Kemunculan jersey berwarna feminin seperti pink dan ungu muda memicu reaksi nyata yang berpengaruh dalam dunia sepak bola. Warna-warna ini bukan sekadar tren visual, tapi juga telah membentuk dinamika budaya baru di dalam maupun di luar lapangan. Dilansir Soccer Wizdom, klub seperti Sport Boys de Callao di Peru menggunakan warna pink sejak 1929 dan menjadikannya bagian dari identitas klub. Warna ini terus dipertahankan hingga saat ini sebagai simbol kebanggaan lokal sekaligus daya tarik visual yang kuat bagi para pendukung dan kolektor internasional. Hal serupa dilakukan oleh klub Jepang, Cerezo Osaka, yang menggunakan warna pink sebagai lambang bunga sakura, selaras dengan nama dan karakter lokal mereka.
Pilihan warna feminin juga memberi dampak sosial melalui aksi nyata. Partick Thistle dari Skotlandia merilis jersey berwarna hitam dengan aksen pink pada musim 2014–2015 sebagai bentuk dukungan terhadap pasien kanker payudara melalui kemitraan dengan Breast Cancer Care Charity. Sebagian hasil penjualan jersey disumbangkan untuk kegiatan amal dan gerakan ini mendapatkan perhatian luas dari media internasional.
Respons publik secara global terhadap jersey berwarna feminin menunjukkan dinamika yang kompleks antara persepsi estetika, identitas, dan pemasaran. Ketika Adidas meluncurkan jersey tandang timnas Jerman berwarna pink–ungu untuk Euro 2024, reaksi masyarakat terbelah. Sebagian mengapresiasi keberanian desain, sementara lainnya menyayangkannya sebagai penyimpangan dari tradisi. Meski begitu, Adidas melaporkan bahwa jersey ini menjadi jersey tandang terlaris dalam sejarah timnas Jerman dengan permintaan global yang tinggi sejak hari peluncuran.