Dalam sistem transfer modern, pemain kian diperlakukan layaknya aset finansial yang harus memberikan imbal hasil setimpal. Klub membeli mereka dengan pertimbangan tidak hanya secara teknis, tetapi juga nilai pasar, daya tarik komersial, dan kemungkinan penjualan ulang. Dengan pendekatan seperti ini, pemain secara tidak langsung dikomodifikasi dan diukur lebih oleh harga ketimbang kemanusiaannya.
Logika investasi dalam dunia sepak bola membuat banyak pemain terikat dengan kontrak yang kaku dan sulit dinegosiasikan. Upaya untuk hengkang sebelum masa kontrak berakhir sering kali berujung kepada kewajiban membayar kompensasi dalam jumlah besar. Besaran kompensasi tersebut biasanya mengacu berdasarkan nilai transfer yang sebelumnya dikeluarkan klub.
Ada dua contoh kasus pemain yang terpaksa membayar ganti rugi besar karena kontrak mereka tidak fleksibel. Pada 2009, Court of Arbitration for Sport (CAS) menetapkan pemain asal Brasil, Matuzalem Francelino da Silva, harus membayar hampir 12 juta euro atau setara Rp227 miliar kepada Shakhtar Donetsk setelah secara sepihak meninggalkan klub untuk bergabung dengan Real Zaragoza. Nilai kompensasi itu dihitung berdasarkan prinsip positive interest, yakni estimasi kerugian klub, termasuk biaya pengganti pemain.
Kondisi serupa juga dialami Morgan De Sanctis yang meninggalkan Udinese untuk bergabung dengan Sevilla saat kontraknya masih berlaku. Dalam putusan CAS, De Sanctis bersama klub barunya diwajibkan membayar 2,2 juta euro (Rp41,6 miliar) sebagai kompensasi kepada Udinese. Kedua kasus ini terjadi di luar protected period (masa stabilitas kontrak), tetapi tetap menghasilkan sanksi finansial besar karena sistem transfer memperlakukan nilai pasar pemain sebagai dasar utama dalam perhitungan kerugian. Realitas ini memperlihatkan sistem transfer tidak netral dan menciptakan ketimpangan dan eksploitasi tersembunyi yang membebani pemain secara personal dan finansial.
Tak sampai di situ, pemain dan klub baru bisa dikenai sanksi larangan bermain atau pendaftaran jika dianggap memicu pemutusan kontrak secara tidak sah. Sistem transfer global saat ini bahkan dinilai tidak seimbang oleh beberapa pihak karena lebih melindungi kepentingan klub besar ketimbang pemain atau klub kecil. Kondisi ini menegaskan, sistem transfer yang berlaku lebih memihak logika pasar ketimbang prinsip keadilan atau kesejahteraan individu.