka terbilang nekat, karena industri sepak bola di Indonesia masih balita. Belum semuanya bisa berjalan baik. Sebab, urusan aturan jadwal kompetisi hingga kebijakan lainnya, mudah diubah-ubah PSSI.

Siapa saja orang-orang yang berada di balik layar klub-klub Liga 1?

1. Persib dan Bali United beririsan dengan taipan Northstar hingga Salim Group

baliutd.com

Jika bicara soal klub yang pertama kali menyulap diri jadi profesional, tentu semua mata tertuju kepada Pesib Bandung. Sempat jadi klub amatir yang tergantung dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), mereka terpaksa harus mandiri saat memasuki Kompetisi Liga Super 2009/10.

Dilansir laman resmi Persib, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13/2006 yang direvisi menjadi Permendagri Nomor 59/2007, membuat Maung Bandung tidak boleh lagi menerima dana dari APBD berupa hibah dan bantuan sosial secara berulang. 

Kemudian Glenn Sugita masuk menjadi investor membentuk konsorsium bersama Erick Thohir, Patrick Waluyo, Kiki Barki, dan Pieter Tanuri. Dia pun didapuk sebagai Direktur Utama PT Persib Bandung Bermartabat (PBB), menggantikan Umuh Muchtar.

Co-founder Northstar Group ini lebih banyak berada di belakang layar Persib. Dia kemudian menunjuk koleganya, Teddy Tjahyono, sebagai Direktur PT PBB untuk mengelola klub asal Kota Kembang itu, menggantikan Risha Adi Widjaja.

Menariknya, Glenn sempat menduduki posisi Komisaris Utama PT. LIB (operator kompetisi) pada 2017 lalu. Gojek yang sempat menjadi sponsor kompetisi kala itu juga diyakini akibat campur tangan Glenn sebagai petinggi Northstar Group, yang notabene jadi salah satu investor Gojek.

Seiring berjalannya waktu, beberapa orang yang tergabung dalam konsorsium PT PBB, memilih hengkang, salah satunya Pieter Tanuri. Kebetulan atau tidak, pada 2015, dia mengakuisisi Putra Samarinda yang sebelumnya dimiliki Harbiansyah Hanafiah. 

Setelah lisensinya dibeli, klub itu pindah ke Pulau Dewata dan berganti nama jadi Bali United. Pieter sendiri langsung menjabat sebagai Komisaris PT Bali Bintang Sejahtera, yang merupakan entitas klub berjuluk Serdadu Tridatu.

Sejak saat itu, Persib acap kali disebut sebagai “kakak” dari Bali United. Hal itu tak lepas dari beririsannya konglomerat-konglomerat yang jadi investor di kedua klub tersebut. 

Hal itu semakin kentara usai Bali United resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Terlihat bagaimana irisan antara investor klub tersebut dengan Persib.

Dilansir RTI, istri salah satu konsorsium Persib yang juga pendiri Northstar Group Patrick Waluyo, yakni Ayu Patricia Rahmat, memiliki saham di Bali United. Dia tercatat punya 304,627 juta lembar saham atau 5,08 persen di klub tersebut.

Romantisme antarkonglomerat Persib dan Bali United juga ternyata meluas hubungannya hingga sampai ke Salim Group. Hal itu tercium dari jejak yang terlihat dari sponsor yang menempel di jersey kedua tim. Anak perusahaan Salim Group, seperti Indofood, Datsun, dan beberapa perusahaan lainnya menghiasai ramainya seragam pemain kedua tim ini.

Selain itu, saham Bali United dengan kode BOLA juga sampai saat ini tercatat dimiliki PT Asuransi Central Asia (ACA) sebesar 533 juta lembar saham atau 8,9 persen. Perusahaan asuransi ini diketahui merupakan lini bisnis Salim Group.

2. Nirwan Bakrie memulai dari Pelita Jaya, Arema, hingga Persija

Presiden Persija Jakarta, Mohamad Prapanca. (Instagram/@officialprapanca).

Persija Jakarta saat ini, diketahui banyak orang, dipimpin Mohamad Prapanca. Dia merupakan Presiden PT Persija Jaya Jakarta, yang notebene sebagai perusahaan pengelola klub Ibu Kota ini.

Lalu, siapa sebetulnya pebisnis muda yang mulai memimpin Persija pada 2019 silam? Dia tercatat sebagai petinggi 13 perusahaan yang bergerak di berbagai bidang.

Prapanca sendiri dipercaya mengemban tugas sebagai presiden klub oleh pemilik perusahaan, Nirwan Bakrie, yang juga merupakan Co-Chairman Bakrie Group. Dia merupakan pemilik saham mayoritas PT Persija Jaya Jakarta.

