Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret bola Premier League (pixabay.com/users/kelvinstuttard-5920577)
potret bola Premier League (pixabay.com/kelvinstuttard)

Ketika seorang pemain sepak bola berpindah klub dengan biaya selangit, perhatian publik langsung tertuju kepadanya. Harga yang tertera dalam laporan media tidak hanya mencerminkan kemampuan teknisnya, tetapi juga melahirkan ekspektasi besar dari pelatih, suporter, dan manajemen klub. Hal inilah yang kini menyertai kedatangan Florian Wirtz ke Liverpool. Di balik euforia dan ekspektasi besar, tekanan mental secara perlahan bisa membebani kestabilan performanya di lapangan.

Fenomena ini telah menjadi bagian tak terelakkan dari dinamika sepak bola modern. Dalam beberapa kasus, harga transfer justru menjadi momok yang menahan potensi terbaik seorang pemain. Namun, dalam konteks lain, label harga tinggi dapat menjadi bahan bakar motivasi untuk membuktikan diri di level tertinggi.

1. Pemain dengan banderol mahal kerap dibayangi ekspektasi tak realistis

Ketika klub mengeluarkan puluhan hingga ratusan juta euro untuk mendatangkan satu pemain, transaksi itu bukan hanya mencerminkan nilai ekonomi di pasar, melainkan juga menyisipkan tekanan psikologis. Konsep evaluation apprehension menjelaskan bagaimana pemain merasa seolah tiap aksi mereka dinilai berdasarkan harga yang dibayar klub. Akibatnya, banyak dari mereka mengalami kecemasan berlebih yang berdampak langsung kepada performa di lapangan.

Jack Grealish adalah contoh konkret dari situasi ini. Dalam wawancara pada 2022, ia mengakui transfer 100 juta pound sterling atau setara Rp2,2 triliun dari Aston Villa ke Manchester City membawa ekspektasi yang luar biasa besar. "Jika aku dibeli seharga 20 juta pound sterling (Rp443,9 miliar), aku bisa bermain buruk dan tak ada yang mempermasalahkan. Namun, karena 100 juta pound sterling, semua orang akan membicarakannya,” ucapnya dikutip The 1v1 Project.

Sebaliknya, Alan Shearer menceritakan kisah berbeda ketika menjadi pemain termahal dunia pada 1996. Alih-alih tertekan dengan banderol mahal, ia menganggap harga 15 juta pound sterling (Rp332,9 miliar) yang dibayar Newcastle United sebagai bentuk penghargaan dan motivasi. Dalam refleksinya, ia bahkan mengaku merasa lebih percaya diri setelah mendengar nominal tersebut, menunjukkan persepsi terhadap tekanan sangat tergantung kepada mental framing pribadi.

2. Regulasi transfer pemain saat ini lebih memihak logika pasar ketimbang kesejahteraan pemain

Dalam sistem transfer modern, pemain kian diperlakukan layaknya aset finansial yang harus memberikan imbal hasil setimpal. Klub membeli mereka dengan pertimbangan tidak hanya secara teknis, tetapi juga nilai pasar, daya tarik komersial, dan kemungkinan penjualan ulang. Dengan pendekatan seperti ini, pemain secara tidak langsung dikomodifikasi dan diukur lebih oleh harga ketimbang kemanusiaannya.

Logika investasi dalam dunia sepak bola membuat banyak pemain terikat dengan kontrak yang kaku dan sulit dinegosiasikan. Upaya untuk hengkang sebelum masa kontrak berakhir sering kali berujung kepada kewajiban membayar kompensasi dalam jumlah besar. Besaran kompensasi tersebut biasanya mengacu berdasarkan nilai transfer yang sebelumnya dikeluarkan klub.

Ada dua contoh kasus pemain yang terpaksa membayar ganti rugi besar karena kontrak mereka tidak fleksibel. Pada 2009, Court of Arbitration for Sport (CAS) menetapkan pemain asal Brasil, Matuzalem Francelino da Silva, harus membayar hampir 12 juta euro atau setara Rp227 miliar kepada Shakhtar Donetsk setelah secara sepihak meninggalkan klub untuk bergabung dengan Real Zaragoza. Nilai kompensasi itu dihitung berdasarkan prinsip positive interest, yakni estimasi kerugian klub, termasuk biaya pengganti pemain.

Kondisi serupa juga dialami Morgan De Sanctis yang meninggalkan Udinese untuk bergabung dengan Sevilla saat kontraknya masih berlaku. Dalam putusan CAS, De Sanctis bersama klub barunya diwajibkan membayar 2,2 juta euro (Rp41,6 miliar) sebagai kompensasi kepada Udinese. Kedua kasus ini terjadi di luar protected period (masa stabilitas kontrak), tetapi tetap menghasilkan sanksi finansial besar karena sistem transfer memperlakukan nilai pasar pemain sebagai dasar utama dalam perhitungan kerugian. Realitas ini memperlihatkan sistem transfer tidak netral dan menciptakan ketimpangan dan eksploitasi tersembunyi yang membebani pemain secara personal dan finansial.

Tak sampai di situ, pemain dan klub baru bisa dikenai sanksi larangan bermain atau pendaftaran jika dianggap memicu pemutusan kontrak secara tidak sah. Sistem transfer global saat ini bahkan dinilai tidak seimbang oleh beberapa pihak karena lebih melindungi kepentingan klub besar ketimbang pemain atau klub kecil. Kondisi ini menegaskan, sistem transfer yang berlaku lebih memihak logika pasar ketimbang prinsip keadilan atau kesejahteraan individu.

3. Meski dibebani ekspektasi tinggi, beberapa pemain mahal mampu mengelola kesehatan mental

Di tengah ekspektasi dan tekanan yang kerap mencekik, sebagian pemain justru mampu tampil optimal berkat daya tahan mental yang tinggi. Para pemain seperti Kevin De Bruyne dan Cristiano Ronaldo menunjukkan bagaimana mereka memandang harga tinggi sebagai bukti kepercayaan, bukan beban. Dengan strategi seperti reframing, mereka mengubah tekanan menjadi tantangan yang memotivasi diri untuk tampil lebih baik.

Selain reframing, pemain-pemain ini juga menggunakan selective attention untuk menyaring kritik yang tidak konstruktif. Mereka hanya memperhatikan masukan yang membangun dan mengabaikan komentar yang merusak fokus. De Bruyne misalnya pernah mengatakan, tidak bisa mengontrol apa yang orang pikirkan tentang harganya. Hal yang bisa ia kontrol hanya persiapan, sikap, dan usahanya.

Peran klub juga sangat krusial dalam membantu pemain mengelola tekanan. Klub-klub seperti Manchester City dan Liverpool diketahui telah berinvestasi dalam psikologi olahraga guna membangun ketahanan mental pemain. Dukungan profesional ini terbukti memberi dampak positif, terutama bagi pemain baru yang datang dengan harga tinggi dan langsung harus beradaptasi dengan ekspektasi publik yang tak kenal kompromi.

Harga transfer yang tinggi tidak selalu menjadi momok, tetapi dapat menjadi tantangan tergantung kepada cara seorang pemain menyikapinya. Dengan pendekatan mental yang tepat dan sistem pendukung yang kuat, tekanan dari harga bisa diubah menjadi kekuatan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team