Simon Tamahata (instagram.com/afcajax)
Merujuk tulisan Fridus Steijlen berjudul "Searching Transnational relations between Moluccans in the Netherlands and the Moluccas" dalam Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, arus kedatangan migran dari Maluku terjadi pada 1950-an. Saat itu, beberapa tahun setelah Indonesia merdeka dan negara ini masih meraba-raba sistem pemerintahan. Muncul perdebatan sengit antara kelompok pendukung negara kesatuan dengan suporter federasi.
Maluku jadi salah satu wilayah yang mendukung sistem federasi. Namun, dengan makin menguatnya rencana pembentukan negara kesatuan yang Jawa-sentris, para tokoh Maluku pun mendeklarasikan pembentukan negara merdeka baru yang terpisah dari Indonesia dan bernama Republik Maluku Selatan. Namun, gerakan itu dianggap terlalu berisiko sehingga pemerintah Belanda pun memilih untuk mengungsikan para tokoh penting Maluku pendukung RMS yang mayoritas adalah veteran Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) ke Belanda.
Rencana awalnya hanya beberapa bulan sampai mereka bisa kembali ke Maluku yang sudah merdeka. Namun, ternyata RMS tak pernah benar-benar terwujud karena tekanan dari Indonesia, apalagi beberapa tahun kemudian Indonesia dikuasai rezim militer Soeharto. Pihak Belanda sendiri tak melihat RMS sebagai bagian dari kepentingannya dan perlahan melepas tanggung jawabnya atas urusan tersebut. Alhasil, para eksil ini pun menetap di Belanda dan membentuk komunitas diaspora sendiri.
Setelah proses negosiasi, pemerintah Belanda bersedia menjamin kehidupan mereka dalam skema veteran perang. Meski begitu, mereka sempat tak memiliki kewarganegaraan dan terlunta-lunta di kamp pengungsian. Kini sudah beberapa dekade berlalu, keturunan kesekian para eksil itu sudah berasimilasi dengan cukup baik di Belanda.