Kehadirannya di Persija awalnya tak diketahui banyak orang. Apalagi, dia masuk dengan entitas bernama PT Jakarta Indonesia Hebat (JIH), yang dimiliki eks Plt Ketua Umum PSSI Joko Driyono. 

Namun, perlahan nama Nirwan kian mencuat dan disebut sudah jadi pemilik 100 persen saham Persija saat ini.

Nama Nirwan sejak dulu memang selalu lekat dengan sepak bola. Terlebih usai dia mendirikan Pelita Jaya yang tampil di Kompetisi Galatama. Dia kemudian masuk dalam kepengurusan PSSI, lalu membuat program PSSI Pirmavera, Bareti, hingga SAD Uruguay, untuk mengembankan talenta pesepak bola lokal. 

Setelah itu, dia sempat menghilang sebelum akhirnya memegang kembali Pelita Jaya Purwakarta, yang dulunya bernama PSKS Krakatau Steel Cilegon. Klub tersebut kemudian berlaih ke Malang untuk melebur bersama Arema.

Arema yang tampil di ISL kemudian dikelola perusahaan Bakrie Group, lewat PT Pelita Jaya Cronus pada 2013. Nama Wakil Ketua Umum PSSI, Iwan Budiarto, kembali muncul setelah dipilih jadi CEO. 

Namun, tak berselang lama terjadi dualisme kepemilikan, terutama saat kompetisi pecah pada 2012. Kala Arema bermain di Indonesia Super League, muncul nama Arema lain di Indonesia Premier League. Kala itu, Arema IPL berada di bawah PT Ancora Indonesia yang di dalamnya ada nama Lucky Adrianda Zaenal atau Sam Ikul.

Dia merupakan anak dari Acub Zaenal, sosok penting di balik berdirinya Arema pada 1987. Dia pula yang menjadikan Singo Edan dari tim “lede-lede” hingga disejajarkan dengan klub besar Indonesia lainnya. Di tangannya, klub tersebut sempat berprestasi walau pada akhirnya mengalami krisis.

Sam Ikul yang meneruskan pengelolaan di Arema, kemudian memberikan kepercayaan pada PT Bentoel pada 2003 yang digawangi Darjoto Setiawan untuk mengelola Arema. Namun, semuanya berubah usai perusahaan diambil alih British American Tobacco dan bisnis rokok dilarang berkecimpung di dunia olahraga. 

Arema mulai goyah sampai akhirnya pengelolaan klub diambil alih entitas baru, PT Arema Indonesia. Perusahaan itu didirikan Dewan Pembina Yayasan Arema yang dipimpin Andi Darussalam Tabusallam, sebelum akhirnya dualisme terjadi.

Usai dualisme itu, Arema di bawah PT Pelita Jaya Cronus yang diakui PSSI tampil di kompetisi resmi. Namun, kondisi Arema juga tak menentu hingga akhirnya kroni Bakrie memilih angkat kaki dan Iwan perlahan menjadi pemegang saham mayoritas klub. 

Arema FC kemudian dikelola entitas bernama PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (AABBI), yang baru didirikan pada 2016 silam. Selain saham mayoritas yang dipegang Iwan, ada juga Agoes Soerjanto dan teranyar Gilang Widya Pramana, yang juga pemilik Arema FC. 

Nama terakhir bahkan didapuk sebagai Presiden Arema FC sejak Juni 2021. Hal itu menjadi kejutan lantaran dia tak begitu dikenal di lapangan hijau, melainkan anak muda yang memiliki gurita bisnis di vape, MS Glow, Armada Bus, Juragan 99 Garment, dan lain-lain. 

3. Azrul Ananda sang masinis Persebaya

Presiden Persebaya, Azrul Ananda saat menonton salah satu pertandingan Persebaya. IDN Times/Hendy Wardhana

Persebaya Surabaya masih dipegang oleh Azrul Ananda. Sampai saat ini dia merupakan CEO PT Persebaya Indonesia. Dia merupakan pemilik sah klub sejak diakui pada 2017 silam. Kala itu pemegang saham mayoritas skuad Bajul Ijo di pegang PT Jawa Pos Sportainment, yakni sebesar 70 persen. 

Perusahaan itu merupakan bagian dari Jawa Pos. Azrul sendiri memegang jabatan sebagai Direktur Utama Jawa Pos. 

Tak lama berselang, Azrul memilih mundur dari kursi Direktur Utama Jawa Pos. Dampaknya, saham mayoritas Persebaya yang dipegang PT Jawa Pos Sportainment akhirnya dilepas.

Kemudian, saham itu diambil alih PT Deteksi Basket Lintas Indonesia (DBLI), dan 30 persen sisanya menjadi milik klub internal. Namun, posisi kepemilikan klub tak ke mana-mana, karena Azrul sendiri merupakan Direktur Utama PT DBLI.

Perusahaan-perusahaan besar itu erat kaitannya dengan eks Menteri BUMN, Dahlan Iskan, terutama Jawa Pos. Maklum, ayah kandung Azrul itu dinekal sebagai pemilik Jawa Pos. Dia didapuk sebagai pemimpin media asal Kota Pahlawan itu pada tahun 1982, usai media itu dijual pendirinya, yakni The Chung Sen atau Soeseno Tedjo.

Kini, kepemilikan Persebaya berpeluang kembali berubah. Hal itu terjadi usai Azrul memilih mundur dari jabatan sebagai CEO Persebaya. Namun demikian, belum ada kepastian yang menyebut jika dia mundur, otomatis saham mayoritas klub di tahun depan juga akan ditarik.

4. Konglomerat putra daerah yang memiliki klub

Dirut PT PSM yang baru, Sadikin Aksa (kiri) dan Dirut lama Munafri Arifuddin (kanan) dalam RUPS yang digelar di Makassar pada Senin 26 September 2022. (Dok. MO PSM Makassar)

Sebetulnya, beberapa klub juga dikelola konglomerat besar yang cukup dikenal di daerah, sebut saja salah satunya PSM Makassar. Klub ini mayoritas sahamnya dipegang PT Bosowa Sport Indonesia, yang sudah jadi kerajaan bisnis semen di Sulawesi. 

Bosowa sendiri sebetulnya sudah masuk jadi bagian PSM sejak 2003 lewat Erwin dan Sadikin Aksa. Sempat menepi, mereka melalui PT BIS mengambil alih saham sebesar 51 persen PT Panggolana Sulawesi Mandiri (PSM) pada 2013. Hal itu jadi pintu masuk petinggi Bosowa ke klub tersebut.

PT PSM diisi susunan dewan komisaris seperti Sadikin Aksa yang merupakan anak bos Bosowa Aksa Mahmud, Solihin J Jalla hingga Andi Suruji. CEO PT PSM kala itu diduduki Rully Habibie hingga kemudian, posisinya digantikan Munafri Arifuddin pada 2016. 

Baru dua tahun memimpin, adik ipar Sadikin itu kemudian mengganti nama entitas jadi PT Persaudaraan Sepakbola Makassar. Kini, posisi Munafri pun kembali digeser usai rapat Pemegang saham PT PSM September lalu. 

Sadikin Aksa kini menjabat sebagai Direktur Umum PSM. Keponakan Jusuf Kalla ini pun sudah mencanangkan perubahan besar untuk skuad Juku Eja ke depan.

Sama halnya dengan PSM, Barito Putera yang merupakan klub Kalimantan, diisi pengusaha kaya daerah. Klub itu kini dikelola Hasnuryadi Sulaiman, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Putera Barito Berbakti. 

Walau tak setenar Pieter atau Glenn, Hasnur merupakan konglomerat yang punya bisnis di perlbagai lini, mulai dari sektor kehutanan, agrobisnis, jasa transportasi, telekomunikasi, media, hingga percetakan. Dia juga kini disibukkan sebagai anggota DPR-RI Fraksi Golkar.

Sejalan dengan itu, ada juga salah satu pengusaha daerah yang menjadi sosok penting di klub Liga 1. Dia adalah Achsanul Qosasi, yakni pemilik Madura United. Dia juga dikenal memiliki perusahaan besar bernama Gatara Group. 

Madura United pertama kali diakuisisinya pada 2014 silam. Kala itu Achsanul membeli Pelita Bandung Raya yang dikelola Ari D Suteja. Kemudian, usai dibeli lisensinya, dia membawanya pulang ke kampung halaman dan mengganti nama klub menjadi Madura United. 

Achsanul sendiri dikenal sebagai anggota Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia atau BPK-RI periode 2019-2024. Sebelumnya, dia juga menjabat di posisi serupa pada periode 2014-2019.

Nama pengusaha daerah yang memiliki klub Liga 1 selanjutnya adalah Nabil Husein. Anak dari Said Amin ini secara mengejutkan mendirikan klub bernama Borneo FC pada 2014 setelah sebelumnya mengakuisisi Perseba Super Bangkalan.

Komisaris PT Nahusam Pratama Indonesia ini punya misi bersama pencinta sepak bola Samarinda, ingin membuat kejayaan klub di Kalimantan. Walau sempat tak dapat restu orang tua, dia kemudian berhasil membawa tim ini diakui di kancah sepak bola Indonesia.

Klub ini juga kerap dikaitkan dengan Ormas Pemuda Pancasila. Maklum, Nabil dan sang ayah juga cukup aktif dalam organisasi yang didirikan Jenderal Abdul Haris Nasution ini.

Alamsyah Satyanegara Sukawijaya jadi salah satu pengusaha daerah yang merupakan pemilik PSIS Semarang. Dikenal dengan nama Yoyok Sukawi, dia mampu membawa skuad Mahesa Jenar bangkit hingga bisa membuat klub melahirkan talenta muda seperti Pratama Arhan dan Alfeandra Dewangga.

CEO PSIS ini kini masih tercatat sebagai Direktur Utama PT Kartina Adi Wijaya hingga PT Adi Kartina Wijaya Graha. Selain disibukkan dengan kiprah di dunia sepak bola dan bisnis, Yoyok juga tercatat jadi anggota DPR RI Komisi X periode 2019-2024 dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Tengah I.

Yoyok merupakan putra mantan Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip.

5. Raffi Ahmad dan sosok-sosok baru petinggi klub Liga 1

Raffi Ahmad, chairman RANS Cilegon FC. (IDN Times/Sandy Firdaus)

Raffi Ahmad merupakan Chairman RANS Nusantara FC (dulu RANS Cilegon FC). Melalui kerajaan bisnisnya bernama RANS Entertainment disokong Prestige Motorcars milik Rudy Salim, mereka mengakuisisi Cilegon United pada 2021 silam. Biaya pembangunan klub mencapai lebih dari Rp300 miliar.

Investasinya berjalan baik, RANS langsung menjadi runnerup Liga 2 2021. Walau Raffi mengaku cukup rugi, setidaknya dia sukses membawa klub yang dulu minim prestasi itu masuk ke Liga 1 dan diperhitungkan ke jajaran elite.

Nama pemilik yang paling jadi sorotan tentunya adalah Kaesang, yang notebene merupakan anak Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Dia kini memiliki 40 persen saham klub (pemilik mayoritas) Persis Solo.

Dia mengakuisisi Persis bersama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang memiliki 20 persen saham,  pengusaha bernama Kevin Nugroho (30 persen saham), dan 26 klub internal Persis (10 persen).

Selain RANS Nusantara dan Persis, klub promosi yang jadi sorotan adalah Dewa United. Klub ini sebetulnya dulunya adalah Martapura FC, tapi kemudian diakusisi tiga pengusaha yakni Mahendra Agakhan Thohir, Garibaldi Thohir, dan Kevin Hardiman.

Nama pertama bahkan masuk daftar 20 orang paling kaya Indonesia Forbes dua tahun silam. Hal itu tak lepas dari banyaknya bisnis yang digeluti, termasuk jadi investor Adaro Energy, yang bergerak di tambang batu bara.

Secara tidak langsung, Persis dan Dewa United sendiri punya kedekatan emosional. Maklum, Garibaldi adalah kakak dari Erick (salah satu pemilik Laskar Samber Nyawa), dan ayah Gamma Thohir, yang notebane Presiden Komisaris Nusantara United.

Persik Kediri juga kini dipegang oleh pesohor tanah air yang kerap jadi host di berbagai acara televisi, yakni Gading Marten. Mayoritas saham Persik dimiliki PT Astar Asia Global (AAG), yakni start-up game development yang mengambil alihnya PT Kediri Djajati Perkasa.

PT AAG kemudian menunjuk Rawindra Ditya sebagai direktur utama. Namanya memang bukan orang baru di kancah sepak bola Indonesia. Sebelumnya dia sempat jdi Manajer Pelita Bandung Raya dari musim 2013-2015. Hal itu tercatat di CV Linkedin-nya.

Selain klub di atas Persita tercatat dipimpin presiden bernama Ahmed Rully Zulfikar, lalu ada klub aparat Bhayangkara FC yang kini dipegang CEO, Irjen Pol Istiono, dan COO bernama Sumardji. Sementara, Persikabo yang dipegang anak muda bernama Bimo Del Piero Wirjasoekarta.

Sementara, klub asal Yogyakarta PSS Sleman, mayoritas sahamnya kini dimiliki PT Palladium Pratama Cemerlang. Adapun Direktur Utama PT Putra Sleman Sembada kini dipegang Andywardhana Putra.

Editorial Team